Kindamessup

“Nyokap bokap lo ke mana, Lil?” tanya Shefa sebab sejak ia tiba, kedua orang tua Lila tak terlihat batang hidungnya, hanya ada beberapa ART yang berlalu-lalang mempersiapkan acara ulang tahun gadis itu.

“Oh mereka lagi ke luar kota. 3 hari lagi baru pulang. Biasalah, urusan perusahaan.” jawab Lila sembari tertawa kecil. “Duduk sana, yuk!” Lila lantas menarik tangan Shefa usai menunjuk sederetan kursi di dekat tangga. Berniat mengajak temannya itu duduk di sana. Iya, teman. Meskipun mungkin sebutan itu hanya sebatas status.

“Sambil nunggu yang lain dateng, kita ngobrol di sini aja.” Lila tersenyum ramah. Tak tergambar rasa benci di sana. Walaupun bisa jadi tersimpan kepalsuan di baliknya.

Sejak memasuki area rumah Lila, sebuah pertanyaan muncul di kepala Shefa. “Lil, gue boleh nanya sesuatu?”

“Boleh dong.”

“Ada berapa banyak orang yang lo undang?”

Lila kembali melengkungkan senyum. “Nggak banyak, kok, Shef. Gue kan dari SMP udah di Amerika, jadi temen-temen gue banyak yang di sana. Jadi sekarang yang gue undang ya cuma kalian, terus temen-temen sekelas gue sama kenalan-kenalan gue kayak kating sama anak-anak fakultas sebelah.”

Shefa terdiam sejenak, memikirkan seberapa banyak kenalan Lila sampai ia menggelar pesta semewah ini. Pun makanan-makanan yang disiapkan setara dengan jumlah makanan di acara-acara besar. Sebut saja Shefa berlebihan sebab menurutnya ini lebih cocok jadi pesta pernikahan daripada pesta ulang tahun.

Dan ketika para tamu undangan mulai berdatangan, saat itu juga Shefa merasa bahwa kemampuan Lila dalam membangun relasi perlu diacungi jempol tangan hingga jempol kaki. Atau kalau perlu, jempol kuda dan jempol kudanil sekalian. Bagaimana tidak, di semester yang tergolong masih awal, Lila sudah memiliki kenalan dari segala penjuru universitas. Kini yang menjadi pertanyaan Shefa adalah bagaimana cara Lila menjalin relasi secepat dan semudah itu?

Bagian mengesankannya, Lila bahkan memperlakukan semua tamunya seolah mereka adalah teman baiknya yang sudah ia kenal selama bertahun-tahun.

Namun ketika keempat sahabatnya tiba, yang tak lain dan tak bukan adalah Abim, Aiden, Raja dan Raden, dari situ Shefa menyadari satu hal bahwa keempatnya diperlakukan lebih istimewa oleh Lila, terlebih Raja.

Shefa yang berada di balkon atas usai kembali dari kamar kecil, memilih untuk setia berdiri di sana. Menyaksikan Lila yang ternyata memberi kursi khusus untuk keempat sahabatnya, dan tentu saja ia menjadi pengecualian. Lengan ramping gadis itu beberapa kali terlihat dilingkarkan pada lengan Sang kekasih. Meskipun tak jarang juga Raja terlihat berusaha melepaskan.

Shefa tak sanggup menahan tawa kala menyaksikan adegan di bawah sana. Ekspresi ceria Lila, dan wajah canggung keempat temannya menjadi sebuah perpaduan yang rupanya cukup menggelikan untuk disaksikan.

“Oke. Lo cerita pelan-pelan, ya.” ucap Aiden selembut mungkin

“Gue benci. Gue benci jadi boneka bokap gue. Dia nggak pernah biarin gue ngelakuin apa yang gue mau.” Lila tertawa kecil kemudian. Menertawakan kehidupannya yang begitu miris.

“Gue temenan sama kalian juga karena bokap gue yang mau.”

“Hah?” Ah, Aiden sempat berpikir gadis ini terlalu berharap ingin masuk dalam lingkaran pertemanannya, tapi ternyata gadis ini melakukannya karena sebuah paksaan.

“Sejak gue kenal sama Shefa, bokap gue nyuruh gue temenan sama dia. Gue harus bisa deketin dia gimanapun caranya. Dia bahkan juga mantau Shefa, kesehariannya, temen-temennya, semua hal tentang Shefa bokap gue tau. Mata-matanya ada di mana-mana.”

