Kindamessup

“Nan, mau balik dulu ke hotel.”

“Tante, kita ke hotel dulu, ya. Besok ke sini lagi, kok.” Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Jero, Vano, dan Raka memutuskan untuk pamit pada Hainan dan Bundanya. Namun Aldea, gadis itu tetap pada posisinya. Duduk tenang menghadap Bunda Hainan, sembari menggenggam tangan wanita itu.

“Aldea nggak ikut ke hotel? Udah malem.” Melihat Aldea tak berkutik, Tante Ria jadi bertanya-tanya.

“Enggak, aku mau tidur di sini aja. Biar bisa ikut jagain Tante.” Gadis itu tersenyum kecil.

“Kan udah ada Hainan. Kamu ke sini aja Tante udah seneng banget.”

“Nggak boleh, kah? Aku udah bawa selimut, kok. Nanti aku tidur di sofa aja. Sofa yang pendek tuh. Yang panjang biar dipakek Kak Hainan.” Aldea tetap pada pendiriannya.

“Al, ke hotel aja, ya. Nanti leher lo sakit kalo tidur di sofa.” timpal Hainan.

“Nggak papa, Kak. Aku udah biasa tidur di kursi belajar. Leher aku udah kebal. Jer, udah lo bawa balik temen-temen lo sana!”

Jero memutar bola matanya malas. Lihatlah betapa bucinnya Aldea.

“Beneran, nih?” tanya Jero memastikan.

“Beneran. Udah sana!”

Wajah Tante Ria berubah khawatir. “Aldea tidur di hotel aja, ya. Tante udah biasa, kok, berdua sama Hainan.”

“Sehari ini aja, deh. Beneran. Boleh, ya, Tante?” Mengeluarkan ekspresi seperti kucing telantar, Aldea akhirnya berhasil meluluhkan hati Tante Ria. Hainan pun tak sanggup mencegahnya lagi. Sebab kalau boleh jujur, ia sebenarnya sangat menyetujui keputusan Aldea.


“Bunda udah tidur. Ngapain masih diliatin?”

Alih-alih menjawab, Aldea malah meneruskan aktivitasnya. Memandangi wanita yang sedang terbaring di hadapannya.

“Tante Ria cantik banget, ya. Nggak heran kalo anaknya juga cakep.”

Terdengar sepele, tapi ucapan Aldea berhasil membuat pipi Hainan seolah terbakar.

“Al, makasih, ya udah bantuin gue ngerawat Bunda hari ini. Lo udah bantuin banyak. Sekarang istirahat. Tidur aja di sofa yang panjang.”

Hainan tau Aldea sudah mengantuk. Ia beberapa kali mendapati Aldea hampir terelelap.

“Nggak usah. Aku di sofa yang pendek aja.” Sambil terhuyung, Aldea berjalan menghampiri sofa yang ia makhsud. Tapi di tengah perjalanan, tiba-tiba ia berhenti. Kemudian menatap Hainan dengah kedua mata setengah terbuka.

“Kak, peluk bentar boleh, nggak? Beneran cuma bentar soalnya aku udah ngantuk banget.” randomnya.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Hainan segera menghampiri Aldea yang sudah merentangkan kedua tangan. Kemudian menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

“Kalo mau peluk nggak usah bilang. Nanti kalo udah serumah lo bisa peluk gue sepuasnya.”

Ah, Hainan memang paling ahli mempermainkan perasaan Aldea. “Jangan ngomong gitu ih! Aku jadi salting, kaaannn.” Aldea memukul pelan dada Hainan. Wajahnya sudah berubah merah padam. Hainan sontak tertawa geli melihatnya.

“Aduh sakit!” keluh Hainan dramatis.

“Al, sakit! Sakit, sayang!”

Aldea spontan mendorong Hainan. Kemudian berlari menuju sofa dan bersembunyi di balik selimut.

“Sayang, tidur yang bener. Jangan ka-

“KAK DIEM! JANGAN NGAJAK NGOMONG! JANGAN MANGGIL SAYANG LAGI PLIS!!”

Bahagia Kembali Bertahta

Hari yang Aldea tunggu-tunggu akhirnya tiba. Sembari memandang ke luar jendela, Aldea duduk dengan cemas. Ingin rasanya ia protes pada Sang pilot agar segera menerbangkan pesawat, tapi ia tak punya hak.

