Terima Kasih Telah Hadir
Jantung Lila hampir terlepas dari tempatnya saat mendapati Aiden benar-benar berdiri di balkon kamarnya. Pemuda itu melambai-lambai, memberi isyarat agar pintu segera dibuka.
“Gue bilang juga apa. Gue jago manjat. Nenek moyang gue Spiderman soalnya.” ujar Aiden begitu tubuhnya berhasil masuk ke kamar yang didominasi warna putih itu.
Sementara Lila masih mematung. Satu tangannya ia gunakan untuk menutup mulut, sementara satu yang lain masih memegang gagang pintu.
“Anget. Udah minum obat, kan?” Aiden menempelkan punggung tangannya pada dahi dan leher Lila.
Alih-alih menjawab, Lila justru berlari menuju pintu kamarnya. Memutar kunci dengan buru-buru kemudian dengan raut penuh emosi ia berbalik menghampiri Aiden.
“Bandel banget dibilangin!” Lila berteriak dengan suara begitu lirih.
“Maaf. Gue khawatir lo kenap-
BUG!
Lila memukul pundak Aiden pelan. “Jangan kenceng-kenceng!! Biasa aja kalo ngomong. Ntar kedengeran.”
Aiden memutar bola matanya malas. “Iya.”
Tangan kekarnya kemudian ia kaitkan dengan tangan Lila. Mengajak gadis itu duduk di tepi kasur dengan sprei dan selimut berwarna senada dengan dinding dan tirai kamar.
“Pertanyaan gue belum dijawab. Udah minum obat, kan?”
“Udah.”
“Tangan lo udah diobatin?”
Lila tak bersuara.
“Kan.”
“Besok aja, Den. Badan gue lemes.”
“Oh iya lagi demam. Yaudah sini tidur aja.”
Lila tak bohong saat mengatakan bahwa tubuhnya lemas. Kepalanya juga berdenyut nyeri. Pendingin ruangan di kamarnya sudah mati sejak beberapa jam yang lalu tapi ia masih merasa kedinginan.
Usai membantu menyelimuti Lila, Aiden kemudian berdiri. Matanya menelisik sekitar dengan teliti. Tak lama setelahnya, ia bergerak untuk mengambil kotak berwarna putih di salah satu rak.
“Sekarang lo diem aja. Biar tangan lo gue obatin.”
Lila tak berkomentar saat Aiden mengutak-atik memar di tangannya.
“Jadi lo beneran dipukul cuma gara-gara nggak fokus pas les piano?”
Yang ditanya hanya mengangguk lemah.
“Nyokap lo mana?”
“Di kamarnya. Mama nggak dibolehin ketemu gue lama-lama.”
Garis-garis halus tercetak di dahi Aiden. “Kenapa gitu?”
“Mama selalu nyuri-nyuri waktu buat nemuin gue. Dia nggak punya waktu karena terlalu sibuk jadi budak setia papa.”
Kerutan di dahi Aiden terbentuk semakin jelas. “Kan pelayannya banyak. Makhsud gue, kenapa harus nyokap lo terus yang ngelayanin?”
“Mama itu udah jadi asisten sama manager pribadi papa juga. Makanya kerjaannya banyak. Gue tau Mama nggak pernah minta untuk ditaruh di posisi itu, tapi mau gimana lagi.”
Aiden mengangguk samar. Kemudian ia menunduk dalam. “Sorry, ya.”
Lila terkejut. “Kenapa minta maaf?”
“Karena gue nggak bisa bantu apapun. Gue cuma bisa bantu ngobatin lo doang.”
Mendengar itu, Lila lantas meraih tangan Aiden. Kemudian menggengamnya erat.
“Den, gue udah makasih banget buat semua yang udah lo lakuin. Kehadiran lo udah lebih dari cukup.” ucapnya sembari menunjukkan senyuman paling tulus.
“Kenapa lo nggak coba buat kabur? Atau kalo nggak lapor polisi atau ngapain gitu.”
Dengan senyum yang masih melekat, Lila kemudian mendengus pelan. “Nyokap gue pernah cerita dulu dia berkali-kali berusaha kabur, tapi selalu ketangkep. Papa punya mata-mata banyak. Dan apa lo bilang? Lapor polisi? Hahaha. Papa punya banyak uang buat bikin polisi manapun tutup mulut.”
