Kindamessup

Terima Kasih Telah Hadir

Jantung Lila hampir terlepas dari tempatnya saat mendapati Aiden benar-benar berdiri di balkon kamarnya. Pemuda itu melambai-lambai, memberi isyarat agar pintu segera dibuka.

“Gue bilang juga apa. Gue jago manjat. Nenek moyang gue Spiderman soalnya.” ujar Aiden begitu tubuhnya berhasil masuk ke kamar yang didominasi warna putih itu.

Sementara Lila masih mematung. Satu tangannya ia gunakan untuk menutup mulut, sementara satu yang lain masih memegang gagang pintu.

“Anget. Udah minum obat, kan?” Aiden menempelkan punggung tangannya pada dahi dan leher Lila.

Alih-alih menjawab, Lila justru berlari menuju pintu kamarnya. Memutar kunci dengan buru-buru kemudian dengan raut penuh emosi ia berbalik menghampiri Aiden.

“Bandel banget dibilangin!” Lila berteriak dengan suara begitu lirih.

“Maaf. Gue khawatir lo kenap-

BUG!

Lila memukul pundak Aiden pelan. “Jangan kenceng-kenceng!! Biasa aja kalo ngomong. Ntar kedengeran.”

Aiden memutar bola matanya malas. “Iya.”

Tangan kekarnya kemudian ia kaitkan dengan tangan Lila. Mengajak gadis itu duduk di tepi kasur dengan sprei dan selimut berwarna senada dengan dinding dan tirai kamar.

“Pertanyaan gue belum dijawab. Udah minum obat, kan?”

“Udah.”

“Tangan lo udah diobatin?”

Lila tak bersuara.

“Kan.”

“Besok aja, Den. Badan gue lemes.”

“Oh iya lagi demam. Yaudah sini tidur aja.”

Lila tak bohong saat mengatakan bahwa tubuhnya lemas. Kepalanya juga berdenyut nyeri. Pendingin ruangan di kamarnya sudah mati sejak beberapa jam yang lalu tapi ia masih merasa kedinginan.

Usai membantu menyelimuti Lila, Aiden kemudian berdiri. Matanya menelisik sekitar dengan teliti. Tak lama setelahnya, ia bergerak untuk mengambil kotak berwarna putih di salah satu rak.

“Sekarang lo diem aja. Biar tangan lo gue obatin.”

Lila tak berkomentar saat Aiden mengutak-atik memar di tangannya.

“Jadi lo beneran dipukul cuma gara-gara nggak fokus pas les piano?”

Yang ditanya hanya mengangguk lemah.

“Nyokap lo mana?”

“Di kamarnya. Mama nggak dibolehin ketemu gue lama-lama.”

Garis-garis halus tercetak di dahi Aiden. “Kenapa gitu?”

“Mama selalu nyuri-nyuri waktu buat nemuin gue. Dia nggak punya waktu karena terlalu sibuk jadi budak setia papa.”

Kerutan di dahi Aiden terbentuk semakin jelas. “Kan pelayannya banyak. Makhsud gue, kenapa harus nyokap lo terus yang ngelayanin?”

“Mama itu udah jadi asisten sama manager pribadi papa juga. Makanya kerjaannya banyak. Gue tau Mama nggak pernah minta untuk ditaruh di posisi itu, tapi mau gimana lagi.”

Aiden mengangguk samar. Kemudian ia menunduk dalam. “Sorry, ya.”

Lila terkejut. “Kenapa minta maaf?”

“Karena gue nggak bisa bantu apapun. Gue cuma bisa bantu ngobatin lo doang.”

Mendengar itu, Lila lantas meraih tangan Aiden. Kemudian menggengamnya erat.

“Den, gue udah makasih banget buat semua yang udah lo lakuin. Kehadiran lo udah lebih dari cukup.” ucapnya sembari menunjukkan senyuman paling tulus.

“Kenapa lo nggak coba buat kabur? Atau kalo nggak lapor polisi atau ngapain gitu.”

Dengan senyum yang masih melekat, Lila kemudian mendengus pelan. “Nyokap gue pernah cerita dulu dia berkali-kali berusaha kabur, tapi selalu ketangkep. Papa punya mata-mata banyak. Dan apa lo bilang? Lapor polisi? Hahaha. Papa punya banyak uang buat bikin polisi manapun tutup mulut.”

“Berbagai cara udah pernah dilakuin sama Mama. Tapi selalu gagal.” Lila menatap ke sembarang arah. Menggali kembali kisah yang pernah ia dengar dari sang Mama.

“Dan lo pikir gue nggak pernah coba buat pergi dan jauh dari kehidupan ini? Gue udah pernah coba juga, Den. Dan ini hasilnya. Ujung-ujungnya gue balik lagi ke sini.”

Ada banyak orang kejam di luar sana. Para petinggi dan orang-orang berpengaruh yang suka bertindak semena-mena. Termasuk juga Papanya Lila. Mungkin ada banyak perempuan yang sama-sama kurang beruntung seperti Lila. Tapi kebanyakan dari mereka harus menanggung pedih sendirian. Itulah mengapa Aiden bersyukur bisa merangkul gadis malang ini. Setidaknya ia telah merangkul satu dari banyaknya perempuan malang di luar sana.

“Lo tau, kenapa gue nggak pernah mencoba buat bunuh diri meskipun gue sering capek sama keadaan?”

Aiden geming. Tak mampu menebak jawaban apa yang pantas.

“Karena hidup gue nggak lebih menderita dari Mama. Kalo menurut lo gue yang paling menderita di sini, lo salah. Gue nggak ada apa-apanya sama Mama.”

Menarik napas berat, Lila seolah ditarik ke masa lalu. “Mau dengerin gue cerita, nggak? Gue mau ceritain kisahnya Mama.”

“Iya. Ceritain aja.” Aiden mengangguk singkat.

Masih dengan posisi berbaring, Lila menatap langit-langit cukup lama. Jiwanya seolah terbawa dalam nostalgia.

“Mama itu anak angkatnya orang tua papa. Mama juga udah kerja sama keluarganya Papa dari kecil. Makanya Mama jadi orang kepercayaan. Meskipun berstatus sebagai anak angkat, bukan berarti Mama sama Papa deket. Papa bahkan nggak pernah ngobrol sama Mama. Yah, kayak orang asing lah pokoknya. Tapi suatu hari ternyata mereka dijodohin.”

“ANJIR. PLOT TWIST BANGET.” Aiden memekik. Hanya untuk mendapat satu pukulan lagi di lengannya.

“Maap.”

“Mau nggak mau mereka tetep nikah. Papa bener-bener nggak mau nyentuh Mama sama sekali. Bahkan kelahiran gue, kata Mama, cuma sebuah ketidaksengajaan. Soalnya Papa ngelakuin itu sebagai pelampiasan karena habis putus sama pacarnya.”

“Bokap lo jadian sama cewek lain? Padahal udah punya istri?”

Lila tertawa kecil saat menemukan wajah Aiden yang seperti meme. “Ya gimana. Nikahnya aja terpaksa.”

“Papa itu orangnya banyak diem. Banyak ngomong cuma sama orang-orang tertentu. Kalaupun marah juga cuma diem. Dulu. Tapi Mama bilang, katanya Papa cuma berusaha nahan karena takut sama orang tuanya. Terbukti pas orang tuanya meninggal, Papa langsung berubah jadi iblis.”

“Mama jadi sering dipukul dan disiksa cuma karena ngelakuin kesalahan kecil. Yaa, sama ajalah kayak gue. Bahkan sampek sekarang Mama masih sering digituin. Udah disiksa, dibabu juga.” Ekspresi sedih tergambar pada wajah Lila.

Gadis itu lantas mencoba bangkit. Tiba-tiba saja ia merubah posisinya.

“Eh nggak usah duduk, tidur aja.” Aiden mendadak panik begitu menyadari pergerakan Lila.

“Nggak papa. Gue capek baring.”

Dengan sigap, Aiden segera memasangkan bantal agar Lila bisa bersandar dengan nyaman.

“Gue lanjutin, ya.”

“Heem.”

“Makanya gue pernah bilang sama lo kenapa gue tetep pengen hidup meskipun gue sering merasa putus asa. Gue pengen hidup demi Mama. Kita cuma punya satu sama lain untuk saling menguatkan. Tapi sekarang gue punya lo. Jadi penguat gue nambah satu.”

Diam-diam Aiden menahan senyum. Tak ingin menunjukkannya sebab ia terlampau malu.

“Kalo suatu hari gue bener-bener nggak punya alasan buat hidup. Setidaknya gue punya Mama sebagai alasan untuk bertahan.”

Hati Aiden mendadak sakit. Ia harusnya bisa lebih bersyukur sebab terlahir dari keluarga harmonis. Sesaat ia merasa menyesal ketika teringat bahwa dirinya sering kurang ajar dan tak tahu diri pada orang tuanya.

“Gue tau, lo pasti pernah mikir gue itu caper, haus afirmasi, merasa paling perfect, atau, yah, intinya gue nyebelin. Iya, kan?”

Aiden nyengir. “Iyasih. Sempet.”

“Gue kadang nggak merasa tau kalo gue kayak gitu. Tapi kadang merasa juga.”

“Dari kecil gue dituntut ini dan itu sama Papa. Papa nggak nerima penolakan. Misalnya, nih, Papa selalu nanya siapa anak yang nilainya paling tinggi sekelas. Terus papa bakal nuntut gue supaya nilai gue jangan sampek ada di bawah dia. Pernah suatu hari gue nggak belajar pas ujian, karena takut nilai gue jelek, akhirnya gue bikin si paling pinter itu celaka sampek dia nggak masuk berbulan-bulan. Akhirnya peringkat gue tetep ada di posisi paling atas.”

“Makanya gue selalu melakukan berbagai cara buat jatuhin orang lain. Biar gue jadi yang paling perfect. Biar gue nggak dapet hukuman dari Papa, lebih tepatnya.”

Aiden benar-benar speechless. Ia tak pernah menyangka bahwa cara mendidik orang tua akan sangat berpengaruh pada anak. Bahkan sampai dewasa.

“Dan kenapa gue selalu haus afirmasi? Kenapa gue pengen semua orang nganggep gue itu keren, gue haus pujian, gue pengen seluruh dunia berpusat sama gue. Kenapa? Karena gue nggak pernah dapet semua itu. Padahal gue selalu bekerja keras. Gue selalu nurutin apa yang Papa mau, tapi nggak pernah dapet satupun ucapan bangga. Nggak pernah sekalipun gue dapet pujian. Makanya tanpa sadar, gue punya karakter-karakter yang bikin orang sebel sama gue. Akhirnya temen-temen gue pada menjauh. They called me pick me girl, murahan, sok cakep, dan apalah itu banyak banget.”

Kini Aiden paham, mengapa Lila bertingkah demikian. Gadis itu hanya tak punya pilihan lain. Dia melakukan semua itu sebagai pelampiasan dan karena tuntutan.

“Gue udah muak sebenernya. Tapi gue nggak bisa. Gue nggak bisa buang karakter buruk gue.”

Aiden mengelus kepala Lila perlahan. “Nggak papa. Lo nggak salah. Lo udah dibentuk kayak gitu sama bokap lo. Nggak papa. Lo udah berusaha terlalu keras. Kasih jeda dulu buat istirahat. You did great, Lil. Lo hebat.”

Lila tak bisa menahan diri untuk tak menangis. Untuk kesekian kalinya, Aiden membuatnya tersentuh. Membuatnya merasa begitu dihargai dan disayang. Seandainya bisa, Lila ingin mengenal Aiden lebih awal. Laki-laki ini, berhasil membuat pertahanannya semakin kokoh. Rupanya semesta masih memberinya ruang bahagia.