“Tenang. Banyakin baca doa, ya.” Aldea tersentak kecil saat tangan Mamanya mengelus lembut punggung tangan miliknya.

Aldea hanya mengangguk.

Sementara tepat di kursi belakang Aldea, 3 anak manusia duduk bersandingan, bercakap-cakap random dan sesekali bercanda. Sempat-sempatnya mereka tertawa padahal temannya sedang berduka di negara tetangga.

“Biasanya kalo ke luar negeri pasti bikin instastory, kan? Tapi karena tujuan kita kali ini beda, jadi ada baiknya kita tetep bikin instastory.” celetuk Raka yang duduk di antara Jero dan Vano.

Jero menggelengkan kepala. “Nggak boleh gitu. Temen lo lagi sedih di sana. Masa lo masih sempet mikir mau bikin instastory. Astaghfirullah. Takbir bestie.”

“Sejak kapan astaghfirullah namanya takbir? Syahadat, dong.” timpal Vano sama sesatnya.

Entah setan mana yang merasuki mereka, tiba-tiba ketiganya bernyanyi dengan riang dan tak tahu malu.

“Syahadat... Sholat, puasa, zakat, haji, lalalala.”

“Lalala bibirmu, lidahmu, parasmu, sungguh menggo-

“HEH ANJIR SALAH SERVER!” Raka spontan menjitak Vano yang mendadak mengubah lirik lagu.

Aldea yang mendengar itu hanya menggeleng pelan. Maklum dengan tingkah mereka.

Sesampainya di negeri berlambang singa putih itu, mereka lantas memesan hotel.

Mereka hanya menaruh koper, kemudian segera bergegas menuju Mount Elizabeth Hospital yang merupakan tujuan utama mereka.

Jantung Aldea berdegup gila. Tangan dan kakinya sampai bergetar saking gugupnya. Ia khawatir, rindu, dan merasa bersalah pada Hainan. Pun ia juga penasaran dengan kondisi Ibunda Hainan. Seumur hidup, Aldea belum pernah merasa segugup ini.

Kelima orang itu lantas berjalan cepat usai mengetahui posisi ruangan tempat Bunda Hainan dirawat.

Dan begitu mereka sampai di depan pintu ruangan itu, seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dari dalam. Pria bertubuh tinggi dengan kacamata berbentuk bulat bening itu menatap heran kelima orang di hadapannya.

“Siapa, ya?”

Aldea sudah berniat menjawab, tapi ia ternyata didahului oleh Mamanya.

“Saya temannya Ria. Ini putri saya. Dan ketiga anak ini teman-temannya Hainan. Kami datang ke sini karena ingin menjenguk Ria dan ingin mengetahui kondisinya.”

Pria itu diam sejenak. Kemudian mengangguk singkat. “Baik, silakan masuk.”

Mama Aldea kemudian mengangguk sambil tersenyum. Lantas mengajak Aldea, Vano, Jero, dan Raka untuk mengikutinya.

Begitu memasuki ruangan berbau khas itu, wajah Aldea seketika berubah murung. Memang benar tujuannya kemari adalah untuk menjenguk Bunda Hainan, tapi tujuan utamanya adalah menemui kekasihnya, yang entah mengapa sejak tadi tak terlihat batang hidungnya.

Matanya menelisik ke sana kemari, tapi ia tak menemukan sosok lain selain Bunda Hainan yang sedang terbaring di atas kasur.

“Tante Ria masih tidur, kita tunggu dulu, ya.” ucap Mama Aldea pada putri dan ketiga pemuda yang berdiri di sebelahnya.

Jero menyentuh pelan bahu bibinya. “Tante, aku sama temen-temen keluar bentar, ya. Sekalian ke toilet.” ujarnya.

Mama Aldea hanya mengangguk sebagai jawaban.

Selang beberapa menit kemudian, Aldea ikut meminta ijin. “Ma, aku keluar bentar, ya. Nanti kalau Tante Ria udah sadar tapi aku belum balik, telfon aja.”

Sang Mama menggeleng sambil tertawa kecil. “Iya. Jangan lama-lama. Jangan jauh-jauh juga.”

