Raden dan Kesaksiannya

“Lo inget, nggak, waktu aiden cerita soal lila di kantin?”

Shefa termenung sesaat. “Oh, yang waktu itu gue suruh nanyain soal lebam?” Raden lantas menjawab dengan anggukan.

“Nih, ya, firasat gue bilang kayaknya dia nggak jujur. Karena menurut gue luka lebam itu bukan hasil self harm. Gue merasa ada yang nggak beres.”

Untuk pertama kalinya Shefa menyaksikan Raden memasang raut seserius itu. Sorot matanya yang kini beralih menatap layar ponsel membuat lelaki itu terlihat seperti dosen paling killer sekampus. Tangannya terus mengotak-atik, mencari sesuatu pada benda pipih itu dengan jeli.

“Nah.” lega Raden usai menemukan apa yang ia cari. Tanpa pikir panjang, lelaki itu kemudian menyodorkan ponselnya pada Shefa. Sebuah foto agak buram terpampang di sana. Butuh waktu beberapa detik bagi Shefa untuk menyadari siapa yang ada di foto itu.

“Gue lihat mereka pulang bareng. Dan itu Aiden lagi bantu ngobatin si uler kobra.”

Shefa mengernyit. “Terus? Lagian yang dilakuin Aiden udah bener. Dia cuma bantu ngobatin.” tanya Shefa. Merasa tak ada yang aneh dengan kejadian di foto itu.

“Bentar dengerin. Gue nggak tau mereka ngomongin apa aja, tapi gue lihat Lila nunjukin beberapa luka di badannya. Dan lo tau, luka lebamnya banyak. Yang gue lihat nih, di lengan atas kiri, pundak kanan apa kiri gitu gue lupa, sama di tengkuk. Gue nggak bisa lihat jelas tapi dari jauh keliatan keunguan warnanya.”

Shefa tertegun. Sesaat muncul rasa iba pada gadis yang tengah dipandangnya lewat layar ponsel itu. Namun rasa iba itu tak bertahan lama. Sebab detik selanjutnya ia kembali teringat kelakuan Lila yang begitu memuakkan.

“Setahu gue, orang self harm biasanya main silet, pisau, gitu-gituan. Intinya yang bisa buat gores kulit. Kalo udah lebam, kayaknya nggak mungkin dilakuin sendiri. Ini menurut gue loh, ya. Nggak pernah coba soalnya.” ucap Raden semena-mena.

“Den,”

“Hmm?”

“Masuk akal nggak, sih, kalo Aiden ada di pihak Lila karena dia kasihan?”

Alih-alih menjawab, Raden justru kembali menyatakan kesaksiannya. “Eh inget, nggak, pas kita berempat jenguk adek lo?” Shefa mengangguk samar.

“Nah, waktu itu Aiden balik duluan, kan? Habis itu gue langsung ikutan pamit juga soalnya gue mau ikutin dia.”

“Hah ngapain lo ikutin dia? Naksir?”

Raden menghembuskan napas frustrasi. “Diem dulu napa buset! Gue nggak sengaja lihat notif hpnya Aiden. Ada pesan masuk dari Lila. Isinya minta tolong dan dia minta si Aiden nyamperin dia.”

“Gue sempet baca satu pesan yang gue agak lupa isinya. Tapi intinya dia bilang dia takut sama Papanya.”

Shefa spontan berdiri. Matanya yang membelalak lebar menatap lurus pada Raden dengan satu tangan terangkat. “Gue paham nih. Gue paham!!” teriaknya.

“Diem dulu anjir gue belum selesai cerita.” Merasa ucapannya kembali disela, Raden lantas menarik kedua tangan shefa sampai gadis itu terduduk.

“Denger dulu. Pas aiden udah baca, mukanya langsung panik terus buru-buru cabut.”

“Mungkin saking paniknya, dia sampek nggak nyadar sama sekali kalo gue ikutin. Padahal gue ambil jarak mayan deket. Dan lo tau, gue kaget banget pas nyampek.” Raden mendramatisir. Dengan sengaja ka memutus ucapannya. Shefa sampai menarik-menarik kaos bergambar sinchan yang ia kenakan saking penasarannya.

“Aiden manjat ke kamarnya Lila yang ada di lantai 2.”

Shefa melotot kaget.

“Dia pakek tangga yang diumpetin di semacam box kayu. Bisa jadi yang naruh situ Lila. Aiden udah hafal banget tempatnya berarti itu bukan pertama kalinya dia manjat.”

“Dah, habis itu nggak lama Lila buka jendela terus Aiden masuk. Gue nggak bisa lihat mereka ngapain aja.” Raden kemudian menunjukkan beberapa foto lagi pada Shefa. Tidak terlalu jelas, tapi Shefa tau itu adalah foto-foto Aiden yang tengah memanjat. Hasil jepretan Raden kali ini berhasil membuat shefa benar-benar kehilangan kata-kata.