“Kalau gue tiba-tiba caper lagi, atau haus pujian, merasa paling perfect, intinya kalo gue nyebelin, semoga lo bisa memaklumi, ya, Den. Gue juga berusaha berubah meskipun prosesnya lambat.”

“Iya. Nggak papa, pelan-pelan aja. Lo udah terlalu sering lari. Sekarang jalan aja, ya. Yang lambat bukan berarti gagal, kok.”

Lila kemudian menerjang tubuh Aiden tanpa permisi. Didekapnya tubuh itu seakan-akan mereka tak bisa bertemu lagi esok. Gadis itu merasakan ada kehangatan yang menjalar perlahan ke sekujur tubuhnya. Hatinya pun ikut menghangat. Sementara di sisi lain, Aiden sedang berusaha menahan rasa geli akibat hadirnya kupu-kupu yang menggelitiki perutnya. Setelah sekian lama, Aiden kembali jatuh cinta. Setelah sekian lama, ia kembali merasakan jantungnya berdegup begitu hebatnya. Meskipun ia tak pernah tau, bahwa cintanya mungkin tak akan pernah berbalas.

Dia Yang Berkawan Dengan Luka

Jika Aiden ditanya mengapa ia begitu memihak Lila, maka jawabannya adalah karena ia satu-satunya teman yang tau kisah tragis gadis itu sampai ke akar-akarnya.

Aiden terbiasa menjadi pribadi yang seringkali masa bodoh terhadap segala hal. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak bisa menahan untuk tidak peduli pada Lila, gadis yang dengan segala kisah pilunya berhasil menumbuhkan rasa simpati yang begitu besar pada Aiden.

Semua itu bermula saat Aiden berusaha mencari tahu perihal dari mana lebam di leher Lila berasal. Pemuda itu tak pernah menduga Lila bisa dengan mudah mempercayainya. Membagi kisah hidupnya di tengah ruangan bekas perpustakan yang begitu kental dengan aroma debu.

Ia masih mengingat dengan sempurna bagaimana Lila bercerita dengan wajah datar dan sesekali tertawa alih-alih menangis. Menggambarkan bahwa gadis itu seolah sudah lupa bagaimana cara yang tepat mengekspresikan rasa sakit.

“Jangan kasihan sama gue. Gue udah pasrah kalo sewaktu-waktu dibunuh sama bokap gue. Yahh, liat aja ntar kalo gue mati berarti lo tau lah siapa pelakunya.” Lila menyeringai. Tangannya yang penuh darah dan penampilannya yang berantakan, membuat gadis itu terlihat seperti psikopat. Meski kenyataannya justru dialah yang merupakan korban dari psikopat gila yang mengaku sebagai Ayahnya.

Aiden mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri, kemudian menarik tangan Lila yang berada di sebelahnya. “Ayo ikut gue!”

Lila spontan menepis. “Ke mana?”

“Gue obatin luka lo.”

“Nggak perlu. Pinjemin aja jaket lo. Biar gue obatin sendiri.”

Dengan ragu, akhirnya Aiden melepas jaket yang dikenakannya. Kemudian menyerahkannya pada Lila. “Beneran nggak mau gue bantu?”

Tertawa kecil, Lila lantas menepuk bahu Aiden. “Gue udah biasa obatin sendiri kali.” entengnya. “Yaudah ini gue pinjem dulu, ya.” tambahnya. Kemudian berjalan melewati Aiden dan berniat membersihkan lukanya agar bisa mengikuti kelas.

Namun langkahnya terhenti usai satu kalimat keluar dari mulut Aiden.

“Pulang jam berapa? Biar gue anter. Mumpung gue baik, nih.” ucap Aiden becanda.

“Jam 12.”

“Oke. Gue tunggu di parkiran.”

“Den,”

“Hm?”

“Gue harap lo ngelakuin ini karena tulus.”

Perlu Aiden akui bahwa kata-kata penenang yang ia ucapkan pada Lila hanyalah sebuah trik untuk membuat gadis itu percaya sehingga dia mau bercerita. Bahkan ketika Lila memintanya untuk merahasiakan semua kisah yang telah ia bagi, Aiden hanya mengiyakan namun tak ada niatan sedikitpun untuk menuruti ucapan gadis itu dan tetap akan membocorkannya pada teman-teman yang lain.

Namun hatinya tiba-tiba goyah saat mendapati wajah putus asa Lila kini tengah menatapnya penuh harap.

“Tenang aja. Gue cuma pengen ngasih tumpangan. Nggak ada maksud apa-apa.”

Lila masih enggan mengalihkan pandangan. “Gue udah percaya sama lo. Gue juga nggak tau kenapa gue bisa segampang itu cerita sama lo. Gue belum pernah cerita soal kehidupan gue sama siapapun. Dan lo orang pertama yang gue percaya. Jadi, kalo lo mengkhianati gue, itu artinya lo sama aja kayak bokap gue. Bedanya lo membunuh gue secara halus. Kalo bokap gue pakek sikaaan dulu.”

Aiden tercekat. Pertahanannya mulai runtuh. Kemungkinan terburuk bisa terjadi pada gadis itu. Aiden tak bisa egois karena gadis di hadapannya itu tak lebih dari sekedar manusia yang berada di ambang hidup dan mati.

“Iya. Percaya sama gue. Gue bakal simpen rahasia lo rapat-rapat.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Aiden.

Mendapati Lila tersenyum lega, kedua sudut bibir Aiden tanpa sadar ikut terangkat. Entah makhluk mana yang tengah merasukinya, detik itu juga niat awal Aiden seolah memudar. Ia memutuskan untuk menepati ucapannya dan memilih untuk berdusta pada teman-temannya.


“Siniin tangan lo!”

Sesampainya di mobil, Aiden tak henti-hentinya menghembuskan napas jengah. Rupanya Lila tak mengobati luka di tangannya. Gadis itu hanya membersihkannya dengan air, kemudian ia biarkan begitu saja. Tak masalah baginya asalkan darahnya sudah berhenti mengalir.

“Lukanya lebar. Ntar infeksi.” Tak sabar, Aiden segera menarik tangan Lila tanpa persetujuan. Pun gadis itu juga tak melakukan penolakan.

Diperhatikannya sejenak luka menganga di telapak tangan Lila, kemudian ia obati dengan telaten.

Lila menatap lamat-lamat Aiden dari samping. Sepercik rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Ah, jadi seperti ini rasanya diperhatikan, gumamnya.

“Makasih, ya, Den. Gini aja gue udah tersentuh banget. Hahaha.”

Aiden menoleh. Hanya untuk mendapati Lila mengusap air matanya yang berebut jatuh.

Aiden mendadak panik. “Eh, kok nangis?”

“Sorry.” ucap Lila. Dia nampak kesal sebab air matanya enggan berhenti. “Gue tau lo peduli sama gue cuma karena kasihan, tapi gue cuma mau bilang makasih. Makasih banyak udah bikin gue merasa disayang dan diperhatiin.”

Aiden bungkam. Ia tak tahu harus merespon apa.

“Gue merasa berharga banget, Den, hari ini. Untuk pertama kalinya penderitaan gue didengar. Untuk pertama kalinya ada yang ngobatin luka gue selain Mama. Mana ngasih tumpangan juga.”

Tangan kiri Aiden kemudian terulur untuk menepuk pundak Lila. Menenangkan gadis itu yang semakin tersedu.

“Gue emang pinter nyari temen. Tapi lama-lama mereka pasti jauhin gue. Makanya nggak ada orang yang bener-bener gue percaya selain Mama.”

“Gue pengen setidaknya gue punya saudara satu aja. Saudara yang selalu support gue dan ada buat gue. Yang nggak akan pernah ke mana-mana dan jadi tempat gue berbagi cerita. Mama udah cukup menderita, makanya gue nggak mau bagi keluh kesah gue. Dan akhirnya gue nggak punya siapa-siapa untuk cerita selain diri gue sendiri.”

Suasana hening kemudian, hanya terdengar suara isakan Lila yang kabar baiknya semakin mereda.

“Lo punya gue.” celetuk Aiden memecah keheningan.

“Anggep gue saudara lo kalo lo nggak keberatan.” imbuhnya.

Dengan wajah memerah dan bekas air mata yang mulai mengering di pipi, Lila menatap Aiden yang juga sedang menatapnya. Ia meminta penjelasan dari ucapan lelaki itu.

Seolah dibius, Aiden merasakan dunianya berhenti saat itu juga. Satu pertanyaan terbesit dalam pikirannya, “Sejak kapan wajah berhias kemerahan dengan kedua mata membengkak itu nampak begitu candu untuk dipandang?”

Orang-orang bilang, Lila memiliki paras jelita. Aiden benci mengakuinya, tapi ia setuju dengan pernyataan itu. Ini memang bukan kali pertama Aiden bertatap muka dengan Lila, tapi entah mengapa kali ini sensasinya berbeda. Wajah gadis itu seolah mengandung alkohol. Begitu memabukkan dan Aiden tak mampu menjelaskan.

“Makhsudnya?”

Pertanyaan itu berhasil menarik Aiden kembali pada kenyataan. “H-hah? Gimana?”

Lila melempar tatapan malas. “Ditanya malah ganti nanya.”

“O-oh. Makhsudnya lo bisa anggep gue sebagai saudara lo kalo lo mau. Abang, adek, sepupu, keponakan, om, apa aja deh terserah. Tapi yang paling paw Abang, sih.”

“Kenapa? Kenapa lo minta gue buat anggep lo saudara?”

Sejujurnya, Aiden sendiri tak tahu mengapa. Ia juga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tak pernah semudah ini baginya mengulurkan tangan pada orang lain. Ada sebuah hasrat yang mendorongnya untuk sigap menjadi tameng Lila.

“Katanya tadi pengen punya saudara. Nih udah dikabulin.”

Wajah Lila berubah gelisah. “Lo nggak keberatan kalo gue bagi semua cerita gue ke lo? Gue sering merasa putus asa, Den. Yang ada ntar lo malah capek sama gue. Hidup gue banyak nggak adilnya, kalo dunia ikut memperlakukan lo sama nggak adilnya gimana? Lo siap ambil semua resi-

“Emang gitu, kan, gunanya saudara?” sela Aiden.

“Oke. Mulai sekarang, anggep gue saudara lo. Gue berubah pikiran. Jangan anggep gue om, adek, sepupu. Anggep gue Abang aja. Dah. Soalnya tugas Abang selain jaga adeknya juga melindungi adeknya. Gue siap ambil peran itu buat lo.”

“Gue ngelakuin semua ini bukan karena kasihan, bukan karena sok-sokan peduli, bukan juga karena terpaksa karena gue udah tau semua cerita lo. Terlepas dari semua itu, gue juga merasa lo berhak dapet keadilan. Keadilan sebagai perempuan, keadilan sebagai anak, semua orang berhak bahagia, Lil.”

“Jadi percaya sama gue. Nggak ada yang selamanya di dunia ini. Termasuk penderitaan lo. Semua akan baik-baik aja. Jadi nggak ada yang perlu lo khawatirin termasuk keterlibatan gue.”

Aiden bisa merasakan kedua tangan Lila kini melingkar di lehernya. Tak tersisa jarak di antara mereka. Sebuah kehangatan menjalar perlahan, diiringi debaran gila yang mulai merenggut kewarasan. Aiden masih terheran-heran. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Perilakunya hari ini begitu aneh. Ini seperti bukan dirinya. Yang lebih aneh lagi, Aiden justru menikmatinya.

Lila mulai memberi jarak. Matanya terlihat berkaca-kaca. Nampaknya ia kembali tersentuh dengan ucapan Aiden.