“Iya, Ma.”

Aldea memutuskan keluar dari ruangan itu bukan karena ia tak nyaman, tapi karena ia ingin mencari keberadaan Hainan.

Namun begitu Aldea keluar, hal yang tak terduga terjadi.

Jero dan antek-anteknya ternyata sedang berdiri di depan pintu, seolah sengaja menunggunya. Dengan tanpa ijin, ketiga lelaki itu tiba-tiba menarik paksa tangannya.

“Eh apa-apaan woy! Lepasin, nggak?!!”

“Udah diem! Gue ajak ke taman bentar. Biar lo dapet angin segar.”

Menyadari posisinya yang berada di tempat umum, Aldea tak punya pilihan lain selain pasrah. Karena jika ia memberontak, ia pasti akan menjadi pusat perhatian.

Sesampainya di taman, seperti yang mereka duga, Aldea pasti akan berkicau sambil mengeluarkan makian.

“BISA NGGAK SIH KALO NARIK TANGAN ORANG BIASA AJA?!! NGGAK USAH RAME-RAME JUGA ANJIR! MALU-MALUIN!”

“NGAPAIN NGAJAK GUE KE SINI?!”

Jero mendecak. “Heh betina! Ngomel mulu napa sih?! Daripada lo bacot gitu, mending sekarang lo duduk. Banyak noh kursi taman nganggur.”

“Tau tuh. Lagian lo keluar karena gabut, kan, di dalem?” timpal Vano.

“Enggak, ya! Gue pengen jalan-jalan aja. Tapi sendirian. Nggak sama lo pada!” Bantah Aldea.

“Halah cewek kebanyakan alasa- kenapa sih?”

Raka yang berniat menimpali seketika mengurungkan niat saat Aldea tiba-tiba membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Dengan pandangan lurus ke depan dan mata yang sudah berkaca-kaca. Membuat ketiga pemuda di hadapannya melempar tatapan heran.

Saat ketiga pemuda itu mengikuti arah pandangan Aldea, ekspresi terkejut ala-ala meme langsung tercipta di wajah mereka.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Aldea segera menerjang sosok yang dicarinya sejak tadi.

“Kenapa nggak ngasih kabar sama sekali? Aku udah unblock Kakak padahal. Aku udah chat ke semua sosmed tapi nggak satu pun Kakak bales. Ngerti nggak, sih, orang lagi khawatir?” Itulah kalimat yang sejak tadi ingin disampaikan Aldea.

Hainan tertawa kecil. Sesekali ia akan mencium dahi dan puncak kepala gadis itu sayang.

“Maaf. Gue lagi pengen fokus ngerawat Bunda. Maaf udah bikin lo jadi kepikiran.” ujar Hainan sembari mengelus surai lembut milik Aldea.

Sementara Jero, Vano, dan Raka, mereka akhirnya memilih duduk. Menunggu adegan pelepasan rindu itu usai. Sebab kehadiran mereka kini tak lebih dari sekumpulan obat nyamuk.

“Al, gue masih punya kesempatan, kan, buat jelasin ke lo? Gue bakal ceritain tentang pertemuan gue sama Nessa.”

Aldea menggeleng.

“Nggak perlu. Aku udah tau.”

“Udah dikasih tau Nessa, ya?”

Aldea mengangguk cepat. “Dikasih tau Jero juga. Dia waktu itu nguping.”

Jero hampir saja mengumpat di tempatnya jika Hainan tidak memberi tatapan tajam padanya.

Ah, Hainan sudah menduga. Dia tahu malam itu Nessa tak mungkin datang sendiri.

“Beneran nggak perlu dijelasin, nih?” Untuk kesekian kalinya Aldea menggeleng lagi.

Dengan gerakan begitu pelan, Hainan perlahan memberi jarak. Lantas menangkup wajah jelita itu dari jarak dekat.

“Kenapa makin lucu kalo lagi nangis?” gemas Hainan. Jemarinya bergerak untuk menghapus air mata yang hampir memenuhi wajah Aldea.

“Kak,”

“Hmm?”

“Kok makin ganteng kalo diliat dari deket gini? Jangan ganteng-ganteng nanti banyak yang suka!”

