Dia Yang Berkawan Dengan Luka
Jika Aiden ditanya mengapa ia begitu memihak Lila, maka jawabannya adalah karena ia satu-satunya teman yang tau kisah tragis gadis itu sampai ke akar-akarnya.
Aiden terbiasa menjadi pribadi yang seringkali masa bodoh terhadap segala hal. Tapi untuk pertama kalinya, ia tak bisa menahan untuk tidak peduli pada Lila, gadis yang dengan segala kisah pilunya berhasil menumbuhkan rasa simpati yang begitu besar pada Aiden.
Semua itu bermula saat Aiden berusaha mencari tahu perihal dari mana lebam di leher Lila berasal. Pemuda itu tak pernah menduga Lila bisa dengan mudah mempercayainya. Membagi kisah hidupnya di tengah ruangan bekas perpustakan yang begitu kental dengan aroma debu.
Ia masih mengingat dengan sempurna bagaimana Lila bercerita dengan wajah datar dan sesekali tertawa alih-alih menangis. Menggambarkan bahwa gadis itu seolah sudah lupa bagaimana cara yang tepat mengekspresikan rasa sakit.
“Jangan kasihan sama gue. Gue udah pasrah kalo sewaktu-waktu dibunuh sama bokap gue. Yahh, liat aja ntar kalo gue mati berarti lo tau lah siapa pelakunya.” Lila menyeringai. Tangannya yang penuh darah dan penampilannya yang berantakan, membuat gadis itu terlihat seperti psikopat. Meski kenyataannya justru dialah yang merupakan korban dari psikopat gila yang mengaku sebagai Ayahnya.
Aiden mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri, kemudian menarik tangan Lila yang berada di sebelahnya. “Ayo ikut gue!”
Lila spontan menepis. “Ke mana?”
“Gue obatin luka lo.”
“Nggak perlu. Pinjemin aja jaket lo. Biar gue obatin sendiri.”
Dengan ragu, akhirnya Aiden melepas jaket yang dikenakannya. Kemudian menyerahkannya pada Lila. “Beneran nggak mau gue bantu?”
Tertawa kecil, Lila lantas menepuk bahu Aiden. “Gue udah biasa obatin sendiri kali.” entengnya. “Yaudah ini gue pinjem dulu, ya.” tambahnya. Kemudian berjalan melewati Aiden dan berniat membersihkan lukanya agar bisa mengikuti kelas.
Namun langkahnya terhenti usai satu kalimat keluar dari mulut Aiden.
“Pulang jam berapa? Biar gue anter. Mumpung gue baik, nih.” ucap Aiden becanda.
“Jam 12.”
“Oke. Gue tunggu di parkiran.”
“Den,”
“Hm?”
“Gue harap lo ngelakuin ini karena tulus.”
Perlu Aiden akui bahwa kata-kata penenang yang ia ucapkan pada Lila hanyalah sebuah trik untuk membuat gadis itu percaya sehingga dia mau bercerita. Bahkan ketika Lila memintanya untuk merahasiakan semua kisah yang telah ia bagi, Aiden hanya mengiyakan namun tak ada niatan sedikitpun untuk menuruti ucapan gadis itu dan tetap akan membocorkannya pada teman-teman yang lain.
Namun hatinya tiba-tiba goyah saat mendapati wajah putus asa Lila kini tengah menatapnya penuh harap.
“Tenang aja. Gue cuma pengen ngasih tumpangan. Nggak ada maksud apa-apa.”
Lila masih enggan mengalihkan pandangan. “Gue udah percaya sama lo. Gue juga nggak tau kenapa gue bisa segampang itu cerita sama lo. Gue belum pernah cerita soal kehidupan gue sama siapapun. Dan lo orang pertama yang gue percaya. Jadi, kalo lo mengkhianati gue, itu artinya lo sama aja kayak bokap gue. Bedanya lo membunuh gue secara halus. Kalo bokap gue pakek sikaaan dulu.”
Aiden tercekat. Pertahanannya mulai runtuh. Kemungkinan terburuk bisa terjadi pada gadis itu. Aiden tak bisa egois karena gadis di hadapannya itu tak lebih dari sekedar manusia yang berada di ambang hidup dan mati.