“Lo tau, kenapa gue nggak obatin luka gue?” tanya Lila.

Aiden hendak menjawab, tetapi Lila tiba-tiba kembali berujar. “Bukan karena gue males. Tapi karena gue capek. Percuma, gue bakal dapet luka baru lagi.” jelasnya.

Kemudian dengan tanpa aba Lila menaikkan kain di lengannya. Menampilkan sejumlah lingkar keunguan di lengan kurusnya. Beberapa di antaranya bahkan mulai menghitam.

“Nih lihat! Lebamnya nggak cuma di leher.”

Detik selanjutnya, Lila kembali menunjukkan hal serupa di beberapa bagian tubuhnya. Tengkuk, pundak, hingga betisnya juga penuh dengan luka dan lebam. Demi Tuhan, Aiden tak sanggup membayangkan betapa sakit dan seringnya luka yang Lila terima. Ada rasa nyeri luar biasa di hati Aiden.

Hidup di keluarga yang harmonis, Aiden dididik untuk menghargai dan menghormati perempuan. Ibunya selalu bilang bahwa perempuan itu ibarat kaca. Makanya perlu dijaga dengan hati-hati. Melihat kondisi Lila yang demikian, hati Aiden rasanya seperti disayat. Bagaimana bisa seorang Ayah memperlakukan anak gadisnya sekejam itu?

Sebelum rasa sesak semakin menyerbu, Aiden segera menarik Lila dalam dekapannya. Mengelus surai gadis itu lembut sembari menyalurkan kehangatan.

“Lo hebat. Makasih udah mau bertahan. Mulai hari ini, bagi beban lo sama gue. Jangan pernah merasa lo nggak punya siapa-siapa. Nggak papa, dunia kadang emang nggak adil. Tuhan bukannya jahat sama lo, tapi Dia tahu kalo lo kuat. Jangan nyerah, ya.”

Dia Yang Berkawan Dengan Luka

Jika Aiden ditanya mengapa ia begitu memihak Lila, maka jawabannya adalah karena ia satu-satunya teman yang tau kisah tragis gadis itu sampai ke akar-akarnya.

Aiden terbiasa menjadi pribadi yang seringkali masa bodoh terhadap segala hal. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak bisa menahan untuk tidak peduli pada Lila, gadis yang dengan segala kisah pilunya berhasil menumbuhkan rasa simpati yang begitu besar pada Aiden.

Semua itu bermula saat Aiden berusaha mencari tahu perihal dari mana lebam di leher Lila berasal. Pemuda itu tak pernah menduga Lila bisa dengan mudah mempercayainya. Membagi kisah hidupnya di tengah ruangan bekas perpustakan yang begitu kental dengan aroma debu.

Ia masih mengingat dengan sempurna bagaimana Lila bercerita dengan wajah datar dan sesekali tertawa alih-alih menangis. Menggambarkan bahwa gadis itu seolah sudah lupa bagaimana cara yang tepat mengekspresikan rasa sakit.

“Jangan kasihan sama gue. Gue udah pasrah kalo sewaktu-waktu dibunuh sama bokap gue. Yahh, liat aja ntar kalo gue mati berarti lo tau lah siapa pelakunya.” Lila menyeringai. Tangannya yang penuh darah dan penampilannya yang berantakan, membuat gadis itu terlihat seperti psikopat. Meski kenyataannya justru dialah yang merupakan korban dari psikopat gila yang mengaku sebagai Ayahnya.

Aiden mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri, kemudian menarik tangan Lila yang berada di sebelahnya. “Ayo ikut gue!”

Lila spontan menepis. “Ke mana?”

“Gue obatin luka lo.”

“Nggak perlu. Pinjemin aja jaket lo. Biar gue obatin sendiri.”

Dengan ragu, akhirnya Aiden melepas jaket yang dikenakannya. Kemudian menyerahkannya pada Lila. “Beneran nggak mau gue bantu?”

Tertawa kecil, Lila lantas menepuk bahu Aiden. “Gue udah biasa obatin sendiri kali.” entengnya. “Yaudah ini gue pinjem dulu, ya.” tambahnya. Kemudian berjalan melewati Aiden dan berniat membersihkan lukanya agar bisa mengikuti kelas.

Namun langkahnya terhenti usai satu kalimat keluar dari mulut Aiden.

“Pulang jam berapa? Biar gue anter. Mumpung gue baik, nih.” ucap Aiden becanda.

“Jam 12.”

“Oke. Gue tunggu di parkiran.”

“Den,”

“Hm?”

“Gue harap lo ngelakuin ini karena tulus.”

Perlu Aiden akui bahwa kata-kata penenang yang ia ucapkan pada Lila hanyalah sebuah trik untuk membuat gadis itu percaya sehingga dia mau bercerita. Bahkan ketika Lila memintanya untuk merahasiakan semua kisah yang telah ia bagi, Aiden hanya mengiyakan namun tak ada niatan sedikitpun untuk menuruti ucapan gadis itu dan tetap akan membocorkannya pada teman-teman yang lain.

Namun hatinya tiba-tiba goyah saat mendapati wajah putus asa Lila kini tengah menatapnya penuh harap.

“Tenang aja. Gue cuma pengen ngasih tumpangan. Nggak ada maksud apa-apa.”

Lila masih enggan mengalihkan pandangan. “Gue udah percaya sama lo. Gue juga nggak tau kenapa gue bisa segampang itu cerita sama lo. Gue belum pernah cerita soal kehidupan gue sama siapapun. Dan lo orang pertama yang gue percaya. Jadi, kalo lo mengkhianati gue, itu artinya lo sama aja kayak bokap gue. Bedanya lo membunuh gue secara halus. Kalo bokap gue pakek sikaaan dulu.”

Aiden tercekat. Pertahanannya mulai runtuh. Kemungkinan terburuk bisa terjadi pada gadis itu. Aiden tak bisa egois karena gadis di hadapannya itu tak lebih dari sekedar manusia yang berada di ambang hidup dan mati.

“Iya. Percaya sama gue. Gue bakal simpen rahasia lo rapat-rapat.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Aiden.

Mendapati Lila tersenyum lega, kedua sudut bibir Aiden tanpa sadar ikut terangkat. Entah makhluk mana yang tengah merasukinya, detik itu juga niat awal Aiden seolah memudar. Ia memutuskan untuk menepati ucapannya dan memilih untuk berdusta pada teman-temannya.

****

“Siniin tangan lo!” Sesampainya di dalam mobil, Aiden tak henti-hentinya menghembuskan napas jengah. Rupanya Lila tak mengobati luka di tangannya. Gadis itu hanya membersihkannya dengan air, kemudian ia biarkan begitu saja. Tak masalah baginya asalkan darahnya sudah berhenti mengalir.

“Lukanya lebar. Ntar infeksi.” Tak sabar, Aiden segera menarik tangan Lila tanpa persetujuan. Pun gadis itu juga tak melakukan penolakan.

Diperhatikannya sejenak luka menganga di telapak tangan Lila, kemudian ia obati dengan telaten.

Lila menatap lamat-lamat Aiden dari samping. Sepercik rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Ah, jadi seperti ini rasanya diperhatikan, gumamnya.

“Makasih, ya, Den. Gini aja gue udah tersentuh banget. Hahaha.”

Aiden menoleh. Hanya untuk mendapati Lila mengusap air matanya yang berebut jatuh.

Aiden mendadak panik. “Eh, kok nangis?”

“Sorry.” ucap Lila. Dia nampak kesal sebab air matanya enggan berhenti. “Gue tau lo peduli sama gue cuma karena kasihan, tapi gue cuma mau bilang makasih. Makasih banyak udah bikin gue merasa disayang dan diperhatiin.”

Aiden bungkam. Ia tak tahu harus merespon apa.

“Gue merasa berharga banget, Den, hari ini. Untuk pertama kalinya penderitaan gue didengar. Untuk pertama kalinya ada yang ngobatin luka gue selain Mama. Mana ngasih tumpangan juga.”

Tangan kiri Aiden kemudian terulur untuk menepuk pundak Lila. Menenangkan gadis itu yang semakin tersedu.

“Gue emang pinter nyari temen. Tapi lama-lama mereka pasti jauhin gue. Makanya nggak ada orang yang bener-bener gue percaya selain Mama.”

“Gue pengen setidaknya gue punya saudara satu aja. Saudara yang selalu support gue dan ada buat gue. Yang nggak akan pernah ke mana-mana dan jadi tempat gue berbagi cerita. Mama udah cukup menderita, makanya gue nggak mau bagi keluh kesah gue. Dan akhirnya gue nggak punya siapa-siapa untuk cerita selain diri gue sendiri.”

Suasana hening kemudian, hanya terdengar suara isakan Lila yang kabar baiknya semakin mereda.

“Lo punya gue.” celetuk Aiden memecah keheningan.

“Anggep gue saudara lo kalo lo nggak keberatan.” imbuhnya.

Dengan wajah memerah dan bekas air mata yang mulai mengering di pipi, Lila menatap Aiden yang juga sedang menatapnya. Ia meminta penjelasan dari ucapan lelaki itu.

Seolah dibius, Aiden merasakan dunianya berhenti saat itu juga. Satu pertanyaan terbesit dalam pikirannya, “Sejak kapan wajah berhias kemerahan dengan kedua mata membengkak itu nampak begitu candu untuk dipandang?”

Orang-orang bilang, Lila memiliki paras jelita. Aiden benci mengakuinya, tapi ia setuju dengan pernyataan itu. Ini memang bukan kali pertama Aiden bertatap muka dengan Lila, tapi entah mengapa kali ini sensasinya berbeda. Wajah gadis itu seolah mengandung alkohol. Begitu memabukkan dan Aiden tak mampu menjelaskan.

“Makhsudnya?”

Pertanyaan itu berhasil menarik Aiden kembali pada kenyataan. “H-hah? Gimana?”

Lila melempar tatapan malas. “Ditanya malah ganti nanya.”

“O-oh. Makhsudnya lo bisa anggep gue sebagai saudara lo kalo lo mau. Abang, adek, sepupu, keponakan, om, apa aja deh terserah. Tapi yang paling paw Abang, sih.”

“Kenapa? Kenapa lo minta gue buat anggep lo saudara?”

Sejujurnya, Aiden sendiri tak tahu mengapa. Ia juga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tak pernah semudah ini baginya mengulurkan tangan pada orang lain. Ada sebuah hasrat yang mendorongnya untuk sigap menjadi tameng Lila.

“Katanya tadi pengen punya saudara. Nih udah dikabulin.”

Wajah Lila berubah gelisah. “Lo nggak keberatan kalo gue bagi semua cerita gue ke lo? Gue sering merasa putus asa, Den. Yang ada ntar lo malah capek sama gue. Hidup gue banyak nggak adilnya, kalo dunia ikut memperlakukan lo sama nggak adilnya gimana? Lo siap ambil semua resi-

“Emang gitu, kan, gunanya saudara?” sela Aiden.

“Oke. Mulai sekarang, anggep gue saudara lo. Gue berubah pikiran. Jangan anggep gue om, adek, sepupu. Anggep gue Abang aja. Dah. Soalnya tugas Abang selain jaga adeknya juga melindungi adeknya. Gue siap ambil peran itu buat lo.”

“Gue ngelakuin semua ini bukan karena kasihan, bukan karena sok-sokan peduli, bukan juga karena terpaksa karena gue udah tau semua cerita lo. Terlepas dari semua itu, gue juga merasa lo berhak dapet keadilan. Keadilan sebagai perempuan, keadilan sebagai anak, semua orang berhak bahagia, Lil.”