Kelewat gemas, Hainan tak mampu lagi menahan tangannya untuk mencubit pipi gadisnya.

“AHH!! SAKIT! NTAR KALO SAKIT GIGI TANGGUNG JAWAB!!”

Melihat pipi Aldea semakin memerah, Hainan tertawa puas. Sungguh dia sangat merindukan gadisnya yang unik ini. Suaranya, senyumnya, tingkah aneh dan randomnya. Hainan merindukan semuanya.

“Coba tutup matanya bentar!” ujar Hainan.

“Mau ngapain? Nggak mau, ah, ntar aku ditinggalin.”

“Enggak. Beneran.”

“MAS, MASIH LAMA NGGAK NIH MAEN SINETRONNYA?” teriak Raka sengaja. Tapi nahas, Aldea dan Hainan tidak menggubrisnya.

“Oke aku tutup mata, nih. Tapi jangan aneh-aneh!”

“Iya.”

Akhirnya Aldea mau menuruti perintah Hainan.

“ANJING ANJING!!”

“WAAAAAHHHHHH GILEEE!”

“FAKK DEMI APA BENERAN LO?!!”

Baru saja ia menutup mata, suara umpatan tiba-tiba muncul merusak pendengaran. Aldea spontan membuka matanya kembali, berniat memarahi teman-teman Hainan yang akhlaknya hanya sebesar biji kwaci. Namun niat awalnya seketika lenyap begitu saja saat ia mendapati sesuatu yang tak pernah ia sangka, dilakukan oleh Hainan. Tepat di hadapannya.

Detik selanjutnya, Aldea tak lagi mampu melakukan hal lain selain menangis.

“For my only girl, my happiness, and my only love. Will you be mine forever?”

Hainan berlutut, sembari menyerahkan sebuah cincin berhias berlian di atasnya. Lelaki itu menunjukkan senyum termanis yang ia punya, berharap pertanyaannya akan dijawab oleh Sang terkasih dengan jawaban yang paling ia nanti-nanti.

Dan ....

“TERIMA AJA GASS!!”

“AYOK MBAK NGGAK USAH MIKIR!!”

“TINGGAL JAWAB YA ALLAH”

“TERIMA!! TERIMA!!!!”

Dan tak lama kemudian, dengan wajah yang kini bertambah basah akibat bercampur ingus, Aldea lantas berteriak lantang, “Kenapa pakek nanya, sih? IYA AKU MAU. MAU BANGET. SAMPEK AKHERAT SAMA KAKAK TERUS JUGA MAU!!!” Jawab Aldea penuh keyakinan.

“Alhamdulillah temen gue nggak sad boy!!”

“OKEE SAHHH!!”

“ANJIM MATA JOMBLO GUE!”

Suasana berubah ricuh. Beruntung jarak taman cukup jauh dari ruang rawat pasien. Jadi suara mereka tak terdengar begitu nyaring. Meskipun mereka tetap menjadi pusat perhatian.

Hari itu, akhirnya mereka kembali. Memulai kisah yang sempat terjeda dengan segenap bahagia.

Bahagia selalu untuk kalian. Semoga mampu bertahan hingga maut memisahkan.

Hari yang Aldea tunggu-tunggu akhirnya tiba. Sembari memandang ke luar jendela, Aldea duduk dengan cemas. Ingin rasanya ia protes pada Sang pilot agar segera menerbangkan pesawat, tapi ia tak punya hak.

“Tenang. Banyakin baca doa, ya.” Aldea tersentak kecil saat tangan Mamanya mengelus lembut punggung tangan miliknya.

Aldea hanya mengangguk.

Sementara tepat di kursi belakang Aldea, 3 anak manusia duduk bersandingan, bercakap-cakap random dan sesekali bercanda. Sempat-sempatnya mereka tertawa padahal temannya sedang berduka di negara tetangga.

“Biasanya kalo ke luar negeri pasti bikin instastory, kan? Tapi karena tujuan kita kali ini beda, jadi ada baiknya kita tetep bikin instastory.” celetuk Raka yang duduk di antara Jero dan Vano.

Jero menggelengkan kepala. “Nggak boleh gitu. Temen lo lagi sedih di sana. Masa lo masih sempet mikir mau bikin instastory. Astaghfirullah. Takbir bestie.”