Aiden tak sanggup mengucapkan sepatah katapun untuk menanggapi ucapan itu. Rasanya terlalu terkejut, sampai satu katapun tak terpikirkan di kepalanya.

“Pas bokap gue tau Shefa punya temen-temen isinya cowok semua, gue disuruh deketin kalian juga. Hahaha.”

“Dari kecil gue dilatih buat punya ambisi tunggi dan diajarin buat egois. Gue sadar sifat itu masih melekat di gue sampek hari ini, tapi gue nggak bisa buang itu. Karena udah telanjur jadi karakter gue. Dan gue makin benci karena gue harus tetep punya karakter itu buat nurutin apa yang bokap gue mau.”

Aiden mulai merasa ada yang tidak beres. Ia begitu heran mengapa ada orang tua semacam itu. Dari cara Lila bercerita, Aiden bisa menyimpulkan bahwa Lila telah dididik dengan cara yang salah.

“Sekali-kali lo harus berani nolak lah, Lil. Itu nggak bagus juga buat mental lo.”

Alih-alih menanggapi ucapan Aiden, Lila justru tertawa terbahak-bahak. “Gue udah nolak, Den. Dulu. Sayangnya kalo gue nolak terus, kayaknya gue nggak akan hidup sampek detik ini.”

Lila kemudian memutar badannya. Menampakkan kepala bagian belakangnya kepada Aiden. “Lo liat? Sekilas nggak keliatan karena ketutup rambut. Tapi kalo diperhatiin keliatan, kok.”

Aiden lantas mendekat. Dan begitu ia menyadari sesuatu yang dimakhsud Lila, rasa ibanya kembali muncul.

“Kepala lo...”

“Iya. Dijahit. Karena sempet dipukul pakek besi sama bokap gue. Lupa gue besi apaan.” ujarnya santai.

Melihat Aiden yang tiba-tiba diam, Lila kemudian memanggil pemuda itu. “Den!”

“Hmm?”

“Ya gitu lah intinya! Lo udah paham, kan? Gue udah hampir mati gara-gara bokap gue. Alasan gue nggak mau nolak perintah dia karena gue masih pengen hidup. Gue pengen hidup demi nyokap gue.”

Hari itu, Aiden berhasil menjalankan tugasnya. Semua rasa penasarannya terjawab. Kedua anak manusia itu memilih untuk menghabiskan waktu di ruang kosong beraroma debu yang begitu kuat dan berhias sarang laba-laba di segala sudutnya. Aiden kembali bertanya dan Lila akan menjawab dengan sejujur-jujurnya. Sesekali gadis itu menceritakan apa saja yang telah dilakukan Sang Ayah padanya.

“Den, cukup lo yang tau. Gue harap lo bisa tutup mulut.”

“Tenang aja. Percaya sama gue.”

Mengabaikan pesan terakhir Lila, Aiden segera beranjak dari tempatnya. Mengajak kakinya melangkah menuju perpustakaan lama yang Lila makhsud. Sembari berjalan, Aiden terus bertanya-tanya, untuk apa gadis itu berada di tempat seperti itu seorang diri? Mengingat perpustakaan itu sudah lama tak digunakan sejak 5 tahun lalu.

Begitu jarak dengan perpustakaan kian menipis, Aiden mulai mempercepat langkahnya. Dan ketika berada tepat di depan pintu, lelaki itu tiba-tiba berhenti kala suara tawa tiba-tiba terdengar dari dalam.

Aiden sempat berpikir untuk putar balik karena jujur saja ia merasa takut. Berbagai macam pikiran buruk menghantui isi kepalanya. Namun beberapa saat kemudian, Aiden mengurungkan niatnya saat suara tawa yang sempat ia dengar tadi berubah menjadi suara tangis. Diiringi suara pukulan yang cukup keras.

Perlahan, Aiden mulai memutar gagang pintu. Pemuda itu tak langsung masuk, melainkan mengintip untuk memastikan apa yang terjadi di sana. Dan detik selanjutnya, Aiden tak memiliki tujuan lain selain lari dan menghentikan perempuan yang dicarinya.

“LILA LO NGAPAIN ANJING?!!”

Memilih untuk menulikan pendengarannya, Lila tetap melanjutkan aktivitasnya. Memukul-mukulkan kepalanya pada salah satu rak buku yang masih tersisa di ruang penuh debu itu.

“BERHENTI GK LO!!” Aiden menarik tubuh Lila menjauh. Tetapi perempuan itu justru mendorong tubuh Aiden kasar.