“Iya. Percaya sama gue. Gue bakal simpen rahasia lo rapat-rapat.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Aiden.
Mendapati Lila tersenyum lega, kedua sudut bibir Aiden tanpa sadar ikut terangkat. Entah makhluk mana yang tengah merasukinya, detik itu juga niat awal Aiden seolah memudar. Ia memutuskan untuk menepati ucapannya dan memilih untuk berdusta pada teman-temannya.
**
“Siniin tangan lo!” Sesampainya di dalam mobil, Aiden tak henti-hentinya menghembuskan napas jengah. Rupanya Lila tak mengobati luka di tangannya. Gadis itu hanya membersihkannya dengan air, kemudian ia biarkan begitu saja. Tak masalah baginya asalkan darahnya sudah berhenti mengalir.
“Lukanya lebar. Ntar infeksi.” Tak sabar, Aiden segera menarik tangan Lila tanpa persetujuan. Pun gadis itu juga tak melakukan penolakan.
Diperhatikannya sejenak luka menganga di telapak tangan Lila, kemudian ia obati dengan telaten.
Lila menatap lamat-lamat Aiden dari samping. Sepercik rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu. Ah, jadi seperti ini rasanya diperhatikan, gumamnya.
“Makasih, ya, Den. Gini aja gue udah tersentuh banget. Hahaha.”
Aiden menoleh. Hanya untuk mendapati Lila mengusap air matanya yang berebut jatuh.
Aiden mendadak panik. “Eh, kok nangis?”
“Sorry.” ucap Lila. Dia nampak kesal sebab air matanya enggan berhenti. “Gue tau lo peduli sama gue cuma karena kasihan, tapi gue cuma mau bilang makasih. Makasih banyak udah bikin gue merasa disayang dan diperhatiin.”
Aiden bungkam. Ia tak tahu harus merespon apa.
“Gue merasa berharga banget, Den, hari ini. Untuk pertama kalinya penderitaan gue didengar. Untuk pertama kalinya ada yang ngobatin luka gue selain Mama. Mana ngasih tumpangan juga.”
Tangan kiri Aiden kemudian terulur untuk menepuk pundak Lila. Menenangkan gadis itu yang semakin tersedu.
“Gue emang pinter nyari temen. Tapi lama-lama mereka pasti jauhin gue. Makanya nggak ada orang yang bener-bener gue percaya selain Mama.”
“Gue pengen setidaknya gue punya saudara satu aja. Saudara yang selalu support gue dan ada buat gue. Yang nggak akan pernah ke mana-mana dan jadi tempat gue berbagi cerita. Mama udah cukup menderita, makanya gue nggak mau bagi keluh kesah gue. Dan akhirnya gue nggak punya siapa-siapa untuk cerita selain diri gue sendiri.”
Suasana hening kemudian, hanya terdengar suara isakan Lila yang kabar baiknya semakin mereda.
“Lo punya gue.” celetuk Aiden memecah keheningan.
“Anggep gue saudara lo kalo lo nggak keberatan.” imbuhnya.
Dengan wajah memerah dan bekas air mata yang mulai mengering di pipi, Lila menatap Aiden yang juga sedang menatapnya. Ia meminta penjelasan dari ucapan lelaki itu.
Seolah dibius, Aiden merasakan dunianya berhenti saat itu juga. Satu pertanyaan terbesit dalam pikirannya, “Sejak kapan wajah berhias kemerahan dengan kedua mata membengkak itu nampak begitu candu untuk dipandang?”
Orang-orang bilang, Lila memiliki paras jelita. Aiden benci mengakuinya, tapi ia setuju dengan pernyataan itu. Ini memang bukan kali pertama Aiden bertatap muka dengan Lila, tapi entah mengapa kali ini sensasinya berbeda. Wajah gadis itu seolah mengandung alkohol. Begitu memabukkan dan Aiden tak mampu menjelaskan.
“Makhsudnya?”
Pertanyaan itu berhasil menarik Aiden kembali pada kenyataan. “H-hah? Gimana?”
Lila melempar tatapan malas. “Ditanya malah ganti nanya.”
“O-oh. Makhsudnya lo bisa anggep gue sebagai saudara lo kalo lo mau. Abang, adek, sepupu, keponakan, om, apa aja deh terserah. Tapi yang paling paw Abang, sih.”