“Jadi percaya sama gue. Nggak ada yang selamanya di dunia ini. Termasuk penderitaan lo. Semua akan baik-baik aja. Jadi nggak ada yang perlu lo khawatirin termasuk keterlibatan gue.”

Aiden bisa merasakan kedua tangan Lila kini melingkar di lehernya. Tak tersisa jarak di antara mereka. Sebuah kehangatan menjalar perlahan, diiringi debaran gila yang mulai merenggut kewarasan. Aiden masih terheran-heran. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Perilakunya hari ini begitu aneh. Ini seperti bukan dirinya. Yang lebih aneh lagi, Aiden justru menikmatinya.

Lila mulai memberi jarak. Matanya terlihat berkaca-kaca. Nampaknya ia kembali tersentuh dengan ucapan Aiden.

“Lo tau, kenapa gue nggak obatin luka gue?” tanya Lila.

Aiden hendak menjawab, tetapi Lila tiba-tiba kembali berujar. “Bukan karena gue males. Tapi karena gue capek. Percuma, gue bakal dapet luka baru lagi.” jelasnya.

Kemudian dengan tanpa aba Lila menaikkan kain di lengannya. Menampilkan sejumlah lingkar keunguan di lengan kurusnya. Beberapa di antaranya bahkan mulai menghitam.

“Nih lihat! Lebamnya nggak cuma di leher.”

Detik selanjutnya, Lila kembali menunjukkan hal serupa di beberapa bagian tubuhnya. Tengkuk, pundak, hingga betisnya juga penuh dengan luka dan lebam. Demi Tuhan, Aiden tak sanggup membayangkan betapa sakit dan seringnya luka yang Lila terima. Ada rasa nyeri luar biasa di hati Aiden.

Hidup di keluarga yang harmonis, Aiden dididik untuk menghargai dan menghormati perempuan. Ibunya selalu bilang bahwa perempuan itu ibarat kaca. Makanya perlu dijaga dengan hati-hati. Melihat kondisi Lila yang demikian, hati Aiden rasanya seperti disayat. Bagaimana bisa seorang Ayah memperlakukan anak gadisnya sekejam itu?

Sebelum rasa sesak semakin menyerbu, Aiden segera menarik Lila dalam dekapannya. Mengelus surai gadis itu lembut sembari menyalurkan kehangatan.

“Lo hebat. Makasih udah mau bertahan. Mulai hari ini, bagi beban lo sama gue. Jangan pernah merasa lo nggak punya siapa-siapa. Nggak papa, dunia kadang emang nggak adil. Tuhan bukannya jahat sama lo, tapi Dia tahu kalo lo kuat. Jangan nyerah, ya.”

Dia Yang Berkawan Dengan Luka

Jika Aiden ditanya mengapa ia begitu memihak Lila, maka jawabannya adalah karena ia satu-satunya teman yang tau kisah tragis gadis itu sampai ke akar-akarnya.

Aiden terbiasa menjadi pribadi yang seringkali masa bodoh terhadap segala hal. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak bisa menahan untuk tidak peduli pada Lila, gadis yang dengan segala kisah pilunya berhasil menumbuhkan rasa simpati yang begitu besar pada Aiden.

Semua itu bermula saat Aiden berusaha mencari tahu perihal dari mana lebam di leher Lila berasal. Pemuda itu tak pernah menduga Lila bisa dengan mudah mempercayainya. Membagi kisah hidupnya di tengah ruangan bekas perpustakan yang begitu kental dengan aroma debu.

Ia masih mengingat dengan sempurna bagaimana Lila bercerita dengan wajah datar dan sesekali tertawa alih-alih menangis. Menggambarkan bahwa gadis itu seolah sudah lupa bagaimana cara yang tepat mengekspresikan rasa sakit.

“Jangan kasihan sama gue. Gue udah pasrah kalo sewaktu-waktu dibunuh sama bokap gue. Yahh, liat aja ntar kalo gue mati berarti lo tau lah siapa pelakunya.” Lila menyeringai. Tangannya yang penuh darah dan penampilannya yang berantakan, membuat gadis itu terlihat seperti psikopat. Meski kenyataannya justru dialah yang merupakan korban dari psikopat gila yang mengaku sebagai Ayahnya.

Aiden mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri, kemudian menarik tangan Lila yang berada di sebelahnya. “Ayo ikut gue!”

Lila spontan menepis. “Ke mana?”

“Gue obatin luka lo.”

“Nggak perlu. Pinjemin aja jaket lo. Biar gue obatin sendiri.”

Dengan ragu, akhirnya Aiden melepas jaket yang dikenakannya. Kemudian menyerahkannya pada Lila. “Beneran nggak mau gue bantu?”

Tertawa kecil, Lila lantas menepuk bahu Aiden. “Gue udah biasa obatin sendiri kali.” entengnya. “Yaudah ini gue pinjem dulu, ya.” tambahnya. Kemudian berjalan melewati Aiden dan berniat membersihkan lukanya agar bisa mengikuti kelas.

Namun langkahnya terhenti usai satu kalimat keluar dari mulut Aiden.

“Pulang jam berapa? Biar gue anter. Mumpung gue baik, nih.” ucap Aiden becanda.

“Jam 12.”

“Oke. Gue tunggu di parkiran.”

“Den,”

“Hm?”

“Gue harap lo ngelakuin ini karena tulus.”

Perlu Aiden akui bahwa kata-kata penenang yang ia ucapkan pada Lila hanyalah sebuah trik untuk membuat gadis itu percaya sehingga dia mau bercerita. Bahkan ketika Lila memintanya untuk merahasiakan semua kisah yang telah ia bagi, Aiden hanya mengiyakan namun tak ada niatan sedikitpun untuk menuruti ucapan gadis itu dan tetap akan membocorkannya pada teman-teman yang lain.

Namun hatinya tiba-tiba goyah saat mendapati wajah putus asa Lila kini tengah menatapnya penuh harap.

“Tenang aja. Gue cuma pengen ngasih tumpangan. Nggak ada maksud apa-apa.”

Lila masih enggan mengalihkan pandangan. “Gue udah percaya sama lo. Gue juga nggak tau kenapa gue bisa segampang itu cerita sama lo. Gue belum pernah cerita soal kehidupan gue sama siapapun. Dan lo orang pertama yang gue percaya. Jadi, kalo lo mengkhianati gue, itu artinya lo sama aja kayak bokap gue. Bedanya lo membunuh gue secara halus. Kalo bokap gue pakek sikaaan dulu.”

Aiden tercekat. Pertahanannya mulai runtuh. Kemungkinan terburuk bisa terjadi pada gadis itu. Aiden tak bisa egois karena gadis di hadapannya itu tak lebih dari sekedar manusia yang berada di ambang hidup dan mati.

“Iya. Percaya sama gue. Gue bakal simpen rahasia lo rapat-rapat.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Aiden.

Mendapati Lila tersenyum lega, kedua sudut bibir Aiden tanpa sadar ikut terangkat. Entah makhluk mana yang tengah merasukinya, detik itu juga niat awal Aiden seolah memudar. Ia memutuskan untuk menepati ucapannya dan memilih untuk berdusta pada teman-temannya.

**

“Siniin tangan lo!” Sesampainya di dalam mobil, Aiden tak henti-hentinya menghembuskan napas jengah. Rupanya Lila tak mengobati luka di tangannya. Gadis itu hanya membersihkannya dengan air, kemudian ia biarkan begitu saja. Tak masalah baginya asalkan darahnya sudah berhenti mengalir.

“Lukanya lebar. Ntar infeksi.” Tak sabar, Aiden segera menarik tangan Lila tanpa persetujuan. Pun gadis itu juga tak melakukan penolakan.

Diperhatikannya sejenak luka menganga di telapak tangan Lila, kemudian ia obati dengan telaten.

Lila menatap lamat-lamat Aiden dari samping. Sepercik rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Ah, jadi seperti ini rasanya diperhatikan, gumamnya.

“Makasih, ya, Den. Gini aja gue udah tersentuh banget. Hahaha.”

Aiden menoleh. Hanya untuk mendapati Lila mengusap air matanya yang berebut jatuh.

Aiden mendadak panik. “Eh, kok nangis?”

“Sorry.” ucap Lila. Dia nampak kesal sebab air matanya enggan berhenti. “Gue tau lo peduli sama gue cuma karena kasihan, tapi gue cuma mau bilang makasih. Makasih banyak udah bikin gue merasa disayang dan diperhatiin.”

Aiden bungkam. Ia tak tahu harus merespon apa.

“Gue merasa berharga banget, Den, hari ini. Untuk pertama kalinya penderitaan gue didengar. Untuk pertama kalinya ada yang ngobatin luka gue selain Mama. Mana ngasih tumpangan juga.”

Tangan kiri Aiden kemudian terulur untuk menepuk pundak Lila. Menenangkan gadis itu yang semakin tersedu.

“Gue emang pinter nyari temen. Tapi lama-lama mereka pasti jauhin gue. Makanya nggak ada orang yang bener-bener gue percaya selain Mama.”

“Gue pengen setidaknya gue punya saudara satu aja. Saudara yang selalu support gue dan ada buat gue. Yang nggak akan pernah ke mana-mana dan jadi tempat gue berbagi cerita. Mama udah cukup menderita, makanya gue nggak mau bagi keluh kesah gue. Dan akhirnya gue nggak punya siapa-siapa untuk cerita selain diri gue sendiri.”

Suasana hening kemudian, hanya terdengar suara isakan Lila yang kabar baiknya semakin mereda.

“Lo punya gue.” celetuk Aiden memecah keheningan.

“Anggep gue saudara lo kalo lo nggak keberatan.” imbuhnya.

Dengan wajah memerah dan bekas air mata yang mulai mengering di pipi, Lila menatap Aiden yang juga sedang menatapnya. Ia meminta penjelasan dari ucapan lelaki itu.

Seolah dibius, Aiden merasakan dunianya berhenti saat itu juga. Satu pertanyaan terbesit dalam pikirannya, “Sejak kapan wajah berhias kemerahan dengan kedua mata membengkak itu nampak begitu candu untuk dipandang?”

Orang-orang bilang, Lila memiliki paras jelita. Aiden benci mengakuinya, tapi ia setuju dengan pernyataan itu. Ini memang bukan kali pertama Aiden bertatap muka dengan Lila, tapi entah mengapa kali ini sensasinya berbeda. Wajah gadis itu seolah mengandung alkohol. Begitu memabukkan dan Aiden tak mampu menjelaskan.

“Makhsudnya?”

Pertanyaan itu berhasil menarik Aiden kembali pada kenyataan. “H-hah? Gimana?”

Lila melempar tatapan malas. “Ditanya malah ganti nanya.”

“O-oh. Makhsudnya lo bisa anggep gue sebagai saudara lo kalo lo mau. Abang, adek, sepupu, keponakan, om, apa aja deh terserah. Tapi yang paling paw Abang, sih.”

“Kenapa? Kenapa lo minta gue buat anggep lo saudara?”

Sejujurnya, Aiden sendiri tak tahu mengapa. Ia juga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tak pernah semudah ini baginya mengulurkan tangan pada orang lain. Ada sebuah hasrat yang mendorongnya untuk sigap menjadi tameng Lila.

“Katanya tadi pengen punya saudara. Nih udah dikabulin.”

Wajah Lila berubah gelisah. “Lo nggak keberatan kalo gue bagi semua cerita gue ke lo? Gue sering merasa putus asa, Den. Yang ada ntar lo malah capek sama gue. Hidup gue banyak nggak adilnya, kalo dunia ikut memperlakukan lo sama nggak adilnya gimana? Lo siap ambil semua resi-

“Emang gitu, kan, gunanya saudara?” sela Aiden.