“PERGI LO!! JANGAN GANGGU GUE!!”

Gadis itu kemudian meraih pisau kecil di sakunya, kemudian mengarahkannya ke telapak tangan kirinya. Lantas dengan gerakan cepat, ia goreskan pisau itu hingga muncul cairan merah pekat dari kulitnya. Membuat Aiden terkejut bukan main.

“LILA STOP!” Ketika Aiden berusaha mengambil pisau itu, Lila justru mengeluarkan ancaman.

“PERGI ATAU GUE GORES PISAU INI KE KULIT LO!!”

Aiden seketika panik. “Gue mohon, jangan pakek pisau itu lagi. Buang! Gue mohon, itu bahaya.”

“Kalo lo mau tanya dari mana gue dapet luka yang di leher ini, jawabannya lo pasti udah tau, kan?”

Aiden membisu.

“Karena gue suka. Gue suka punya luka di tubuh gue.”

“UDAH? PUAS LO? ITUKAN JAWABAN YANG LO CARI?”

Mengembuskan napas tak menyangka, Aiden masih berusaha mencerna situasi di hadapannya. Ia terlalu terkejut untuk meyaksikan adegan tak terduga yang dilakukan oleh Lila.

“Kenapa? Kenapa lo lakuin ini?”

“Kan udah gue jawab. Karena gue suka. Karena ini bisa bikin gue lebih baik.”

Perlahan, Aiden mulai membuang sedikit demi sedikit jarak antara dirinya dengan Lila. Memberanikan diri meskipun gadis itu sedang menodongkan pisau ke arahnya.

“Lil, lo nggak sendirian. Kalo mau cerita, sini cerita sama gue. Gue bakal dengerin.”

Lila tak berkutik. Masih memandang nyalang pada Aiden dan enggan menjauhkan pisau di genggamannya.

“Tenang, Lil. Gue udah jadi temen lo. Gue nggak akan kasih tau soal ini ke siapapun kalo itu yang lo mau. Tapi gue minta, plis turunin pisau itu. Gue nggak ada makhsud jahat sama lo. Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa lagi.”

Aiden sempat menduga pisau itu akan menusuk perutnya dan dunianya akan berhenti saat itu juga. Tapi dugaannya salah. Ketika ia mengambil alih pisau di tangan Lila dan membuangnya jauh-jauh, gadis itu ternyata tak melakukan perlawanan sedikitpun. Bahkan ketika Aiden merengkuh tubuhnya, Lila hanya diam, menatap lurus dengan pandangan kosong. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali terisak.

Entah mengapa, perlahan muncul perasaan iba pada diri Aiden. Kedua tangannya menepuk pelan punggung dan rambut Lila. Berusaha menenangkan gadis itu.

“Kalo lo punya masalah, lo boleh panggil gue. Jangan sakitin diri lo sendiri kayak tadi.”

#Perpustakaan, pukul 8

Mengabaikan pesan terakhir Lila, Aiden segera beranjak dari tempatnya. Mengajak kakinya melangkah menuju perpustakaan lama yang Lila makhsud. Sembari berjalan, Aiden terus bertanya-tanya, untuk apa gadis itu berada di tempat seperti itu seorang diri? Mengingat perpustakaan itu sudah lama tak digunakan sejak 5 tahun lalu.

Begitu jarak dengan perpustakaan kian menipis, Aiden mulai mempercepat langkahnya. Dan ketika berada tepat di depan pintu, lelaki itu tiba-tiba berhenti kala suara tawa tiba-tiba terdengar dari dalam.

Aiden sempat berpikir untuk putar balik karena jujur saja ia merasa takut. Berbagai macam pikiran buruk menghantui isi kepalanya. Namun beberapa saat kemudian, Aiden mengurungkan niatnya saat suara tawa yang sempat ia dengar tadi berubah menjadi suara tangis. Diiringi suara pukulan yang cukup keras.

Perlahan, Aiden mulai memutar gagang pintu. Pemuda itu tak langsung masuk, melainkan mengintip untuk memastikan apa yang terjadi di sana. Dan detik selanjutnya, Aiden tak memiliki tujuan lain selain lari dan menghentikan perempuan yang dicarinya.

“LILA LO NGAPAIN ANJING?!!”

Memilih untuk menulikan pendengarannya, Lila tetap melanjutkan aktivitasnya. Memukul-mukulkan kepalanya pada salah satu rak buku yang masih tersisa di ruang penuh debu itu.

