Pada Akhirnya
Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 15 menit, akhirnya Shefa sampai di tempat tujuan. Shefa sempat termenung saat menyadari bahwa ia baru saja turun di depan sebuah bangunan kosong bekas mall, yang sepertinya sudah lama terbengkalai.
Begitu seseorang menyerukan namanya, seketika itu juga Shefa kembali panik.
“SHEF!! SINI!!”
Abim dengan setelan serba hitam berdiri di ambang pintu utama bangunan, menunjukkan ekspresi kelelahan.
“MEREKA MANA? RAJA SAMA AIDEN BENERAN BAKU HANTAM? COWOK GUE PARAH KAH? IHH ABIM MEREKA DI MANA?!!” kesal Shefa karena tak bisa menemukan keberadaan kedua lelaki yang dicarinya.
“Nanya satu-satu elah! Di belakang noh.”
Tanpa pikir panjang Shefa segera beringsut dari tempatnya. Memasuki bangunan itu dengan kedua mata fokus menelisik sekitar. Isi kepala Shefa dipenuhi rasa panik sampai-sampai ia tidak menyadari keberadaan Raja dan Aiden yang sedang duduk di bawah tangga.
Abim memutar bola matanya malas. “SHEF! LIAT SAMPING KIRI!”
Seperti dugaan, Shefa terkejut bukan main sampai-sampai ia terjingkat di tempatnya.
“ASTAGA!! DEMI APA BERANTEM BENERAN?!! KALIAN KENAP- AHH UDAHLAH!” Shefa ingin sekali memarahi kedua laki-laki itu habis-habisan, tapi cukup membayangkannya saja sudah melelahkan.
Duduk bersebelahan, dengan kondisi babak belur dan baju yang sudah serupa kain lap, Raja dan Aiden melempar tatapan tanpa ekspresi pada Shefa.
Shefa memijat pangkal hidungnya, kepalanya mendadak pening menyaksikan kedua temannya yang sudah mirip berandalan. Tapi alih-alih menghampiri keduanya, Shefa justru berbalik menatap Abim.
“Bim!”
“Hmm”
“Sini bantu gue obatin mereka.” ujar Shefa sembari mengeluarkan kotak P3K dari tasnya.
“Ogah males. Salah sendiri.”
“Abim ganteng ayok sini, Nak! Nggak boleh gitu. Ayok sini ganteng!”
Meskipun terlihat ogah-ogahan, pada akhirnya Abim tetap berjalan mendekat, menuruti ajakan Shefa sambil mengeluarkan sumpah serapah diiringi decakan kesal.
Shefa spontan menghampiri Raja, membuat Abim tak ada pilihan lain selain mengobati Aiden.
“SAKIT NYET! PELAN-PELAN!!” protes Aiden.
“BACOT BENER. SALAH SENDIRI GELUT. DI MANA-MANA LUKA KALO KENA ALKOHOL PERIH. MAMPUS LO!” Shefa hanya bisa menggelengkan kepala. Sebab ia sudah menduga keduanya pasti akan adu mulut.
Sembari menahan perih di lengannya, Raja memperhatikan Shefa yang sedari tadi membisu. “Yang...” panggilnya takut-takut.
“Hmm.”
“Kamu marah, ya?”
Menghembuskan napas panjang, Shefa lantas menghentikan aktivitasnya dan beralih menatap Raja.
“Aku nggak marah. Aku cuma khawatir. Kalian tuh kayak anak kecil tau, nggak?! Masa cuma perkara gini doang berantem.”
“Cowok lo yang nyerang duluan.” timpal Aiden.
Merasa tak terima, Raja membalas ucapan Aiden dengan nada yang kian meninggi. “YA LO YANG MANCING!!”
“GUE CUMA MENGKRITIK KARENA LO JUGA SALAH.”
“EH LO MENDING DIEM AJ-
BRAKK!!
Abim membanting kotak P3K di dekatnya, membuat seluruh pasang mata mengalihkan atensi pada pemuda itu.
“BISA DIEM, NGGAK?!! GUE SUNAT NIH LU BERDUA!!”
Raja dan Aiden akhirnya bungkam. Sementara Shefa justru tertawa terbahak-bahak. Abim memang jarang sekali marah, tapi sekalinya marah, wajahnya bisa lebih mengerikan dari wajah jutek Raja. Mungkin Shefa satu-satunya orang yang tidak takut dengan ekspresi marah Abim, sebab sampai Ibukota Indonesia pindah ke Antartika, Shefa akan tetap memegang tahta tertinggi dalam lingkar pertemanan mereka.
“Nih ya, dengerin!” Dengan posisi tangan bersedekap dada, Abim berdiri menghadap Aiden dan Raja. Memasang gaya sok bijak andalannya.
“Gue nggak ngebela siapa-siapa di sini. Gue cuma beropini. Jadi gini, menurut gue yang dibilang Aiden bener, kalian berdua sama-sama salah.”
“NAH KAN GUE BILANG JUG-
“AI, LU DIEM DULU!” Aiden yang sempat merasa berjaya kembali menutup mulutnya rapat-rapat.
“Lila salah karena dia menempatkan culture di tempat yang nggak seharusnya. Dan lo juga salah karena lo udah memperlakukan dia kasar entah fisik maupun ucapan lo.” Abim menatap lurus ke arah Raja.
“Kalo gue jadi Raja, gue juga pasti marah, risih, nggak terima. Tapi gue pasti bakal nyesel karena udah kasar sama cewek. Nsyesel karena sempet nepis, bukan nyesel karena omongan gue ke dia. Soalnya menurut gue kata-kata lo waktu itu tuh jlep nya udah pas. Udah yang kayak... JLEP GITU LOH. PERFECT!” Abim lantas mengacungkan jempol pada Raja usai melempar tatapan bangga dan mengedipkan sebelah mata.
“Stress.” celetuk Shefa. “Tapi gue setuju sama Abim. Jadi Ja, aku tau kamu benci sama Lila, sama aku juga, banget malahan, tapi mending kamu maafin dia biar cepet selesai masalahnya. Aku nggak minta kamu buat maafin sekarang, sesiapnya aja. Kalo bisa secepatnya soalnya base kampus udah rame ngomongin kalian.” kilah Shefa sembari menangkup wajah tampan Raja.
“DAH SKUY BAIKAN DULU KAWAN-KAWAN.” Abim menarik tangan Raja dan Aiden kemudian menyatukannya agar berjabat tangan.
“Nah gitu salim dulu. Kan bestie. Nggak boleh berantem.”