“Berbagai cara udah pernah dilakuin sama Mama. Tapi selalu gagal.” Lila menatap ke sembarang arah. Menggali kembali kisah yang pernah ia dengar dari sang Mama.
“Dan lo pikir gue nggak pernah coba buat pergi dan jauh dari kehidupan ini? Gue udah pernah coba juga, Den. Dan ini hasilnya. Ujung-ujungnya gue balik lagi ke sini.”
Ada banyak orang kejam di luar sana. Para petinggi dan orang-orang berpengaruh yang suka bertindak semena-mena. Termasuk juga Papanya Lila. Mungkin ada banyak perempuan yang sama-sama kurang beruntung seperti Lila. Tapi kebanyakan dari mereka harus menanggung pedih sendirian. Itulah mengapa Aiden bersyukur bisa merangkul gadis malang ini. Setidaknya ia telah merangkul satu dari banyaknya perempuan malang di luar sana.
“Lo tau, kenapa gue nggak pernah mencoba buat bunuh diri meskipun gue sering capek sama keadaan?”
Aiden geming. Tak mampu menebak jawaban apa yang pantas.
“Karena hidup gue nggak lebih menderita dari Mama. Kalo menurut lo gue yang paling menderita di sini, lo salah. Gue nggak ada apa-apanya sama Mama.”
Menarik napas berat, Lila seolah ditarik ke masa lalu. “Mau dengerin gue cerita, nggak? Gue mau ceritain kisahnya Mama.”
“Iya. Ceritain aja.” Aiden mengangguk singkat.
Masih dengan posisi berbaring, Lila menatap langit-langit cukup lama. Jiwanya seolah terbawa dalam nostalgia.
“Mama itu anak angkatnya orang tua papa. Mama juga udah kerja sama keluarganya Papa dari kecil. Makanya Mama jadi orang kepercayaan. Meskipun berstatus sebagai anak angkat, bukan berarti Mama sama Papa deket. Papa bahkan nggak pernah ngobrol sama Mama. Yah, kayak orang asing lah pokoknya. Tapi suatu hari ternyata mereka dijodohin.”
“ANJIR. PLOT TWIST BANGET.” Aiden memekik. Hanya untuk mendapat satu pukulan lagi di lengannya.
“Maap.”
“Mau nggak mau mereka tetep nikah. Papa bener-bener nggak mau nyentuh Mama sama sekali. Bahkan kelahiran gue, kata Mama, cuma sebuah ketidaksengajaan. Soalnya Papa ngelakuin itu sebagai pelampiasan karena habis putus sama pacarnya.”
“Bokap lo jadian sama cewek lain? Padahal udah punya istri?”
Lila tertawa kecil saat menemukan wajah Aiden yang seperti meme. “Ya gimana. Nikahnya aja terpaksa.”
“Papa itu orangnya banyak diem. Banyak ngomong cuma sama orang-orang tertentu. Kalaupun marah juga cuma diem. Dulu. Tapi Mama bilang, katanya Papa cuma berusaha nahan karena takut sama orang tuanya. Terbukti pas orang tuanya meninggal, Papa langsung berubah jadi iblis.”
“Mama jadi sering dipukul dan disiksa cuma karena ngelakuin kesalahan kecil. Yaa, sama ajalah kayak gue. Bahkan sampek sekarang Mama masih sering digituin. Udah disiksa, dibabu juga.” Ekspresi sedih tergambar pada wajah Lila.
Gadis itu lantas mencoba bangkit. Tiba-tiba saja ia merubah posisinya.
“Eh nggak usah duduk, tidur aja.” Aiden mendadak panik begitu menyadari pergerakan Lila.
“Nggak papa. Gue capek baring.”
Dengan sigap, Aiden segera memasangkan bantal agar Lila bisa bersandar dengan nyaman.
“Gue lanjutin, ya.”
“Heem.”
“Makanya gue pernah bilang sama lo kenapa gue tetep pengen hidup meskipun gue sering merasa putus asa. Gue pengen hidup demi Mama. Kita cuma punya satu sama lain untuk saling menguatkan. Tapi sekarang gue punya lo. Jadi penguat gue nambah satu.”
Diam-diam Aiden menahan senyum. Tak ingin menunjukkannya sebab ia terlampau malu.
“Kalo suatu hari gue bener-bener nggak punya alasan buat hidup. Setidaknya gue punya Mama sebagai alasan untuk bertahan.”