“BERHENTI GK LO!!” Aiden menarik tubuh Lila menjauh. Tetapi perempuan itu justru mendorong tubuh Aiden kasar.

“PERGI LO!! JANGAN GANGGU GUE!!”

Gadis itu kemudian meraih pisau kecil di sakunya, kemudian mengarahkannya ke telapak tangan kirinya. Lantas dengan gerakan cepat, ia goreskan pisau itu hingga muncul cairan merah pekat dari kulitnya. Membuat Aiden terkejut bukan main.

“LILA STOP!” Ketika Aiden berusaha mengambil pisau itu, Lila justru mengeluarkan ancaman.

“PERGI ATAU GUE GORES PISAU INI KE KULIT LO!!”

Aiden seketika panik. “Gue mohon, jangan pakek pisau itu lagi. Buang! Gue mohon, itu bahaya.”

“Kalo lo mau tanya dari mana gue dapet luka yang di leher ini, jawabannya lo pasti udah tau, kan?”

Aiden membisu.

“Karena gue suka. Gue suka punya luka di tubuh gue.”

“UDAH? PUAS LO? ITUKAN JAWABAN YANG LO CARI?”

Mengembuskan napas tak menyangka, Aiden masih berusaha mencerna situasi di hadapannya. Ia terlalu terkejut untuk meyaksikan adegan tak terduga yang dilakukan oleh Lila.

“Kenapa? Kenapa lo lakuin ini?”

“Kan udah gue jawab. Karena gue suka. Karena ini bisa bikin gue lebih baik.”

Perlahan, Aiden mulai membuang sedikit demi sedikit jarak antara dirinya dengan Lila. Memberanikan diri meskipun gadis itu sedang menodongkan pisau ke arahnya.

“Lil, lo nggak sendirian. Kalo mau cerita, sini cerita sama gue. Gue bakal dengerin.”

Lila tak berkutik. Masih memandang nyalang pada Aiden dan enggan menjauhkan pisau di genggamannya.

“Tenang, Lil. Gue udah jadi temen lo. Gue nggak akan kasih tau soal ini ke siapapun kalo itu yang lo mau. Tapi gue minta, plis turunin pisau itu. Gue nggak ada makhsud jahat sama lo. Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa lagi.”

Aiden sempat menduga pisau itu akan menusuk perutnya dan dunianya akan berhenti saat itu juga. Tapi dugaannya salah. Ketika ia mengambil alih pisau di tangan Lila dan membuangnya jauh-jauh, gadis itu ternyata tak melakukan perlawanan sedikitpun. Bahkan ketika Aiden merengkuh tubuhnya, Lila hanya diam, menatap lurus dengan pandangan kosong. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali terisak.

Entah mengapa, perlahan muncul perasaan iba pada diri Aiden. Kedua tangannya menepuk pelan punggung dan rambut Lila. Berusaha menenangkan gadis itu.

“Kalo lo punya masalah, lo boleh panggil gue. Jangan sakitin diri lo sendiri kayak tadi.”

Kamu dan Candu

Seulas senyum terbit dari wajah Hainan tatkala perempuan yang sejak tadi ia nanti akhirnya muncul, mengenakan gaun berwarna putih sembari memegang bunga. Di atas kepalanya terpasang mahkota berwarna silver dengan hiasan yang berkilauan, di tambah kalung pemberian Hainan yang kini melingkar di lehernya, membuat sosok itu tampak begitu menawan.

Jantung Hainan berdegup gila saat sang wanita di seberang sana balas tersenyum, lantas mempercepat langkah untuk segera berada di hadapannya. Hainan seolah terbius, atensinya hanya terfokus pada objek indah yang berhasil membuat dirinya seakan lupa akan semua hal.

Hingga sosok yang dikaguminya itu berdiri tepat di hadapannya, Hainan masih terpana.

Aldea yang dipandang tanpa jeda hanya bisa tersenyum sambil tersipu. Rona merah mulai timbul di kedua pipi, membuat sang lelaki menatapnya gemas.

“Cantik.” celetuk Hainan. Tangannya kemudian terulur untuk meraih kedua tangan sang wanita, lantas diciumnya perlahan. Sesekali ia akan mengendus aroma wangi yang menguar dari tangan indah itu, aroma memabukkan yang begitu candu.

“Kamu cantik. Rasanya aku mau gila.” ujar Hainan saat maniknya beralih menatap Aldea.

“Kak Hainan diem! Wajah aku panas banget tau dari tadi.” Aldea melempar protes tak terduga pada Sang kekasih.