“Sejak kapan astaghfirullah namanya takbir? Syahadat, dong.” timpal Vano sama sesatnya.

Entah setan mana yang merasuki mereka, tiba-tiba ketiganya bernyanyi dengan riang dan tak tahu malu.

“Syahadat... Sholat, puasa, zakat, haji, lalalala.”

“Lalala bibirmu, lidahmu, parasmu, sungguh menggo-

“HEH ANJIR SALAH SERVER!” Raka spontan menjitak Vano yang mendadak mengubah lirik lagu.

Aldea yang mendengar itu hanya menggeleng pelan. Maklum dengan tingkah mereka.

Sesampainya di negeri berlambang singa putih itu, mereka lantas memesan hotel.

Mereka hanya menaruh koper, kemudian segera bergegas menuju Mount Elizabeth Hospital yang merupakan tujuan utama mereka.

Jantung Aldea berdegup gila. Tangan dan kakinya sampai bergetar saking gugupnya. Ia khawatir, rindu, dan merasa bersalah pada Hainan. Pun ia juga penasaran dengan kondisi Ibunda Hainan. Seumur hidup, Aldea belum pernah merasa segugup ini.

Kelima orang itu lantas berjalan cepat usai mengetahui posisi ruangan tempat Bunda Hainan dirawat.

Dan begitu mereka sampai di depan pintu ruangan itu, seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dari dalam. Pria bertubuh tinggi dengan kacamata berbentuk bulat bening itu menatap heran kelima orang di hadapannya.

“Siapa, ya?”

Aldea sudah berniat menjawab, tapi ia ternyata didahului oleh Mamanya.

“Saya temannya Ria. Ini putri saya. Dan ketiga anak ini teman-temannya Hainan. Kami datang ke sini karena ingin menjenguk Ria dan ingin mengetahui kondisinya.”

Pria itu diam sejenak. Kemudian mengangguk singkat. “Baik, silakan masuk.”

Mama Aldea kemudian mengangguk sambil tersenyum. Lantas mengajak Aldea, Vano, Jero, dan Raka untuk mengikutinya.

Begitu memasuki ruangan berbau khas itu, wajah Aldea seketika berubah murung. Memang benar tujuannya kemari adalah untuk menjenguk Bunda Hainan, tapi tujuan utamanya adalah menemui kekasihnya, Hainan, yang entah mengapa tak terlihat batang hidungnya.

Matanya menelisik ke sana kemari, tapi ia tak menemukan sosok lain selain Bunda Hainan yang sedang terbaring di atas kasur.

“Tante Ria masih tidur, kita tunggu dulu, ya.” ucap Mama Aldea pada putri dan ketiga pemuda yang berdiri di sebelahnya.

Jero menyentuh pelan bahu bibinya. “Tante, aku sama temen-temen keluar bentar, ya. Sekalian ke toilet.” ujarnya.

Mama Aldea hanya mengangguk sebagai jawaban.

Selang beberapa menit kemudian, Aldea ikut meminta ijin. “Ma, aku keluar bentar, ya. Nanti kalau Tante Ria udah sadar tapi aku belum balik, telfon aja.”

Sang Mama menggeleng sambil tertawa kecil. “Iya. Jangan lama-lama. Jangan jauh-jauh juga.”

“Iya, Ma.”

Aldea memutuskan keluar dari ruangan itu bukan karena ia tak nyaman, tapi karena ia ingin mencari keberadaan Hainan.

Namun begitu Aldea keluar, hal yang tak terduga terjadi.

Jero dan antek-anteknya ternyata sedang berdiri di depan pintu, seolah sengaja menunggunya. Dengan tanpa ijin, ketiga lelaki itu tiba-tiba menarik paksa tangannya.

“Eh apa-apaan woy! Lepasin, nggak?!!”

“Udah diem! Gue ajak ke taman bentar. Biar lo dapet angin segar.”

Menyadari posisinya yang berada di tempat umum, Aldea tak punya pilihan lain selain pasrah. Karena jika ia memberontak, ia pasti akan menjadi pusat perhatian.

Sesampainya di taman, seperti yang mereka duga, Aldea pasti akan berkicau sambil mengeluarkan makian.