“Kenapa? Kenapa lo minta gue buat anggep lo saudara?”
Sejujurnya, Aiden sendiri tak tahu mengapa. Ia juga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Tak pernah semudah ini baginya mengulurkan tangan pada orang lain. Ada sebuah hasrat yang mendorongnya untuk sigap menjadi tameng Lila.
“Katanya tadi pengen punya saudara. Nih udah dikabulin.”
Wajah Lila berubah gelisah. “Lo nggak keberatan kalo gue bagi semua cerita gue ke lo? Gue sering merasa putus asa, Den. Yang ada ntar lo malah capek sama gue. Hidup gue banyak nggak adilnya, kalo dunia ikut memperlakukan lo sama nggak adilnya gimana? Lo siap ambil semua resi-
“Emang gitu, kan, gunanya saudara?” sela Aiden.
“Oke. Mulai sekarang, anggep gue saudara lo. Gue berubah pikiran. Jangan anggep gue om, adek, sepupu. Anggep gue Abang aja. Dah. Soalnya tugas Abang selain jaga adeknya juga melindungi adeknya. Gue siap ambil peran itu buat lo.”
“Gue ngelakuin semua ini bukan karena kasihan, bukan karena sok-sokan peduli, bukan juga karena terpaksa karena gue udah tau semua cerita lo. Terlepas dari semua itu, gue juga merasa lo berhak dapet keadilan. Keadilan sebagai perempuan, keadilan sebagai anak, semua orang berhak bahagia, Lil.”
“Jadi percaya sama gue. Nggak ada yang selamanya di dunia ini. Termasuk penderitaan lo. Semua akan baik-baik aja. Jadi nggak ada yang perlu lo khawatirin termasuk keterlibatan gue.”
Aiden bisa merasakan kedua tangan Lila kini melingkar di lehernya. Tak tersisa jarak di antara mereka. Sebuah kehangatan menjalar perlahan, diiringi debaran gila yang mulai merenggut kewarasan. Aiden masih terheran-heran. Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Perilakunya hari ini begitu aneh. Ini seperti bukan dirinya. Yang lebih aneh lagi, Aiden justru menikmatinya.
Lila mulai memberi jarak. Matanya terlihat berkaca-kaca. Nampaknya ia kembali tersentuh dengan ucapan Aiden.
“Lo tau, kenapa gue nggak obatin luka gue?” tanya Lila.
Aiden hendak menjawab, tetapi Lila tiba-tiba kembali berujar. “Bukan karena gue males. Tapi karena gue capek. Percuma, gue bakal dapet luka baru lagi.” jelasnya.
Kemudian dengan tanpa aba Lila menaikkan kain di lengannya. Menampilkan sejumlah lingkar keunguan di lengan kurusnya. Beberapa di antaranya bahkan mulai menghitam.
“Nih lihat! Lebamnya nggak cuma di leher.”
Detik selanjutnya, Lila kembali menunjukkan hal serupa di beberapa bagian tubuhnya. Tengkuk, pundak, hingga betisnya juga penuh dengan luka dan lebam. Demi Tuhan, Aiden tak sanggup membayangkan betapa sakit dan seringnya luka yang Lila terima. Ada rasa nyeri luar biasa di hati Aiden.
Hidup di keluarga yang harmonis, Aiden dididik untuk menghargai dan menghormati perempuan. Ibunya selalu bilang bahwa perempuan itu ibarat kaca. Makanya perlu dijaga dengan hati-hati. Melihat kondisi Lila yang demikian, hati Aiden rasanya seperti disayat. Bagaimana bisa seorang Ayah memperlakukan anak gadisnya sekejam itu?
Sebelum rasa sesak semakin menyerbu, Aiden segera menarik Lila dalam dekapannya. Mengelus surai gadis itu lembut sembari menyalurkan kehangatan.
“Lo hebat. Makasih udah mau bertahan. Mulai hari ini, bagi beban lo sama gue. Jangan pernah merasa lo nggak punya siapa-siapa. Nggak papa, dunia kadang emang nggak adil. Tuhan bukannya jahat sama lo, tapi Dia tahu kalo lo kuat. Jangan nyerah, ya.”