Ah, ingin rasanya Hainan mengacak-acak rambut Aldea karena gemas. Tapi hal itu tak mungkin ia lakukan karena tentu akan merusak riasan. Jadi ia hanya bisa tertawa.

Beberapa detik kemudian, Aldea dibuat terkejut bukan main saat salah satu tangan kekar Hainan tiba-tiba menarik pinggangnya, membuat jarak di antara keduanya kian menipis. Aldea bahkan dapat merasakan deru napas Hainan yang menerpa lembut pipinya.

Hainan lantas memejamkan mata, perlahan mengikis jarak hingga tak tersisa barang seinci pun. Mempertemukan bibirnya dengan bibir ranum milik Aldea. Menyecap dan melumatnya pelan. Menikmati rasa bibir itu dengan napas terburu.

Hainan semakin terlena, ia seolah tak bisa berhenti. Aldea benar-benar membuatnya gila. Wanita ini, selalu berhasil merenggut kewarasannya.

Menyadari Aldea mulai kehabisan napas, Hainan perlahan melepas tautan, membiarkan Aldea menghirup oksigen di sekitarnya.

Lelaki itu kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Aldea, lantas berbisik, “You driving me crazy, baby.” lirihnya, lalu membawa tubuh kecil Aldea ke dalam rengkuhannya.

“I love you.” kilah Hainan, tangannya mengelus lembut surai berwarna hitam itu.

“I know.” ucap Aldea malu-malu. “And i love you more.” sambungnya, kemudian perlahan membawa tubuhnya menjauh, membuat Hainan menaikkan sebelah alisnya heran.

“Kok dilepas? Sini!” Menunjukkan ekspresi kecewa, Hainan berusaha membawa tubuh langsing itu kembali ke rengkuhannya.

Namun hal tak terduga terjadi.

Dengan gerakan cepat, Aldea mengalungkan tangannya pada leher Hainan, menarik wajah tampan itu mendekat, kemudian menautkan kembali bibir keduanya usai menarik napas dalam-dalam.

Gerakan bibir Aldea kali ini berubah agresif. Di tengah tautan itu Hainan tersenyum, ia terkejut sekaligus takjub, sebab Aldea tak pernah seganas ini sebelumnya. “Dari mana dia belajar semua ini?” batinnya.

Hainan sempat kesulitan mengimbangi permainan bibir itu, namun tak butuh waktu lama baginya untuk menyesuaikan, ia bahkan membalasnya lebih agresif.

Setelah 3 menit yang mendebarkan, tautan itu akhirnya terputus. Menyisakan deru napas yang saling beradu. Keduanya kembali ditarik pada kenyataan.

“Hey, udah mulai nakal, ya, kamu. Siapa yang ngajarin coba?” Jemari Hainan mengelus singkat bibir Aldea.

Yang diajak bicara hanya tersenyum malu. “Kakak lah. Siapa lagi?”

Bagafca

Memulai Kisah Baru

Seulas senyum terbit dari wajah Hainan tatkala perempuan yang sejak tadi ia nanti akhirnya muncul, mengenakan gaun berwarna putih sembari memegang bunga. Di atas kepalanya terpasang mahkota berwarna silver dengan hiasan yang berkilauan, di tambah kalung pemberian Hainan yang kini melingkar di lehernya, membuat sosok itu tampak begitu menawan.

Jantung Hainan berdegup gila saat sang wanita di seberang sana balas tersenyum, lantas mempercepat langkah untuk segera berada di hadapannya. Hainan seolah terbius, atensinya hanya terfokus pada objek indah yang berhasil membuat dirinya seakan lupa akan semua hal.

Hingga sosok yang dikaguminya itu berdiri tepat di hadapannya, Hainan masih terpana.

Aldea yang dipandang tanpa jeda hanya bisa tersenyum sambil tersipu. Rona merah mulai timbul di kedua pipi, membuat sang lelaki menatapnya gemas.

“Cantik.” celetuk Hainan. Tangannya kemudian terulur untuk meraih kedua tangan sang wanita, lantas diciumnya perlahan. Sesekali ia akan mengendus aroma wangi yang menguar dari tangan indah itu, aroma memabukkan yang begitu candu.

“Kamu cantik. Rasanya aku mau gila.” ujar Hainan saat maniknya beralih menatap Aldea.

“Kak Hainan diem! Wajah aku panas banget tau dari tadi.” Aldea melempar protes tak terduga pada Sang kekasih.