“BISA NGGAK SIH KALO NARIK TANGAN ORANG BIASA AJA?!! NGGAK USAH RAME-RAME JUGA ANJIR! MALU-MALUIN!”

“NGAPAIN NGAJAK GUE KE SINI?!”

Jero mendecak. “Heh betina! Ngomel mulu napa sih?! Daripada lo bacot gitu, mending sekarang lo duduk. Banyak noh kursi taman nganggur.”

“Tau tuh. Lagian lo keluar karena gabut, kan, di dalem?” timpal Vano.

“Enggak, ya! Gue pengen jalan-jalan aja. Tapi sendirian. Nggak sama lo pada!” Bantah Aldea.

“Halah cewek kebanyakan alasa-

Raka yang berniat menimpali tiba-tiba menghentikan kalimatnya saat melihat Aldea menutup mulutnya dengan kedua tangan. Bagian paling mengherankan adalah saat Aldea mendadak menangis.

Dan saat ketiga pemuda itu mengikuti arah pandangan Aldea, mereka berhasil dibuat bungkam.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Aldea segera menerjang sosok yang dicarinya sejak tadi.

“Kenapa nggak ngasih kabar sama sekali? Aku udah unblock Kakak padahal. Aku udah chat ke semua sosmed tapi nggak satu pun Kakak bales. Ngerti nggak, sih, orang lagi khawatir?” Aldea mengungkapkan seluruh isi hatinya. Sembari menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Hainan.

Hainan hanya tersenyum teduh. Sesekali mencium dahi dan puncak kepala gadis itu sayang.

“Maaf. Gue lagi pengen fokus ngerawat Bunda. Maaf udah bikin lo jadi kepikiran.” ujar Hainan sembari mengelus surai lembut milik Aldea.

Sementara Jero, Vano, dan Raka, mereka memilih duduk. Menunggu adegan pelepasan rindu itu usai. Sebab kehadiran mereka kini tak lebih dari sekumpulan obat nyamuk.

“Al, gue masih punya kesempatan, kan, buat jelasin ke lo? Gue bakal ceritain tentang pertemuan gue sama Nessa.”

Aldea menggeleng.

“Nggak perlu. Aku udah tau.”

“Udah dikasih tau Nessa, ya?”

Aldea mengangguk cepat. “Dikasih tau Jero juga. Dia waktu itu nguping.”

Ah, Hainan sudah menduga. Dia tahu malam itu Nessa tak mungkin datang sendiri.

“Beneran nggak perlu dijelasin, nih?” Untuk kesekian kalinya Aldea menggeleng lagi.

Dengan gerakan begitu pelan, Hainan perlahan memberi jarak. Lantas menangkup wajah yang kini menjadi favoritnya itu dari jarak dekat.

“Kenapa makin lucu kalo lagi nangis?” gemas Hainan. Kemudian jemarinya bergerak untuk menghapus air mata yang hampir memenuhi wajah Aldea.

“Kak,”

“Hmm?”

“Kok makin ganteng kalo diliat dari deket gini? Jangan ganteng-ganteng nanti banyak yang suka!”

Kelewat gemas, Hainan tak mampu lagi menahan tangannya untuk mencubit pipi gadisnya.

“AHH!! SAKIT! NTAR KALO SAKIT GIGI TANGGUNG JAWAB!!”

Melihat pipi Aldea semakin memerah, Hainan tertawa puas. Ah, dia sangat merindukan gadisnya yang unik ini. Suaranya, senyumnya, tingkah aneh dan randomnya. Hainan merindukan semuanya.

“Coba tutup matanya bentar!” ujar Hainan.

“Mau ngapain? Nggak mau, ah, ntar aku ditinggalin.”

“Enggak. Beneran.”

“MAS, MASIH LAMA NGGAK NIH MAEN SINETRONNYA?” teriak Raka dari tempatnya. Berniat mengganggu. Tapi nahas, Aldea dan Hainan tidak menggubrisnya.

“Oke aku tutup mata, nih. Tapi jangan aneh-aneh!”

“Iya.”

Akhirnya Aldea mau menuruti perintah Hainan. Ditutupnya kedua matanya dengan kedua tangan.

“ANJING ANJING!!”

“WAAAAAHHHHHH GILEEE!”