“Oke. Mulai sekarang, anggep gue saudara lo. Gue berubah pikiran. Jangan anggep gue om, adek, sepupu. Anggep gue Abang aja. Dah. Soalnya tugas Abang selain jaga adeknya juga melindungi adeknya. Gue siap ambil peran itu buat lo.”

“Gue ngelakuin semua ini bukan karena kasihan, bukan karena sok-sokan peduli, bukan juga karena terpaksa karena gue udah tau semua cerita lo. Terlepas dari semua itu, gue juga merasa lo berhak dapet keadilan. Keadilan sebagai perempuan, keadilan sebagai anak, semua orang berhak bahagia, Lil.”

“Jadi percaya sama gue. Nggak ada yang selamanya di dunia ini. Termasuk penderitaan lo. Semua akan baik-baik aja. Jadi nggak ada yang perlu lo khawatirin termasuk keterlibatan gue.”

Aiden bisa merasakan kedua tangan Lila kini melingkar di lehernya. Tak tersisa jarak di antara mereka. Sebuah kehangatan menjalar perlahan, diiringi debaran gila yang mulai merenggut kewarasan. Aiden masih terheran-heran. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Perilakunya hari ini begitu aneh. Ini seperti bukan dirinya. Yang lebih aneh lagi, Aiden justru menikmatinya.

Lila mulai memberi jarak. Matanya terlihat berkaca-kaca. Nampaknya ia kembali tersentuh dengan ucapan Aiden.

“Lo tau, kenapa gue nggak obatin luka gue?” tanya Lila.

Aiden hendak menjawab, tetapi Lila tiba-tiba kembali berujar. “Bukan karena gue males. Tapi karena gue capek. Percuma, gue bakal dapet luka baru lagi.” jelasnya.

Kemudian dengan tanpa aba Lila menaikkan kain di lengannya. Menampilkan sejumlah lingkar keunguan di lengan kurusnya. Beberapa di antaranya bahkan mulai menghitam.

“Nih lihat! Lebamnya nggak cuma di leher.”

Detik selanjutnya, Lila kembali menunjukkan hal serupa di beberapa bagian tubuhnya. Tengkuk, pundak, hingga betisnya juga penuh dengan luka dan lebam. Demi Tuhan, Aiden tak sanggup membayangkan betapa sakit dan seringnya luka yang Lila terima. Ada rasa nyeri luar biasa di hati Aiden.

Hidup di keluarga yang harmonis, Aiden dididik untuk menghargai dan menghormati perempuan. Ibunya selalu bilang bahwa perempuan itu ibarat kaca. Makanya perlu dijaga dengan hati-hati. Melihat kondisi Lila yang demikian, hati Aiden rasanya seperti disayat. Bagaimana bisa seorang Ayah memperlakukan anak gadisnya sekejam itu?

Sebelum rasa sesak semakin menyerbu, Aiden segera menarik Lila dalam dekapannya. Mengelus surai gadis itu lembut sembari menyalurkan kehangatan.

“Lo hebat. Makasih udah mau bertahan. Mulai hari ini, bagi beban lo sama gue. Jangan pernah merasa lo nggak punya siapa-siapa. Nggak papa, dunia kadang emang nggak adil. Tuhan bukannya jahat sama lo, tapi Dia tahu kalo lo kuat. Jangan nyerah, ya.”

Dia Yang Berkawan Dengan Luka

Jika Aiden ditanya mengapa ia begitu memihak Lila, maka jawabannya adalah karena ia satu-satunya teman yang tau kisah tragis gadis itu sampai ke akar-akarnya.

Aiden terbiasa menjadi pribadi yang seringkali masa bodoh terhadap segala hal. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak bisa menahan untuk tidak peduli pada Lila, gadis yang dengan segala kisah pilunya berhasil menumbuhkan rasa simpati yang begitu besar pada Aiden.

Semua itu bermula saat Aiden berusaha mencari tahu perihal dari mana lebam di leher Lila berasal. Pemuda itu tak pernah menduga Lila bisa dengan mudah mempercayainya. Membagi kisah hidupnya di tengah ruangan bekas perpustakan yang begitu kental dengan aroma debu.

Ia masih mengingat dengan sempurna bagaimana Lila bercerita dengan wajah datar dan sesekali tertawa alih-alih menangis. Menggambarkan bahwa gadis itu seolah sudah lupa bagaimana cara yang tepat mengekspresikan rasa sakit.

“Jangan kasihan sama gue. Gue udah pasrah kalo sewaktu-waktu dibunuh sama bokap gue. Yahh, liat aja ntar kalo gue mati berarti lo tau lah siapa pelakunya.” Lila menyeringai. Tangannya yang penuh darah dan penampilannya yang berantakan, membuat gadis itu terlihat seperti psikopat. Meski kenyataannya justru dialah yang merupakan korban dari psikopat gila yang mengaku sebagai Ayahnya.

Aiden mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri, kemudian menarik tangan Lila yang berada di sebelahnya. “Ayo ikut gue!”

Lila spontan menepis. “Ke mana?”

“Gue obatin luka lo.”

“Nggak perlu. Pinjemin aja jaket lo. Biar gue obatin sendiri.”

Dengan ragu, akhirnya Aiden melepas jaket yang dikenakannya. Kemudian menyerahkannya pada Lila. “Beneran nggak mau gue bantu?”

Tertawa kecil, Lila lantas menepuk bahu Aiden. “Gue udah biasa obatin sendiri kali.” entengnya. “Yaudah ini gue pinjem dulu, ya.” tambahnya. Kemudian berjalan melewati Aiden dan berniat membersihkan lukanya agar bisa mengikuti kelas.

Namun langkahnya terhenti usai satu kalimat keluar dari mulut Aiden.

“Pulang jam berapa? Biar gue anter. Mumpung gue baik, nih.” ucap Aiden becanda.

“Jam 12.”

“Oke. Gue tunggu di parkiran.”

“Den,”

“Hm?”

“Gue harap lo ngelakuin ini karena tulus.”

Perlu Aiden akui bahwa kata-kata penenang yang ia ucapkan pada Lila hanyalah sebuah trik untuk membuat gadis itu percaya sehingga dia mau bercerita. Bahkan ketika Lila memintanya untuk merahasiakan semua kisah yang telah ia bagi, Aiden hanya mengiyakan namun tak ada niatan sedikitpun untuk menuruti ucapan gadis itu dan tetap akan membocorkannya pada teman-teman yang lain.

Namun hatinya tiba-tiba goyah saat mendapati wajah putus asa Lila kini tengah menatapnya penuh harap.

“Tenang aja. Gue cuma pengen ngasih tumpangan. Nggak ada maksud apa-apa.”

Lila masih enggan mengalihkan pandangan. “Gue udah percaya sama lo. Gue juga nggak tau kenapa gue bisa segampang itu cerita sama lo. Gue belum pernah cerita soal kehidupan gue sama siapapun. Dan lo orang pertama yang gue percaya. Jadi, kalo lo mengkhianati gue, itu artinya lo sama aja kayak bokap gue. Bedanya lo membunuh gue secara halus. Kalo bokap gue pakek sikaaan dulu.”

Aiden tercekat. Pertahanannya mulai runtuh. Kemungkinan terburuk bisa terjadi pada gadis itu. Aiden tak bisa egois karena gadis di hadapannya itu tak lebih dari sekedar manusia yang berada di ambang hidup dan mati.

“Iya. Percaya sama gue. Gue bakal simpen rahasia lo rapat-rapat.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Aiden.

Mendapati Lila tersenyum lega, kedua sudut bibir Aiden tanpa sadar ikut terangkat. Entah makhluk mana yang tengah merasukinya, detik itu juga niat awal Aiden seolah memudar. Ia memutuskan untuk menepati ucapannya dan memilih untuk berdusta pada teman-temannya.

***

“Siniin tangan lo!” Aiden menghembuskan napas jengah. Rupanya Lila tak mengobati luka di tangannya. Gadis itu hanya membersihkannya dengan air, kemudian ia biarkan begitu saja. Tak masalah baginya asalkan darahnya sudah berhenti mengalir.

“Lukanya lebar. Ntar infeksi.” Tak sabar, Aiden segera menarik tangan Lila tanpa persetujuan. Pun gadis itu juga tak melakukan penolakan.

Diperhatikannya sejenak luka menganga di telapak tangan Lila, kemudian ia obati dengan telaten.

Lila menatap lamat-lamat Aiden dari samping. Sepercik rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Ah, jadi seperti ini rasanya diperhatikan, gumamnya.

“Makasih, ya, Den. Gini aja gue udah tersentuh banget. Hahaha.”

Aiden menoleh. Hanya untuk mendapati Lila mengusap air matanya yang berebut jatuh.

Aiden mendadak panik. “Eh, kok nangis?”

“Sorry.” ucap Lila. Dia nampak kesal sebab air matanya enggan berhenti. “Gue tau lo peduli sama gue cuma karena kasihan, tapi gue cuma mau bilang makasih. Makasih banyak udah bikin gue merasa disayang dan diperhatiin.”

Aiden bungkam. Ia tak tahu harus merespon apa.

“Gue merasa berharga banget, Den, hari ini. Untuk pertama kalinya penderitaan gue didengar. Untuk pertama kalinya ada yang ngobatin luka gue selain Mama. Mana ngasih tumpangan juga.”

Tangan kiri Aiden kemudian terulur untuk menepuk pundak Lila. Menenangkan gadis itu yang semakin tersedu.

“Gue emang pinter nyari temen. Tapi lama-lama mereka pasti jauhin gue. Makanya nggak ada orang yang bener-bener gue percaya selain Mama.”

“Gue pengen setidaknya gue punya saudara satu aja. Saudara yang selalu support gue dan ada buat gue. Yang nggak akan pernah ke mana-mana dan jadi tempat gue berbagi cerita. Mama udah cukup menderita, makanya gue nggak mau bagi keluh kesah gue. Dan akhirnya gue nggak punya siapa-siapa untuk cerita selain diri gue sendiri.”

Suasana hening kemudian, hanya terdengar suara isakan Lila yang kabar baiknya semakin mereda.

“Lo punya gue.” celetuk Aiden memecah keheningan.

“Anggep gue saudara lo kalo lo nggak keberatan.” imbuhnya.

Dengan wajah memerah dan bekas air mata yang mulai mengering di pipi, Lila menatap Aiden yang juga sedang menatapnya. Ia meminta penjelasan dari ucapan lelaki itu.

Seolah dibius, Aiden merasakan dunianya berhenti saat itu juga. Satu pertanyaan terbesit dalam pikirannya, “Sejak kapan wajah berhias kemerahan dengan kedua mata membengkak itu nampak begitu candu untuk dipandang?”

Orang-orang bilang, Lila memiliki paras jelita. Aiden benci mengakuinya, tapi ia setuju dengan pernyataan itu. Ini memang bukan kali pertama Aiden bertatap muka dengan Lila, tapi entah mengapa kali ini sensasinya berbeda. Wajah gadis itu seolah mengandung alkohol. Begitu memabukkan dan Aiden tak mampu menjelaskan.

“Makhsudnya?”

Pertanyaan itu berhasil menarik Aiden kembali pada kenyataan. “H-hah? Gimana?”

Lila melempar tatapan malas. “Ditanya malah ganti nanya.”

“O-oh. Makhsudnya lo bisa anggep gue sebagai saudara lo kalo lo mau. Abang, adek, sepupu, keponakan, om, apa aja deh terserah. Tapi yang paling paw Abang, sih.”

“Kenapa? Kenapa lo minta gue buat anggep lo saudara?”

Sejujurnya, Aiden sendiri tak tahu mengapa. Ia juga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tak pernah semudah ini baginya mengulurkan tangan pada orang lain. Ada sebuah hasrat yang mendorongnya untuk sigap menjadi tameng Lila.