Ah, ingin rasanya Hainan mengacak-acak rambut Aldea karena gemas. Tapi hal itu tak mungkin ia lakukan karena tentu akan merusak riasan. Jadi ia hanya bisa tertawa.

Beberapa detik kemudian, Aldea dibuat terkejut bukan main saat salah satu tangan kekar Hainan tiba-tiba menarik pinggangnya, membuat jarak di antara keduanya kian menipis. Aldea bahkan dapat merasakan deru napas Hainan yang menerpa lembut pipinya.

Hainan lantas memejamkan mata, perlahan mengikis jarak hingga tak tersisa barang seinci pun. Mempertemukan bibirnya dengan bibir ranum milik Aldea. Menyecap dan melumatnya pelan. Menikmati rasa bibir itu dengan napas terburu.

Hainan semakin terlena, ia seolah tak bisa berhenti. Aldea benar-benar membuatnya gila. Wanita ini, selalu berhasil merenggut kewarasannya.

Menyadari Aldea mulai kehabisan napas, Hainan perlahan melepas tautan, membiarkan Aldea menghirup oksigen di sekitarnya.

Lelaki itu kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Aldea, lantas berbisik, “You driving me crazy, baby.” lirihnya, lalu membawa tubuh kecil Aldea ke dalam rengkuhannya.

“I love you.”

“I know.” ucap Aldea malu-malu. “And i love you more.” sambungnya.

Hari Bahagia

Seulas senyum terbit dari wajah Hainan tatkala perempuan yang sejak tadi ia nanti akhirnya muncul, mengenakan gaun berwarna putih sembari memegang bunga. Di atas kepalanya terpasang mahkota berwarna silver dengan hiasan yang berkilauan, di tambah kalung pemberian Hainan yang kini melingkar di lehernya, membuat sosok itu tampak begitu menawan.

Jantung Hainan berdegup gila saat sang wanita di seberang sana balas tersenyum, lantas mempercepat langkah untuk segera berada di hadapannya. Hainan seolah terbius, atensinya hanya terfokus pada objek indah yang berhasil membuat dirinya seakan lupa akan semua hal.

Hingga sosok yang dikaguminya itu berdiri tepat di hadapannya, Hainan masih terpana.

Aldea yang dipandang tanpa jeda hanya bisa tersenyum sambil tersipu. Rona merah mulai timbul di kedua pipi, membuat sang lelaki menatapnya gemas.

“Cantik.” celetuk Hainan. Tangannya kemudian terulur untuk meraih kedua tangan sang wanita, lantas diciumnya perlahan. Sesekali ia akan mengendus aroma wangi yang menguar dari tangan indah itu, aroma memabukkan yang begitu candu.

“Kamu cantik. Rasanya aku mau gila.” ujar Hainan saat maniknya beralih menatap Aldea.

“Kak Hainan diem! Wajah aku panas banget tau dari tadi.” Aldea melempar protes tak terduga pada Sang kekasih.

Ah, ingin rasanya Hainan mengacak-acak rambut Aldea karena gemas. Tapi hal itu tak mungkin ia lakukan karena tentu akan merusak riasan. Jadi ia hanya bisa tertawa.

Beberapa detik kemudian, Aldea dibuat terkejut bukan main saat salah satu tangan kekar Hainan tiba-tiba menarik pinggangnya, membuat jarak di antara keduanya kian menipis. Aldea bahkan dapat merasakan deru napas Hainan yang menerpa lembut pipinya.

Hainan lantas memejamkan mata, perlahan mengikis jarak hingga tak tersisa barang seinci pun. Mempertemukan bibirnya dengan bibir ranum milik Aldea. Menyecap dan melumatnya pelan. Menikmati rasa bibir itu dengan napas terburu.

Hainan semakin terlena, ia seolah tak bisa berhenti. Aldea benar-benar membuatnya gila. Wanita ini, selalu berhasil merenggut kewarasannya.

Menyadari Aldea mulai kehabisan napas, Hainan perlahan melepas tautan, membiarkan Aldea menghirup oksigen di sekitarnya.

Lelaki itu kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Aldea, lantas berbisik, “You driving me crazy, baby.” lirihnya, lalu membawa tubuh kecil Aldea ke dalam rengkuhannya.

“I love you.”

“I know.” ucap Aldea malu-malu. “And i love you more.” sambungnya.

“Nan, mau balik dulu ke hotel.”