Hati Aiden mendadak sakit. Ia harusnya bisa lebih bersyukur sebab terlahir dari keluarga harmonis. Sesaat ia merasa menyesal ketika teringat bahwa dirinya sering kurang ajar dan tak tahu diri pada orang tuanya.
“Gue tau, lo pasti pernah mikir gue itu caper, haus afirmasi, merasa paling perfect, atau, yah, intinya gue nyebelin. Iya, kan?”
Aiden nyengir. “Iyasih. Sempet.”
“Gue kadang nggak merasa tau kalo gue kayak gitu. Tapi kadang merasa juga.”
“Dari kecil gue dituntut ini dan itu sama Papa. Papa nggak nerima penolakan. Misalnya, nih, Papa selalu nanya siapa anak yang nilainya paling tinggi sekelas. Terus papa bakal nuntut gue supaya nilai gue jangan sampek ada di bawah dia. Pernah suatu hari gue nggak belajar pas ujian, karena takut nilai gue jelek, akhirnya gue bikin si paling pinter itu celaka sampek dia nggak masuk berbulan-bulan. Akhirnya peringkat gue tetep ada di posisi paling atas.”
“Makanya gue selalu melakukan berbagai cara buat jatuhin orang lain. Biar gue jadi yang paling perfect. Biar gue nggak dapet hukuman dari Papa, lebih tepatnya.”
Aiden benar-benar speechless. Ia tak pernah menyangka bahwa cara mendidik orang tua akan sangat berpengaruh pada anak. Bahkan sampai dewasa.
“Dan kenapa gue selalu haus afirmasi? Kenapa gue pengen semua orang nganggep gue itu keren, gue haus pujian, gue pengen seluruh dunia berpusat sama gue. Kenapa? Karena gue nggak pernah dapet semua itu. Padahal gue selalu bekerja keras. Gue selalu nurutin apa yang Papa mau, tapi nggak pernah dapet satupun ucapan bangga. Nggak pernah sekalipun gue dapet pujian. Makanya tanpa sadar, gue punya karakter-karakter yang bikin orang sebel sama gue. Akhirnya temen-temen gue pada menjauh. They called me pick me girl, murahan, sok cakep, dan apalah itu banyak banget.”
Kini Aiden paham, mengapa Lila bertingkah demikian. Gadis itu hanya tak punya pilihan lain. Dia melakukan semua itu sebagai pelampiasan dan karena tuntutan.
“Gue udah muak sebenernya. Tapi gue nggak bisa. Gue nggak bisa buang karakter buruk gue.”
Aiden mengelus kepala Lila perlahan. “Nggak papa. Lo nggak salah. Lo udah dibentuk kayak gitu sama bokap lo. Nggak papa. Lo udah berusaha terlalu keras. Kasih jeda dulu buat istirahat. You did great, Lil. Lo hebat.”
Lila tak bisa menahan diri untuk tak menangis. Untuk kesekian kalinya, Aiden membuatnya tersentuh. Membuatnya merasa begitu dihargai dan disayang. Seandainya bisa, Lila ingin mengenal Aiden lebih awal. Laki-laki ini, berhasil membuat pertahanannya semakin kokoh. Rupanya semesta masih memberinya ruang bahagia.
“Kalau gue tiba-tiba caper lagi, atau haus pujian, merasa paling perfect, intinya kalo gue nyebelin, semoga lo bisa memaklumi, ya, Den. Gue juga berusaha berubah meskipun prosesnya lambat.”
“Iya. Nggak papa, pelan-pelan aja. Lo udah terlalu sering lari. Sekarang jalan aja, ya. Yang lambat bukan berarti gagal, kok.”
Lila kemudian menerjang tubuh Aiden tanpa permisi. Didekapnya tubuh itu seakan-akan mereka tak bisa bertemu lagi esok. Gadis itu merasakan ada kehangatan yang menjalar perlahan ke sekujur tubuhnya. Hatinya pun ikut menghangat. Sementara di sisi lain, Aiden sedang berusaha menahan rasa geli akibat hadirnya kupu-kupu yang menggelitiki perutnya. Setelah sekian lama, Aiden kembali jatuh cinta. Setelah sekian lama, ia kembali merasakan jantungnya berdegup begitu hebatnya. Meskipun ia tak pernah tau, bahwa cintanya mungkin tak akan pernah berbalas.