Know Me Too Well
“Nan, mau balik dulu ke hotel.”
“Tante, kita ke hotel dulu, ya. Besok ke sini lagi, kok.” Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Jero, Vano, dan Raka memutuskan untuk pamit pada Hainan dan Bundanya. Namun Aldea, gadis itu tetap pada posisinya. Duduk tenang menghadap Bunda Hainan, sembari menggenggam tangan wanita itu.
“Aldea nggak ikut ke hotel? Udah malem.” Melihat Aldea tak berkutik, Tante Ria jadi bertanya-tanya.
“Enggak, aku mau tidur di sini aja. Biar bisa ikut jagain Tante.” Gadis itu tersenyum kecil.
“Kan udah ada Hainan. Kamu ke sini aja Tante udah seneng banget.”
“Nggak boleh, kah? Aku udah bawa selimut, kok. Nanti aku tidur di sofa aja. Sofa yang pendek tuh. Yang panjang biar dipakek Kak Hainan.” Aldea tetap pada pendiriannya.
“Al, ke hotel aja, ya. Nanti leher lo sakit kalo tidur di sofa.” timpal Hainan.
“Nggak papa, Kak. Aku udah biasa tidur di kursi belajar. Leher aku udah kebal. Jer, udah lo bawa balik temen-temen lo sana!”
Jero memutar bola matanya malas. Lihatlah betapa bucinnya Aldea.
“Beneran, nih?” tanya Jero memastikan.
“Beneran. Udah sana!”
Wajah Tante Ria berubah khawatir. “Aldea tidur di hotel aja, ya. Tante udah biasa, kok, berdua sama Hainan.”
“Sehari ini aja, deh. Beneran. Boleh, ya, Tante?” Mengeluarkan ekspresi seperti kucing telantar, Aldea akhirnya berhasil meluluhkan hati Tante Ria. Hainan pun tak sanggup mencegahnya lagi. Sebab kalau boleh jujur, ia sebenarnya sangat menyetujui keputusan Aldea.
“Bunda udah tidur. Ngapain masih diliatin?”
Alih-alih menjawab, Aldea malah meneruskan aktivitasnya. Memandangi wanita yang sedang terbaring di hadapannya.
“Tante Ria cantik banget, ya. Nggak heran kalo anaknya juga cakep.”
Terdengar sepele, tapi ucapan Aldea berhasil membuat pipi Hainan seolah terbakar.
“Al, makasih, ya udah bantuin gue ngerawat Bunda hari ini. Lo udah bantuin banyak. Sekarang istirahat. Tidur aja di sofa yang panjang.”
Hainan tau Aldea sudah mengantuk. Ia beberapa kali mendapati Aldea hampir terelelap.
“Nggak usah. Aku di sofa yang pendek aja.” Sambil terhuyung, Aldea berjalan menghampiri sofa yang ia makhsud. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba ia berhenti. Kemudian menatap Hainan dengah kedua mata setengah terbuka.
“Kak, peluk bentar boleh, nggak? Beneran cuma bentar soalnya aku udah ngantuk banget.” randomnya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hainan segera menghampiri Aldea yang sudah merentangkan kedua tangan. Kemudian menarik gadis itu ke dalam dekapannya.
“Kalo mau peluk nggak usah bilang. Nanti kalo udah serumah lo bisa peluk gue sepuasnya.”
Ah, Hainan memang paling ahli mempermainkan perasaan Aldea. “Jangan ngomong gitu ih! Aku jadi salting, kaaannn.” Aldea memukul pelan dada Hainan. Wajahnya sudah berubah merah padam. Hainan sontak tertawa geli melihatnya.
“Aduh sakit!” keluh Hainan dramatis.
“Al, sakit! Sakit, sayang!”
Aldea spontan mendorong Hainan. Kemudian berlari menuju sofa dan bersembunyi di balik selimut.
“Sayang, tidur yang bener. Jangan ka-
“KAK DIEM! JANGAN NGAJAK NGOMONG! JANGAN MANGGIL SAYANG LAGI PLIS!!”
“Tidur yang bener. Perut lo masih sakit, nggak?”
Enggan membuka selimut, Aldea lantas menjawab. “Masih.”
“Gue tau dari tadi lo nahan sakit. Gue tinggal bentar, ya. Gue cariin obat nyeri haid.”
Hainan kemudian berjalan menjauh. Namun langkahnya terhenti saat Aldea tiba-tiba memanggilnya.
“Kak!” Hainan menoleh. Ternyata Aldea masih enggan memunculkan wajahnya.
“Kok Kakak tau aku lagi itu?”
“Apa sih yang nggak gue tau dari lo.”