“Tante, kita ke hotel dulu, ya. Besok ke sini lagi, kok.” Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Jero, Vano, dan Raka memutuskan untuk pamit pada Hainan dan Bundanya. Namun Aldea, gadis itu tetap pada posisinya. Duduk tenang menghadap Bunda Hainan, sembari menggenggam tangan wanita itu.

“Aldea nggak ikut ke hotel? Udah malem.” Melihat Aldea tak berkutik, Tante Ria jadi bertanya-tanya.

“Enggak, aku mau tidur di sini aja. Biar bisa ikut jagain Tante.” Gadis itu tersenyum kecil.

“Kan udah ada Hainan. Kamu ke sini aja Tante udah seneng banget.”

“Nggak boleh, kah? Aku udah bawa selimut, kok. Nanti aku tidur di sofa aja. Sofa yang pendek tuh. Yang panjang biar dipakek Kak Hainan.” Aldea tetap pada pendiriannya.

“Al, ke hotel aja, ya. Nanti leher lo sakit kalo tidur di sofa.” timpal Hainan.

“Nggak papa, Kak. Aku udah biasa tidur di kursi belajar. Leher aku udah kebal. Jer, udah lo bawa balik temen-temen lo sana!”

Jero memutar bola matanya malas. Lihatlah betapa bucinnya Aldea.

“Beneran, nih?” tanya Jero memastikan.

“Beneran. Udah sana!”

Wajah Tante Ria berubah khawatir. “Aldea tidur di hotel aja, ya. Tante udah biasa, kok, berdua sama Hainan.”

“Sehari ini aja, deh. Beneran. Boleh, ya, Tante?” Mengeluarkan ekspresi seperti kucing telantar, Aldea akhirnya berhasil meluluhkan hati Tante Ria. Hainan pun tak sanggup mencegahnya lagi. Sebab kalau boleh jujur, ia sebenarnya sangat menyetujui keputusan Aldea.


“Bunda udah tidur. Ngapain masih diliatin?”

Alih-alih menjawab, Aldea malah meneruskan aktivitasnya. Memandangi wanita yang sedang terbaring di hadapannya.

“Tante Ria cantik banget, ya. Nggak heran kalo anaknya juga cakep.”

Terdengar sepele, tapi ucapan Aldea berhasil membuat pipi Hainan seolah terbakar.

“Al, makasih, ya udah bantuin gue ngerawat Bunda hari ini. Lo udah bantuin banyak. Sekarang istirahat. Tidur aja di sofa yang panjang.”

Hainan tau Aldea sudah mengantuk. Ia beberapa kali mendapati Aldea hampir terelelap.

“Nggak usah. Aku di sofa yang pendek aja.” Sambil terhuyung, Aldea berjalan menghampiri sofa yang ia makhsud. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba ia berhenti. Kemudian menatap Hainan dengah kedua mata setengah terbuka.

“Kak, peluk bentar boleh, nggak? Beneran cuma bentar soalnya aku udah ngantuk banget.” randomnya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hainan segera menghampiri Aldea yang sudah merentangkan kedua tangan. Kemudian menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

“Kalo mau peluk nggak usah bilang. Nanti kalo udah serumah lo bisa peluk gue sepuasnya.”

Ah, Hainan memang paling ahli mempermainkan perasaan Aldea. “Jangan ngomong gitu ih! Aku jadi salting, kaaannn.” Aldea memukul pelan dada Hainan. Wajahnya sudah berubah merah padam. Hainan sontak tertawa geli melihatnya.

“Aduh sakit!” keluh Hainan dramatis.

“Al, sakit! Sakit, sayang!”

Aldea spontan mendorong Hainan. Kemudian berlari menuju sofa dan bersembunyi di balik selimut.

“Sayang, tidur yang bener. Jangan ka-

“KAK DIEM! JANGAN NGAJAK NGOMONG! JANGAN MANGGIL SAYANG LAGI PLIS!!”

“Tidur yang bener. Perut lo masih sakit, nggak?”

Enggan membuka selimut, Aldea lantas menjawab. “Masih.”

“Gue tau dari tadi lo nahan sakit. Gue tinggal bentar, ya. Gue cariin obat nyeri haid.”

Hainan kemudian berjalan menjauh. Namun langkahnya terhenti saat Aldea tiba-tiba memanggilnya.

“Kak!” Hainan menoleh. Ternyata Aldea masih enggan memunculkan wajahnya.

“Kok Kakak tau aku lagi itu?”

“Apa sih yang nggak gue tau dari lo.”

“Nan, mau balik dulu ke hotel.”

