Hidden Talent
“Nyokap bokap lo ke mana, Lil?” tanya Shefa sebab sejak ia tiba, kedua orang tua Lila tak terlihat batang hidungnya, hanya ada beberapa ART yang berlalu-lalang mempersiapkan acara ulang tahun gadis itu.
“Oh mereka lagi ke luar kota. 3 hari lagi baru pulang. Biasalah, urusan perusahaan.” jawab Lila sembari tertawa kecil. “Duduk sana, yuk!” Lila lantas menarik tangan Shefa usai menunjuk sederetan kursi di dekat tangga. Berniat mengajak temannya itu duduk di sana. Iya, teman. Meskipun mungkin sebutan itu hanya sebatas status.
“Sambil nunggu yang lain dateng, kita ngobrol di sini aja.” Lila tersenyum ramah. Tak tergambar rasa benci di sana. Walaupun bisa jadi tersimpan kepalsuan di baliknya.
Sejak memasuki area rumah Lila, sebuah pertanyaan muncul di kepala Shefa. “Lil, gue boleh nanya sesuatu?”
“Boleh dong.”
“Ada berapa banyak orang yang lo undang?”
Lila kembali melengkungkan senyum. “Nggak banyak, kok, Shef. Gue kan dari SMP udah di Amerika, jadi temen-temen gue banyak yang di sana. Jadi sekarang yang gue undang ya cuma kalian, terus temen-temen sekelas gue sama kenalan-kenalan gue kayak kating sama anak-anak fakultas sebelah.”
Shefa terdiam sejenak, memikirkan seberapa banyak kenalan Lila sampai ia menggelar pesta semewah ini. Pun makanan-makanan yang disiapkan setara dengan jumlah makanan di acara-acara besar. Sebut saja Shefa berlebihan sebab menurutnya ini lebih cocok jadi pesta pernikahan daripada pesta ulang tahun.
Dan ketika para tamu undangan mulai berdatangan, saat itu juga Shefa merasa bahwa kemampuan Lila dalam membangun relasi perlu diacungi jempol tangan hingga jempol kaki. Atau kalau perlu, jempol kuda dan jempol kudanil sekalian. Bagaimana tidak, di semester yang tergolong masih awal, Lila sudah memiliki kenalan dari segala penjuru universitas. Kini yang menjadi pertanyaan Shefa adalah bagaimana cara Lila menjalin relasi secepat dan semudah itu?
Bagian mengesankannya, Lila bahkan memperlakukan semua tamunya seolah mereka adalah teman baiknya yang sudah ia kenal selama bertahun-tahun.
Namun ketika keempat sahabatnya tiba, yang tak lain dan tak bukan adalah Abim, Aiden, Raja dan Raden, dari situ Shefa menyadari satu hal bahwa keempatnya diperlakukan lebih istimewa oleh Lila, terlebih Raja.
Shefa yang berada di balkon atas usai kembali dari kamar kecil, memilih untuk setia berdiri di sana. Menyaksikan Lila yang ternyata memberi kursi khusus untuk keempat sahabatnya, dan tentu saja ia menjadi pengecualian. Lengan ramping gadis itu beberapa kali terlihat dilingkarkan pada lengan Sang kekasih. Meskipun tak jarang juga Raja terlihat berusaha melepaskan.
Shefa tak sanggup menahan tawa kala menyaksikan adegan di bawah sana. Ekspresi ceria Lila, dan wajah canggung keempat temannya menjadi sebuah perpaduan yang rupanya cukup menggelikan untuk disaksikan.