“Katanya tadi pengen punya saudara. Nih udah dikabulin.”

Wajah Lila berubah gelisah. “Lo nggak keberatan kalo gue bagi semua cerita gue ke lo? Gue sering merasa putus asa, Den. Yang ada ntar lo malah capek sama gue. Hidup gue banyak nggak adilnya, kalo dunia ikut memperlakukan lo sama nggak adilnya gimana? Lo siap ambil semua resi-

“Emang gitu, kan, gunanya saudara?” sela Aiden.

“Oke. Mulai sekarang, anggep gue saudara lo. Gue berubah pikiran. Jangan anggep gue om, adek, sepupu. Anggep gue Abang aja. Dah. Soalnya tugas Abang selain jaga adeknya juga melindungi adeknya. Gue siap ambil peran itu buat lo.”

“Gue ngelakuin semua ini bukan karena kasihan, bukan karena sok-sokan peduli, bukan juga karena terpaksa karena gue udah tau semua cerita lo. Terlepas dari semua itu, gue juga merasa lo berhak dapet keadilan. Keadilan sebagai perempuan, keadilan sebagai anak, semua orang berhak bahagia, Lil.”

“Jadi percaya sama gue. Nggak ada yang selamanya di dunia ini. Termasuk penderitaan lo. Semua akan baik-baik aja. Jadi nggak ada yang perlu lo khawatirin termasuk keterlibatan gue.”

Aiden bisa merasakan kedua tangan Lila kini melingkar di lehernya. Tak tersisa jarak di antara mereka. Sebuah kehangatan menjalar perlahan, diiringi debaran gila yang mulai merenggut kewarasan. Aiden masih terheran-heran. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Perilakunya hari ini begitu aneh. Ini seperti bukan dirinya. Yang lebih aneh lagi, Aiden justru menikmatinya.

Lila mulai memberi jarak. Matanya terlihat berkaca-kaca. Nampaknya ia kembali tersentuh dengan ucapan Aiden.

“Lo tau, kenapa gue nggak obatin luka gue?” tanya Lila.

Aiden hendak menjawab, tetapi Lila tiba-tiba kembali berujar. “Bukan karena gue males. Tapi karena gue capek. Percuma, gue bakal dapet luka baru lagi.” jelasnya.

Kemudian dengan tanpa aba Lila menaikkan kain di lengannya. Menampilkan sejumlah lingkar keunguan di lengan kurusnya. Beberapa di antaranya bahkan mulai menghitam.

“Nih lihat! Lebamnya nggak cuma di leher.”

Detik selanjutnya, Lila kembali menunjukkan hal serupa di beberapa bagian tubuhnya. Tengkuk, pundak, hingga betisnya juga penuh dengan luka dan lebam. Demi Tuhan, Aiden tak sanggup membayangkan betapa sakit dan seringnya luka yang Lila terima. Ada rasa nyeri luar biasa di hati Aiden.

Hidup di keluarga yang harmonis, Aiden dididik untuk menghargai dan menghormati perempuan. Ibunya selalu bilang bahwa perempuan itu ibarat kaca. Makanya perlu dijaga dengan hati-hati. Melihat kondisi Lila yang demikian, hati Aiden rasanya seperti disayat. Bagaimana bisa seorang Ayah memperlakukan anak gadisnya sekejam itu?

Sebelum rasa sesak semakin menyerbu, Aiden segera menarik Lila dalam dekapannya. Mengelus surai gadis itu lembut sembari menyalurkan kehangatan.

“Lo hebat. Makasih udah mau bertahan. Mulai hari ini, bagi beban lo sama gue. Jangan pernah merasa lo nggak punya siapa-siapa. Nggak papa, dunia kadang emang nggak adil. Tuhan bukannya jahat sama lo, tapi Dia tahu kalo lo kuat. Jangan nyerah, ya.”

“Lo inget, nggak, waktu aiden cerita soal lila di kantin?”

Shefa termenung sesaat. “Oh, yang waktu itu gue suruh nanyain soal lebam?” Raden lantas menjawab dengan anggukan.

“Nih, ya, firasat gue bilang kayaknya dia nggak jujur. Karena menurut gue luka lebam itu bukan hasil self harm. Gue merasa ada yang nggak beres.”

Untuk pertama kalinya Shefa menyaksikan Raden memasang raut seserius itu. Sorot matanya yang kini beralih menatap layar ponsel membuat lelaki itu terlihat seperti dosen paling killer sekampus. Tangannya terus mengotak-atik, mencari sesuatu pada benda pipih itu dengan jeli.

“Nah.” lega Raden usai menemukan apa yang ia cari. Tanpa pikir panjang, lelaki itu kemudian menyodorkan ponselnya pada Shefa. Sebuah foto agak buram terpampang di sana. Butuh waktu beberapa detik bagi Shefa untuk menyadari siapa yang ada di foto itu.

“Gue lihat mereka pulang bareng. Dan itu Aiden lagi bantu ngobatin si uler kobra.”

Shefa mengernyit. “Terus? Lagian yang dilakuin Aiden udah bener. Dia cuma bantu ngobatin.” tanya Shefa. Merasa tak ada yang aneh dengan kejadian di foto itu.

“Bentar dengerin. Gue nggak tau mereka ngomongin apa aja, tapi gue lihat Lila nunjukin beberapa luka di badannya. Dan lo tau, luka lebamnya banyak. Yang gue lihat nih, di lengan atas kiri, pundak kanan apa kiri gitu gue lupa, sama di tengkuk. Gue nggak bisa lihat jelas tapi dari jauh keliatan keunguan warnanya.”

Shefa tertegun. Sesaat muncul rasa iba pada gadis yang tengah dipandangnya lewat layar ponsel itu. Namun rasa iba itu tak bertahan lama. Sebab detik selanjutnya ia kembali teringat kelakuan Lila yang begitu memuakkan.

“Setahu gue, orang self harm biasanya main silet, pisau, gitu-gituan. Intinya yang bisa buat gores kulit. Kalo udah lebam, kayaknya nggak mungkin dilakuin sendiri. Ini menurut gue loh, ya. Nggak pernah coba soalnya.” ucap Raden semena-mena.

“Den,”

“Hmm?”

“Masuk akal nggak, sih, kalo Aiden ada di pihak Lila karena dia kasihan?”

Alih-alih menjawab, Raden justru kembali menyatakan kesaksiannya. “Eh inget, nggak, pas kita berempat jenguk adek lo?” Shefa mengangguk samar.

“Nah, waktu itu Aiden balik duluan, kan? Habis itu gue langsung ikutan pamit juga soalnya gue mau ikutin dia.”

“Hah ngapain lo ikutin dia? Naksir?”

Raden menghembuskan napas frustrasi. “Diem dulu napa buset! Gue nggak sengaja lihat notif hpnya Aiden. Ada pesan masuk dari Lila. Isinya minta tolong dan dia minta si Aiden nyamperin dia.”

“Gue sempet baca satu pesan yang gue agak lupa isinya. Tapi intinya dia bilang dia takut sama Papanya.”

Shefa spontan berdiri. Matanya yang membelalak lebar menatap lurus pada Raden dengan satu tangan terangkat. “Gue paham nih. Gue paham!!” teriaknya.

“Diem dulu anjir gue belum selesai cerita.” Merasa ucapannya kembali disela, Raden lantas menarik kedua tangan shefa sampai gadis itu terduduk.

“Denger dulu. Pas aiden udah baca, mukanya langsung panik terus buru-buru cabut.”

“Mungkin saking paniknya, dia sampek nggak nyadar sama sekali kalo gue ikutin. Padahal gue ambil jarak mayan deket. Dan lo tau, gue kaget banget pas nyampek.” Raden mendramatisir. Dengan sengaja ka memutus ucapannya. Shefa sampai menarik-menarik kaos bergambar sinchan yang ia kenakan saking penasarannya.

“Aiden manjat ke kamarnya Lila yang ada di lantai 2.”

Shefa melotot kaget.

“Dia pakek tangga yang diumpetin di semacam box kayu. Bisa jadi yang naruh situ Lila. Aiden udah hafal banget tempatnya berarti itu bukan pertama kalinya dia manjat.”

“Dah, habis itu nggak lama Lila buka jendela terus Aiden masuk. Gue nggak bisa lihat mereka ngapain aja.” Raden kemudian menunjukkan beberapa foto lagi pada Shefa. Tidak terlalu jelas, tapi Shefa tau itu adalah foto-foto Aiden yang tengah memanjat. Hasil jepretan Raden kali ini berhasil membuat shefa benar-benar kehilangan kata-kata.

“Tapi aneh nggak, sih, Shef? Kayak bukan Aiden banget. Makanya tadi di chat gue bilang kayaknya dia naksir soalnya menurut gue itu lebih dari sekedar kasian.” Alasan masuk akal.

Rerdiam cukup lama, Shefa masih berusaha mencerna apa yang baru saja masuk ke telinganya. Gadis itu sempat bertanya-tanya, apa yang membuat Aiden begitu peduli pada Lila? Benar kata Raden, jika sekedar kasihan, rasanya mustahil Aiden melakukan hal senekad itu. Sebab mereka hafal betul bagaimana seorang caiden Barata. Aiden tipikal orang yang selalu mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Tapi pada kasus ini, lelaki itu bahkan tanpa pikir panjang langsung mengunjungi Lila dengan cara yang tak pernah Shefa duga. Cara yang menurutnya cukup beresiko.

“Wait, Aiden masuk rumahnya lila lewat mana? Apa nggak ketahuan satpam?” akhirnya Shefa bersuara.

“Lewat belakang. Kebetulan temboknya nggak terlalu tinggi. Gue nggak tau gimana caranya dia bisa lolos soalnya gue, kan, nggak bisa liat. Orang gue di luar. Gue liatnya cuma pas dia lompat pager sama pas manjat.”

Pikiran shefa mulai berlarian. Perlu diakui, bakat mematai-matai Raden cukup mengesankan. Dia tidak menyimpulkan sesuatu begitu saja, tetapi dia memilih untuk mencari tahunya lebih dalam. Bicara soal Aiden dan Lila, Shefa tak tahu harus berkomentar apa. Sebab ternyata ada begitu banyak cerita yang tak terbaca. Ada banyak rahasia yang tak diketahuinya.

“Bener, itu bukan self harm. Tapi dia disiksa sama bokapnya.” kilah Shefa.

Raden merebahkan tubuhnya pada sofa yang didudukinya. ekspresi serius yang melekat pada wajahnya perlahan memudar. Mungkin ia merasa lega akhirnya bisa menyampaikan semuanya.

“Gue juga mikir gitu. Tapi yang bikin gue penasaran tuh alasannya apa. Kenapa bokapnya sekasar itu sama Lila? Dia anak tunggal, kan? Mana cewek. Biasanya disayang-sayang njir. Lah ini malah disiksa.”

Itu adalah pertanyaan yang selama ini shefa tanyakan pada dirinya sendiri. Otaknya tak sampai untuk berteori dan dia juga tak punya bakat menjadi agen rahasia yang mampu memecahkan hal yang sedemikian rumit.

Seolah ditarik mundur, Shefa kembali teringat kejadian saat keluarga Lila berkunjung ke rumahnya untuk pertama kali.

“Den, menurut lo apa alasan gue masukin Lila ke sirkel kita?”

Raden memutar bola matanya malas. “Kok nanya gue?”

“Jawab aja kali!”

“Lo cuma mau bikin dia terbang setinggi-tingginya terus di titik yang lo mau, lo bakal jatuhin dia ya, kan?” Raden tertawa sarkas.

“Kalo dipikir-pikir, semua ini salah lo juga. Cuma buat nurutin lo, kita akhirnya terpecah jadi dua kubu.”