“Tapi aneh nggak, sih, Shef? Kayak bukan Aiden banget. Makanya tadi di chat gue bilang kayaknya dia naksir soalnya menurut gue itu lebih dari sekedar kasian.” Alasan masuk akal.

Rerdiam cukup lama, Shefa masih berusaha mencerna apa yang baru saja masuk ke telinganya. Gadis itu sempat bertanya-tanya, apa yang membuat Aiden begitu peduli pada Lila? Benar kata Raden, jika sekedar kasihan, rasanya mustahil Aiden melakukan hal senekad itu. Sebab mereka hafal betul bagaimana seorang caiden Barata. Aiden tipikal orang yang selalu mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Tapi pada kasus ini, lelaki itu bahkan tanpa pikir panjang langsung mengunjungi Lila dengan cara yang tak pernah Shefa duga. Cara yang menurutnya cukup beresiko.

“Wait, Aiden masuk rumahnya lila lewat mana? Apa nggak ketahuan satpam?” akhirnya Shefa bersuara.

“Lewat belakang. Kebetulan temboknya nggak terlalu tinggi. Gue nggak tau gimana caranya dia bisa lolos soalnya gue, kan, nggak bisa liat. Orang gue di luar. Gue liatnya cuma pas dia lompat pager sama pas manjat.”

Pikiran shefa mulai berlarian. Perlu diakui, bakat mematai-matai Raden cukup mengesankan. Dia tidak menyimpulkan sesuatu begitu saja, tetapi dia memilih untuk mencari tahunya lebih dalam. Bicara soal Aiden dan Lila, Shefa tak tahu harus berkomentar apa. Sebab ternyata ada begitu banyak cerita yang tak terbaca. Ada banyak rahasia yang tak diketahuinya.

“Bener, itu bukan self harm. Tapi dia disiksa sama bokapnya.” kilah Shefa.

Raden merebahkan tubuhnya pada sofa yang didudukinya. ekspresi serius yang melekat pada wajahnya perlahan memudar. Mungkin ia merasa lega akhirnya bisa menyampaikan semuanya.

“Gue juga mikir gitu. Tapi yang bikin gue penasaran tuh alasannya apa. Kenapa bokapnya sekasar itu sama Lila? Dia anak tunggal, kan? Mana cewek. Biasanya disayang-sayang njir. Lah ini malah disiksa.”

Itu adalah pertanyaan yang selama ini shefa tanyakan pada dirinya sendiri. Otaknya tak sampai untuk berteori dan dia juga tak punya bakat menjadi agen rahasia yang mampu memecahkan hal yang sedemikian rumit.

Seolah ditarik mundur, Shefa kembali teringat kejadian saat keluarga Lila berkunjung ke rumahnya untuk pertama kali.

“Den, menurut lo apa alasan gue masukin Lila ke sirkel kita?”

Raden memutar bola matanya malas. “Kok nanya gue?”

“Jawab aja kali!”

“Lo cuma mau bikin dia terbang setinggi-tingginya terus di titik yang lo mau, lo bakal jatuhin dia ya, kan?” Raden tertawa sarkas.

“Kalo dipikir-pikir, semua ini salah lo juga. Cuma buat nurutin lo, kita akhirnya terpecah jadi dua kubu.”

“Den,” panggil Shefa. Berusaha memberi penjelasan. Namun sialnya Raden tak menggubris. Pemuda itu justru melanjutkan kilahnya.

“Karena lo yang mulai, lo harus bertanggung jawab ke depannya. Lo harus siap nanggung resiko apa aja dan lo-

“DIEM MONYET!” Shefa tak pernah menduga Raden akan menyudutkannya seperti itu. Ia memang meminta pendapat, tapi pendapat Raden di luar ekspektasinya.

“Kenapa? Bener, kan? Kalo lo nggak masukin Lila waktu itu, nggak bakal ada kejadian kayak gini. Kalo udah begini jadi panjang, kan, urusannya?!!”

Shefa menarik napas panjang. kemudian menghembuskannya dengan gusar. “Gue masukin Lila bukan karena gue mau. Tapi karena mamanya yang minta.”

Meraih ponselnya di atas nakas, Shefa lantas membuka chatroom nya dengan mama Lila. kemudian melemparnya pada Raden. “Baca dari awal!”

“Sebelum lo baca, gue mau lo dengerin cerita gue bentar. Waktu Lila sama orang tuanya bertamu ke rumah gue untuk pertama kali, gue udah merasa aneh sama mamanya. Beliau sering nunduk dan irit ngomong. padahal Lila sama papanya antusias banget setiap kita ngobrol. Pas pulang, mamanya tiba-tiba nyamperin gue dan mohon-mohon ke gue supaya gue mau temenan sama Lila.”