“Tante, kita ke hotel dulu, ya. Besok ke sini lagi, kok.” Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Jero, Vano, dan Raka memutuskan untuk pamit pada Hainan dan Bundanya. Namun Aldea, gadis itu tetap pada posisinya. Duduk tenang menghadap Bunda Hainan, sembari menggenggam tangan wanita itu.

“Aldea nggak ikut ke hotel? Udah malem.” Melihat Aldea tak berkutik, Tante Ria jadi bertanya-tanya.

“Enggak, aku mau tidur di sini aja. Biar bisa ikut jagain Tante.” Gadis itu tersenyum kecil.

“Kan udah ada Hainan. Kamu ke sini aja Tante udah seneng banget.”

“Nggak boleh, kah? Aku udah bawa selimut, kok. Nanti aku tidur di sofa aja. Sofa yang pendek tuh. Yang panjang biar dipakek Kak Hainan.” Aldea tetap pada pendiriannya.

“Al, ke hotel aja, ya. Nanti leher lo sakit kalo tidur di sofa.” timpal Hainan.

“Nggak papa, Kak. Aku udah biasa tidur di kursi belajar. Leher aku udah kebal. Jer, udah lo bawa balik temen-temen lo sana!”

Jero memutar bola matanya malas. Lihatlah betapa bucinnya Aldea.

“Beneran, nih?” tanya Jero memastikan.

“Beneran. Udah sana!”

Wajah Tante Ria berubah khawatir. “Aldea tidur di hotel aja, ya. Tante udah biasa, kok, berdua sama Hainan.”

“Sehari ini aja, deh. Beneran. Boleh, ya, Tante?” Mengeluarkan ekspresi seperti kucing telantar, Aldea akhirnya berhasil meluluhkan hati Tante Ria. Hainan pun tak sanggup mencegahnya lagi. Sebab kalau boleh jujur, ia sebenarnya sangat menyetujui keputusan Aldea.


“Bunda udah tidur. Ngapain masih diliatin?”

Alih-alih menjawab, Aldea malah meneruskan aktivitasnya. Memandangi wanita yang sedang terbaring di hadapannya.

“Tante Ria cantik banget, ya. Nggak heran kalo anaknya juga cakep.”

Terdengar sepele, tapi ucapan Aldea berhasil membuat pipi Hainan seolah terbakar.

“Al, makasih, ya udah bantuin gue ngerawat Bunda hari ini. Lo udah bantuin banyak. Sekarang istirahat. Tidur aja di sofa yang panjang.”

Hainan tau Aldea sudah mengantuk. Ia beberapa kali mendapati Aldea hampir terelelap.

“Nggak usah. Aku di sofa yang pendek aja.” Sambil terhuyung, Aldea berjalan menghampiri sofa yang ia makhsud. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba ia berhenti. Kemudian menatap Hainan dengah kedua mata setengah terbuka.

“Kak, peluk bentar boleh, nggak? Beneran cuma bentar soalnya aku udah ngantuk banget.” randomnya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hainan segera menghampiri Aldea yang sudah merentangkan kedua tangan. Kemudian menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

“Kalo mau peluk nggak usah bilang. Nanti kalo udah serumah lo bisa peluk gue sepuasnya.”

Ah, Hainan memang paling ahli mempermainkan perasaan Aldea. “Jangan ngomong gitu ih! Aku jadi salting, kaaannn.” Aldea memukul pelan dada Hainan. Wajahnya sudah berubah merah padam. Hainan sontak tertawa geli melihatnya.

“Aduh sakit!” keluh Hainan dramatis.

“Al, sakit! Sakit, sayang!”

Aldea spontan mendorong Hainan. Kemudian berlari menuju sofa dan bersembunyi di balik selimut.

“Sayang, tidur yang bener. Jangan ka-

“KAK DIEM! JANGAN NGAJAK NGOMONG! JANGAN MANGGIL SAYANG LAGI PLIS!!”

“Tidur yang bener. Perut lo masih sakit, nggak?”

Enggan membuka selimut, Aldea lantas menjawab. “Masih.”

“Gue tau dari tadi lo nahan sakit. Gue tinggal bentar, ya. Gue cariin obat nyeri haid.”

Hainan kemudian berjalan menjauh. Namun langkahnya terhenti saat Aldea tiba-tiba memanggilnya.

“Kak!” Hainan menoleh. Ternyata Aldea masih enggan memunculkan wajahnya.

“Kok Kakak tau aku lagi itu?”

“Apa sih yang nggak gue tau dari lo.”