“Den,” panggil Shefa. Berusaha memberi penjelasan. Namun sialnya Raden tak menggubris. Pemuda itu justru melanjutkan kilahnya.

“Karena lo yang mulai, lo harus bertanggung jawab ke depannya. Lo harus siap nanggung resiko apa aja dan lo-

“DIEM MONYET!” Shefa tak pernah menduga Raden akan menyudutkannya seperti itu. Ia memang meminta pendapat, tapi pendapat Raden di luar ekspektasinya.

“Kenapa? Bener, kan? Kalo lo nggak masukin Lila waktu itu, nggak bakal ada kejadian kayak gini. Kalo udah begini jadi panjang, kan, urusannya?!!”

Shefa menarik napas panjang. kemudian menghembuskannya dengan gusar. “Gue masukin Lila bukan karena gue mau. Tapi karena mamanya yang minta.”

Meraih ponselnya di atas nakas, Shefa lantas membuka chatroom nya dengan mama Lila. kemudian melemparnya pada Raden. “Baca dari awal!”

“Sebelum lo baca, gue mau lo dengerin cerita gue bentar. Waktu Lila sama orang tuanya bertamu ke rumah gue untuk pertama kali, gue udah merasa aneh sama mamanya. Beliau sering nunduk dan irit ngomong. padahal Lila sama papanya antusias banget setiap kita ngobrol. Pas pulang, mamanya tiba-tiba nyamperin gue dan mohon-mohon ke gue supaya gue mau temenan sama Lila.”

“Kek apaan banget anjir temenan, kok, dipakasa.”

“Tapi beliau kayak ketakutan banget dan hampir nangis. Sebenernya gue nggak keberatan temenan sama Lila, yang penting jadi temen biasa aja, bukan satu sirkel. Tapi beberapa hari kemudian, Lila maksa gue buat masuk. Dan di waktu yang sama, mamanya mohon-mohon lagi ke gue soal permintaannya waktu itu. Habis ini lo baca aja deh isi chatnya biar lebih jelas.”

Raden menghembuskan napas tak menyangka. “Bentar, dan lo nurut gitu aja sama mamanya?”

“Menurut lo? Perusahaan bokap gue sama bokapnya Lila lagi menjalin kerjasama. Dan yang minta tolong itu mamanya Lila, Den. Gue udah nolak, tapi beliau tetep ngotot. Gue cuma nggak mau bikin konflik karena takutnya ntar berimbas ke perusahaan. Lo bisa gampang bilang gitu karena lo nggak ngerasain ada di posisi gue. Selain sungkan buat nolak, gue juga nggak tega liat nyokapnya yang udah hampir nangis mohon-mohon ke gue. Mana wajahnya udah putus asa banget.”

“Lo nggak nanya kenapa? Makhsudnya alasannya tuh apa?”

“Baca! Baca aja di situ!”

Raden lantas membaca isi chatroom itu dengan seksama. Sesekali dia akan mendecak samar kemudian memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Menyadari bahwa situasi semakin rumit.

“Oke. Sekarang kita harus ngapain?”

Shefa tak menjawab. Sampai detik ini ia masih memikirkan langkah apa yang akan ia ambil.

“Oh iya satu lagi.” Raden mengacungkan jari telunjuknya.

Shefa memandang sahabatnya itu heran. Sebab raden terlihat mengotak-atik ponselnya dengan buru-buru.

“Nih lihat!” Untuk kesekian kalinya, Shefa dibuat terkejut oleh hasil jepretan Raden.

“Hah kok bisa?! Bukannya kalian harusnya pulang bareng?!”

Sembari mengangkat kedua bahunya, Raden tertawa kecil. “Pinter banget emang ni anak.”

“Gue sempet lihat Lila nangis gara-gara omongan cowok lo. Terus nggak lama dia naik. Nah habis itu gue sama yang lain baru nyusul Raja keluar. Sama Aiden juga pastinya. Gue sama Abim terlalu fokus jalan sampek kita nggak sadar kalo Aiden udah ilang.”

Shefa masih setia mendengar dengan antusias.

“Akhirnya gue sama Abim spam chat ke dia. Tapi nggak dibales. Ditelfon juga nggak diangkat. Akhirnya kita balik dan nyari bocah tengik itu ke sekitar rumah Lila tapi nggak ketemu. Ehh, nggak lama anaknya chat nyuruh kita duluan katanya mau mampir ke rumah neneknya. Padahal mah- HAHAHA.”

Kedua mata shefa beralih menatap foto di layar ponsel Raden. Lagi. Kemudian mulutnya menganga lebar dan matanya membelalak. “Jangan bilang dia balik masuk terus naik ke kamarnya lila?!”

“Seratus.” Raden mengacungkan jempol.

“Foto itu gue ambil pas lagi nyari dia. Gue nggak kepikiran buat masuk lagi soalnya ya biasanya kalo Aiden tiba-tiba ngilang palingan nyari toko apa warung terdekat. Biasanya, kan, gitu. Tapi gue lupa kalo sekarang udah beda cerita. Makasih banget gue sama Lila karena gordennya nggak ditutup jadi fotonya keliatan jelas.”

Melihat teman perempuannya masih terkejut bukan main, tangan Raden kemudian terulur untuk menutup mulut Shefa yang masih melongo. “Mingkem.”

Mukannya mingkem, Shefa malah mengeluarkan makian. “Ewhh, najis banget si Aiden kesurupan aldebaran apa gimana nih?”

Raden tertawa terbahak-bahak. “Tapi romantis anjing.”

Dengan semena-mena, Shefa sontak menoyor kepala Raden usai mendengar ucapan lelaki itu. “Pala lu romantis!! Ini temen lu perlu diruqyah monyet!”

“Eh tapi, Abim sama Raja udah tau soal ini?”
Ah sial, Shefa baru teringat kedua temannya itu.

“Kagak. Lu doang. Takutnya ntar pada balapan hajar Aiden. Apalagi cowok lo.”

Pada Akhirnya

Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 15 menit, akhirnya Shefa sampai di tempat tujuan. Shefa sempat termenung saat menyadari bahwa ia baru saja turun di depan sebuah bangunan kosong bekas mall, yang sepertinya sudah lama terbengkalai.

Begitu seseorang menyerukan namanya, seketika itu juga Shefa kembali panik.

“SHEF!! SINI!!”

Abim dengan setelan serba hitam berdiri di ambang pintu utama bangunan, menunjukkan ekspresi kelelahan.

“MEREKA MANA? RAJA SAMA AIDEN BENERAN BAKU HANTAM? COWOK GUE PARAH KAH? IHH ABIM MEREKA DI MANA?!!” kesal Shefa karena tak bisa menemukan keberadaan kedua lelaki yang dicarinya.

“Nanya satu-satu elah! Di belakang noh.”

Tanpa pikir panjang Shefa segera beringsut dari tempatnya. Memasuki bangunan itu dengan kedua mata fokus menelisik sekitar. Isi kepala Shefa dipenuhi rasa panik sampai-sampai ia tidak menyadari keberadaan Raja dan Aiden yang sedang duduk di bawah tangga.

Abim memutar bola matanya malas. “SHEF! LIAT SAMPING KIRI!”

Seperti dugaan, Shefa terkejut bukan main sampai-sampai ia terjingkat di tempatnya.

“ASTAGA!! DEMI APA BERANTEM BENERAN?!! KALIAN KENAP- AHH UDAHLAH!” Shefa ingin sekali memarahi kedua laki-laki itu habis-habisan, tapi cukup membayangkannya saja sudah melelahkan.

Duduk bersebelahan, dengan kondisi babak belur dan baju yang sudah serupa kain lap, Raja dan Aiden melempar tatapan tanpa ekspresi pada Shefa.

Shefa memijat pangkal hidungnya, kepalanya mendadak pening menyaksikan kedua temannya yang sudah mirip berandalan. Tapi alih-alih menghampiri keduanya, Shefa justru berbalik menatap Abim.

“Bim!”

“Hmm”

“Sini bantu gue obatin mereka.” ujar Shefa sembari mengeluarkan kotak P3K dari tasnya.

“Ogah males. Salah sendiri.”

“Abim ganteng ayok sini, Nak! Nggak boleh gitu. Ayok sini ganteng!”

Meskipun terlihat ogah-ogahan, pada akhirnya Abim tetap berjalan mendekat, menuruti ajakan Shefa sambil mengeluarkan sumpah serapah diiringi decakan kesal.

Shefa spontan menghampiri Raja, membuat Abim tak ada pilihan lain selain mengobati Aiden.

“SAKIT NYET! PELAN-PELAN!!” protes Aiden.

“BACOT BENER. SALAH SENDIRI GELUT. DI MANA-MANA LUKA KALO KENA ALKOHOL PERIH. MAMPUS LO!” Shefa hanya bisa menggelengkan kepala. Sebab ia sudah menduga keduanya pasti akan adu mulut.

Sembari menahan perih di lengannya, Raja memperhatikan Shefa yang sedari tadi membisu. “Yang...” panggilnya takut-takut.

“Hmm.”

“Kamu marah, ya?”

Menghembuskan napas panjang, Shefa lantas menghentikan aktivitasnya dan beralih menatap Raja.

“Aku nggak marah. Aku cuma khawatir. Kalian tuh kayak anak kecil tau, nggak?! Masa cuma perkara gini doang berantem.”

“Cowok lo yang nyerang duluan.” timpal Aiden.

Merasa tak terima, Raja membalas ucapan Aiden dengan nada yang kian meninggi. “YA LO YANG MANCING!!”

“GUE CUMA MENGKRITIK KARENA LO JUGA SALAH.”

“EH LO MENDING DIEM AJ-

BRAKK!!

Abim membanting kotak P3K di dekatnya, membuat seluruh pasang mata mengalihkan atensi pada pemuda itu.

“BISA DIEM, NGGAK?!! GUE SUNAT NIH LU BERDUA!!”

Raja dan Aiden akhirnya bungkam. Sementara Shefa justru tertawa terbahak-bahak. Abim memang jarang sekali marah, tapi sekalinya marah, wajahnya bisa lebih mengerikan dari wajah jutek Raja. Mungkin Shefa satu-satunya orang yang tidak takut dengan ekspresi marah Abim, sebab sampai Ibukota Indonesia pindah ke Antartika, Shefa akan tetap memegang tahta tertinggi dalam lingkar pertemanan mereka.

“Nih ya, dengerin!” Dengan posisi tangan bersedekap dada, Abim berdiri menghadap Aiden dan Raja. Memasang gaya sok bijak andalannya.

“Gue nggak ngebela siapa-siapa di sini. Gue cuma beropini. Jadi gini, menurut gue yang dibilang Aiden bener, kalian berdua sama-sama salah.”

“NAH KAN GUE BILANG JUG-

“AI, LU DIEM DULU!” Aiden yang sempat merasa berjaya kembali menutup mulutnya rapat-rapat.

“Lila salah karena dia menempatkan culture di tempat yang nggak seharusnya. Dan lo juga salah karena lo udah memperlakukan dia kasar entah fisik maupun ucapan lo.” Abim menatap lurus ke arah Raja.

“Kalo gue jadi Raja, gue juga pasti marah, risih, nggak terima. Tapi gue pasti bakal nyesel karena udah kasar sama cewek. Nsyesel karena sempet nepis, bukan nyesel karena omongan gue ke dia. Soalnya menurut gue kata-kata lo waktu itu tuh jlep nya udah pas. Udah yang kayak... JLEP GITU LOH. PERFECT!” Abim lantas mengacungkan jempol pada Raja usai melempar tatapan bangga dan mengedipkan sebelah mata.