“Kek apaan banget anjir temenan, kok, dipakasa.”

“Tapi beliau kayak ketakutan banget dan hampir nangis. Sebenernya gue nggak keberatan temenan sama Lila, yang penting jadi temen biasa aja, bukan satu sirkel. Tapi beberapa hari kemudian, Lila maksa gue buat masuk. Dan di waktu yang sama, mamanya mohon-mohon lagi ke gue soal permintaannya waktu itu. Habis ini lo baca aja deh isi chatnya biar lebih jelas.”

Raden menghembuskan napas tak menyangka. “Bentar, dan lo nurut gitu aja sama mamanya?”

“Menurut lo? Perusahaan bokap gue sama bokapnya Lila lagi menjalin kerjasama. Dan yang minta tolong itu mamanya Lila, Den. Gue udah nolak, tapi beliau tetep ngotot. Gue cuma nggak mau bikin konflik karena takutnya ntar berimbas ke perusahaan. Lo bisa gampang bilang gitu karena lo nggak ngerasain ada di posisi gue. Selain sungkan buat nolak, gue juga nggak tega liat nyokapnya yang udah hampir nangis mohon-mohon ke gue. Mana wajahnya udah putus asa banget.”

“Lo nggak nanya kenapa? Makhsudnya alasannya tuh apa?”

“Baca! Baca aja di situ!”

Raden lantas membaca isi chatroom itu dengan seksama. Sesekali dia akan mendecak samar kemudian memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Menyadari bahwa situasi semakin rumit.

“Oke. Sekarang kita harus ngapain?”

Shefa tak menjawab. Sampai detik ini ia masih memikirkan langkah apa yang akan ia ambil.

“Oh iya satu lagi.” Raden mengacungkan jari telunjuknya.

Shefa memandang sahabatnya itu heran. Sebab raden terlihat mengotak-atik ponselnya dengan buru-buru.

“Nih lihat!” Untuk kesekian kalinya, Shefa dibuat terkejut oleh hasil jepretan Raden.

“Hah kok bisa?! Bukannya kalian harusnya pulang bareng?!”

Sembari mengangkat kedua bahunya, Raden tertawa kecil. “Pinter banget emang ni anak.”

“Gue sempet lihat Lila nangis gara-gara omongan cowok lo. Terus nggak lama dia naik. Nah habis itu gue sama yang lain baru nyusul Raja keluar. Sama Aiden juga pastinya. Gue sama Abim terlalu fokus jalan sampek kita nggak sadar kalo Aiden udah ilang.”

Shefa masih setia mendengar dengan antusias.

“Akhirnya gue sama Abim spam chat ke dia. Tapi nggak dibales. Ditelfon juga nggak diangkat. Akhirnya kita balik dan nyari bocah tengik itu ke sekitar rumah Lila tapi nggak ketemu. Ehh, nggak lama anaknya chat nyuruh kita duluan katanya mau mampir ke rumah neneknya. Padahal mah- HAHAHA.”

Kedua mata shefa beralih menatap foto di layar ponsel Raden. Lagi. Kemudian mulutnya menganga lebar dan matanya membelalak. “Jangan bilang dia balik masuk terus naik ke kamarnya lila?!”

“Seratus.” Raden mengacungkan jempol.

“Foto itu gue ambil pas lagi nyari dia. Gue nggak kepikiran buat masuk lagi soalnya ya biasanya kalo Aiden tiba-tiba ngilang palingan nyari toko apa warung terdekat. Biasanya, kan, gitu. Tapi gue lupa kalo sekarang udah beda cerita. Makasih banget gue sama Lila karena gordennya nggak ditutup jadi fotonya keliatan jelas.”

Melihat teman perempuannya masih terkejut bukan main, tangan Raden kemudian terulur untuk menutup mulut Shefa yang masih melongo. “Mingkem.”

Mukannya mingkem, Shefa malah mengeluarkan makian. “Ewhh, najis banget si Aiden kesurupan aldebaran apa gimana nih?”

Raden tertawa terbahak-bahak. “Tapi romantis anjing.”

Dengan semena-mena, Shefa sontak menoyor kepala Raden usai mendengar ucapan lelaki itu. “Pala lu romantis!! Ini temen lu perlu diruqyah monyet!”

“Eh tapi, Abim sama Raja udah tau soal ini?”
Ah sial, Shefa baru teringat kedua temannya itu.

“Kagak. Lu doang. Takutnya ntar pada balapan hajar Aiden. Apalagi cowok lo.”