“Stress.” celetuk Shefa. “Tapi gue setuju sama Abim. Jadi Ja, aku tau kamu benci sama Lila, sama aku juga, banget malahan, tapi mending kamu maafin dia biar cepet selesai masalahnya. Aku nggak minta kamu buat maafin sekarang, sesiapnya aja. Kalo bisa secepatnya soalnya base kampus udah rame ngomongin kalian.” kilah Shefa sembari menangkup wajah tampan Raja.

“DAH SKUY BAIKAN DULU KAWAN-KAWAN.” Abim menarik tangan Raja dan Aiden kemudian menyatukannya agar berjabat tangan.

“Nah gitu salim dulu. Kan bestie. Nggak boleh berantem.”

Worst Birthday

Setelah ribuan menit terlewati, kini sampailah mereka pada bagian sakral yaitu acara potong kue.

Mengeluarkan senyum termanisnya, Lila mulai mengayunkan tangannya perlahan untuk memotong sebongkah kue berwarna coklat keemasan di hadapannya. Hingga beberapa saat kemudian, sepotong kue pertama berhasil dipotong dengan sempurna, yang kemudian ia letakkan pada piring kecil.

“MAU DIKASIH KE SIAPA TUH KUENYA!!”

“BUAT SIAPA NIH?”

Sahutan demi sahutan mulai terdengar. Menandakan bahwa orang-orang begitu penasaran siapakah yang akan menerima potongan kue itu.

Seperti yang semua orang tau, potongan kue pertama selalu jatuh pada orang yang dianggap spesial oleh Si pemberi, yang tak lain adalah seseorang yang sedang berulang tahun itu sendiri. Maka ketika Lila mengangkat kue itu, seluruh tamu yang hadir mulai heboh. Apalagi saat gadis itu perlahan melangkahkan kakinya, seluruh pasang mata spontan mengikuti ke mana arah gadis itu pergi.

Hingga tak berapa lama kemudian, suara sorakan terdengar kian ricuh, tepat saat langkah Lila berhenti pada sesosok lelaki tampan bertubuh tinggi tegap dengan setelan berwarna abu-abu.

Shefa spontan meremas gaun yang dikenakannya. Sementara Abim yang saat itu berada di sampingnya, berusaha menenangkan gadis itu agar tak bertindak di luar kendali.

Dengan kedua pipi yang sudah bersemu merah, Lila berusaha memandang lelaki di hadapannya meskipun ekspresi salah tingkah terlukis jelas di wajahnya. “Karena orang tua gue nggak bisa hadir, jadi kue ini gue persembahkan ke orang yang gue anggap spesial. Dan orang itu adalah...

...cowok yang sekarang ada di depan gue.” Suara sorakan kembali terdengar lebih heboh dari sebelumnya.

“Raja, gue suka sama lo.” ujar Lila jujur.

Dan detik selanjutnya, sebuah adegan tak terduga terjadi. Adegan yang membuat Shefa ingin berlari dan menghabisi Lila saat itu juga.

Cup!

Dengan begitu lancang, Lila mengecup pipi Raja di hadapan para tamu yang hadir. Shefa benar-benar muak. Di tengah keramaian itu, ia memutuskan untuk pergi dari sana. Berlama-lama di tempat itu hanya akan membuat darahnya naik, juga beresiko membuat dirinya melakukan serangan kapan saja. Sementara Raja, laki-laki itu merasa dunianya seolah berhenti. Butuh waktu lama baginya untuk kembali ke kenyataan. Kue, kecupan, dan sorak sorai di sekitarnya terasa seperti mimpi.

“Raja, gue beneran suka sama lo. Gue pengen kita punya hubungan lebih dari temen.”

Raja hanya membisu. Berbanding terbalik dengan Lila yang kini memandangnya dengan sorot serius.

Namun ketika Lila berniat melingkarkan kedua lengannya pada leher Raja, lelaki itu tiba-tiba menepisnya cukup keras. Membuat gadis itu membelalakkan matanya tak menyangka.

“Sebelumnya makasih banyak karena udah jadiin gue orang spesial buat lo, tapi maaf, lo sama sekali nggak spesial buat gue. Dan satu lagi, gue udah punya cewek, jadi berhenti deketin gue karena apapun cara yang lo lakuin nggak akan pernah bikin gue tertarik sedikitpun.” Raja melempar tatapan tajam sebelum akhirnya pergi meninggalkan Lila yang kini berdiri dengan kedua matanya yang sudah basah.

Setelah ribuan menit terlewati, kini sampailah mereka pada bagian sakral yaitu acara potong kue.

Mengeluarkan senyum termanisnya, Lila mulai mengayunkan tangannya perlahan untuk memotong sebongkah kue berwarna coklat keemasan di hadapannya. Hingga beberapa saat kemudian, sepotong kue pertama berhasil dipotong dengan sempurna, yang kemudian ia letakkan pada piring kecil.

“MAU DIKASIH KE SIAPA TUH KUENYA!!”

“BUAT SIAPA NIH?”

Sahutan demi sahutan mulai terdengar. Menandakan bahwa orang-orang begitu penasaran siapakah yang akan menerima potongan kue itu.

Seperti yang semua orang tau, potongan kue pertama selalu jatuh pada orang yang dianggap spesial oleh Si pemberi, yang tak lain adalah seseorang yang sedang berulang tahun itu sendiri. Maka ketika Lila mengangkat kue itu, seluruh tamu yang hadir mulai heboh. Apalagi saat gadis itu perlahan melangkahkan kakinya, seluruh pasang mata spontan mengikuti ke mana arah gadis itu pergi.

Hingga tak berapa lama kemudian, suara sorakan terdengar kian ricuh, tepat saat langkah Lila berhenti pada sesosok lelaki tampan bertubuh tinggi tegap dengan setelan berwarna abu-abu.

Shefa spontan meremas gaun yang dikenakannya. Sementara Abim yang saat itu berada di sampingnya, berusaha menenangkan gadis itu agar tak bertindak di luar kendali.

Dengan kedua pipi yang sudah bersemu merah, Lila berusaha memandang lelaki di hadapannya meskipun ekspresi salah tingkah terlukis jelas di wajahnya. “Karena orang tua gue nggak bisa hadir, jadi kue ini gue persembahkan ke orang yang gue anggap spesial. Dan orang itu adalah...

...cowok yang sekarang ada di depan gue.” Suara sorakan kembali terdengar lebih heboh dari sebelumnya.

“Raja, gue suka sama lo.” ujar Lila jujur.

Dan detik selanjutnya, sebuah adegan tak terduga terjadi. Adegan yang membuat Shefa ingin berlari dan menghabisi Lila saat itu juga.

Cup!

Dengan begitu lancang, Lila mengecup pipi Raja di hadapan para tamu yang hadir. Shefa benar-benar muak. Di tengah keramaian itu, ia memutuskan untuk pergi dari sana. Berlama-lama di tempat itu hanya akan membuat darahnya naik, juga beresiko membuat dirinya melakukan serangan kapan saja. Sementara Raja, laki-laki itu merasa dunianya seolah berhenti. Butuh waktu lama baginya untuk kembali ke kenyataan. Kue, kecupan, dan sorak sorai di sekitarnya terasa seperti mimpi.

“Raja, gue beneran suka sama lo. Gue pengen kita punya hubungan lebih dari temen.”

Raja hanya membisu. Berbanding terbalik dengan Lila yang kini memandangnya dengan sorot serius.

Namun ketika Lila berniat melingkarkan kedua lengannya pada leher Raja, lelaki itu tiba-tiba menepisnya cukup keras. Membuat gadis itu membelalakkan matanya tak menyangka.

“Sebelumnya makasih banyak karena udah jadiin gue orang spesial buat lo, tapi maaf, lo sama sekali nggak spesial buat gue. Dan satu lagi, gue udah punya cewek, jadi berhenti deketin gue karena apapun cara yang lo lakuin nggak akan pernah bikin gue tertarik sedikitpun.” Raja melempar tatapan tajam sebelum akhirnya pergi meninggalkan Lila yang kini berdiri dengan kedua matanya yang sudah basah.

Setelah ribuan menit terlewati, kini sampailah mereka pada bagian sakral yaitu acara potong kue.

Mengeluarkan senyum termanisnya, Lila mulai mengayunkan tangannya perlahan untuk memotong sebongkah kue berwarna coklat keemasan di hadapannya. Hingga beberapa saat kemudian, sepotong kue pertama berhasil dipotong dengan sempurna, yang kemudian ia letakkan pada piring kecil.

“MAU DIKASIH KE SIAPA TUH KUENYA!!”

“BUAT SIAPA NIH?”

Sahutan demi sahutan mulai terdengar. Menandakan bahwa orang-orang begitu penasaran siapakah yang akan menerima potongan kue itu.

Seperti yang semua orang tau, potongan kue pertama selalu jatuh pada orang yang dianggap spesial oleh Si pemberi, yang tak lain adalah seseorang yang sedang berulang tahun itu sendiri. Maka ketika Lila mengangkat kue itu, seluruh tamu yang hadir mulai heboh. Apalagi saat gadis itu perlahan melangkahkan kakinya, seluruh pasang mata spontan mengikuti ke mana arah gadis itu pergi.

Hingga tak berapa lama kemudian, suara sorakan terdengar kian ricuh, tepat saat langkah Lila berhenti pada sesosok lelaki tampan bertubuh tinggi tegap dengan setelan berwarna abu-abu.

Shefa spontan meremas gaun yang dikenakannya. Sementara Abim yang saat itu berada di sampingnya, berusaha menenangkan gadis itu agar tak bertindak di luar kendali.

Dengan kedua pipi yang sudah bersemu merah, Lila berusaha memandang lelaki di hadapannya meskipun ekspresi salah tingkah terlukis jelas di wajahnya. “Karena orang tua gue nggak bisa hadir, jadi kue ini gue persembahkan ke orang yang gue anggap spesial. Dan orang itu adalah...

...cowok yang sekarang ada di depan gue.” Suara sorakan kembali terdengar lebih heboh dari sebelumnya.

“Raja, gue suka sama lo.” ujar Lila jujur.

Dan detik selanjutnya, sebuah adegan tak terduga terjadi. Adegan yang membuat Shefa ingin berlari dan menghabisi Lila saat itu juga.

*Cup!

Dengan begitu lancang, Lila mengecup pipi Raja di hadapan para tamu yang hadir. Shefa benar-benar muak. Di tengah keramaian itu, ia memutuskan untuk pergi dari sana. Berlama-lama di tempat itu hanya akan membuat darahnya naik, juga beresiko membuat dirinya melakukan serangan kapan saja. Sementara Raja, laki-laki itu merasa dunianya seolah berhenti. Butuh waktu lama baginya untuk kembali ke kenyataan. Kue, kecupan, dan sorak sorai di sekitarnya terasa seperti mimpi.

“Raja, gue beneran suka sama lo. Gue pengen kita punya hubungan lebih dari temen.”

Raja hanya membisu. Berbanding terbalik dengan Lila yang kini memandangnya dengan sorot serius.

Namun ketika Lila berniat melingkarkan kedua lengannya pada leher Raja, lelaki itu tiba-tiba menepisnya cukup keras. Membuat gadis itu membelalakkan matanya tak menyangka.

“Sebelumnya makasih banyak karena udah jadiin gue orang spesial buat lo, tapi maaf, lo sama sekali nggak spesial buat gue. Dan satu lagi, gue udah punya cewek, jadi berhenti deketin gue karena apapun cara yang lo lakuin nggak akan pernah bikin gue tertarik sedikitpun.” Raja melempar tatapan tajam sebelum akhirnya pergi meninggalkan Lila yang kini berdiri dengan kedua matanya yang sudah basah.