“FAKK DEMI APA BENERAN LO?!!”

Aldea tau, suara teriakan itu berasal dari Jero, Vano, dan Raka. Setelah mendengar suara yang memekikkan telinga itu, Aldea spontan menjauhkan kedua tangan dan membuka matanya perlahan.

Dan detik selanjutnya, Aldea tak lagi mampu melakukan hal lain selain menangis.

“For my only girl, my happiness, and my only love. Will you be mine forever?” Sembari membawa sebuah cincin, Hainan berlutut di hadapan Aldea. Memasang senyum terindahnya. Mengucapkan satu pertanyaan yang ia harap akan dijawab sesuai dengan ekspektasinya.

Dan ....

“TERIMA AJA GASS!!”

“AYOK MBAK NGGAK USAH MIKIR!!”

“TINGGAL JAWAB YA ALLAH”

“TERIMA!! TERIMA!!!!”

Dan tak lama kemudian, dengan wajah yang kini bertambah basah akibat bercampur ingus, Aldea lantas berteriak lantang, “Kenapa pakek nanya, sih. IYA AKU MAU. MAU BANGET. SAMPEK AKHERAT SAMA KAKAK TERUS JUGA MAU!!!” Jawab Aldea tanpa keraguan.

“WOOOOOOOOO”

“OKEE SAHHH!!”

“ANJIM MATA JOMBLO GUE!”

Suasana berubah ricuh. Beruntung jarak taman cukup jauh dari ruang rawat pasien. Jadi suara mereka tak terdengar begitu nyaring. Meskipun mereka tetap menjadi pusat perhatian.

Hari itu, akhirnya mereka kembali. Memulai kisah yang sempat terjeda dengan segenap bahagia.

Bahagia selalu untuk kalian. Semoga mampu bertahan hingga maut memisahkan.

Hari yang Aldea tunggu-tunggu akhirnya tiba. Sembari memandang ke luar jendela, Aldea duduk dengan cemas. Ingin rasanya ia protes pada Sang pilot agar segera menerbangkan pesawat, tapi ia tak punya hak.

“Tenang. Banyakin baca doa, ya.” Aldea tersentak kecil saat tangan Mamanya mengelus lembut punggung tangan miliknya.

Aldea hanya mengangguk.

Sementara tepat di kursi belakang Aldea, 3 anak manusia duduk bersandingan, bercakap-cakap random dan sesekali bercanda. Sempat-sempatnya mereka tertawa padahal temannya sedang berduka di negara tetangga.

“Biasanya kalo ke luar negeri pasti bikin instastory, kan? Tapi karena tujuan kita kali ini beda, jadi ada baiknya kita tetep bikin instastory.” celetuk Raka yang duduk di antara Jero dan Vano.

Jero menggelengkan kepala. “Nggak boleh gitu. Temen lo lagi sedih di sana. Masa lo masih sempet mikir mau bikin instastory. Astaghfirullah. Takbir bestie.”

“Sejak kapan astaghfirullah namanya takbir? Syahadat, dong.” timpal Vano sama sesatnya.

Entah setan mana yang merasuki mereka, tiba-tiba ketiganya bernyanyi dengan riang dan tak tahu malu.

“Syahadat... Sholat, puasa, zakat, haji, lalalala.”

“Lalala bibirmu, lidahmu, parasmu, sungguh menggo-

“HEH ANJIR SALAH SERVER!” Raka spontan menjitak Vano yang mendadak mengubah lirik lagu.

Aldea yang mendengar itu hanya menggeleng pelan. Maklum dengan tingkah mereka.

Sesampainya di negeri berlambang singa putih itu, mereka lantas memesan hotel.

Mereka hanya menaruh koper, kemudian segera bergegas menuju Mount Elizabeth Hospital yang merupakan tujuan utama mereka.

Jantung Aldea berdegup gila. Tangan dan kakinya sampai bergetar saking gugupnya. Ia khawatir, rindu, dan merasa bersalah pada Hainan. Pun ia juga penasaran dengan kondisi Ibunda Hainan. Seumur hidup, Aldea belum pernah merasa segugup ini.

Kelima orang itu lantas berjalan cepat usai mengetahui posisi ruangan tempat Bunda Hainan dirawat.

Dan begitu mereka sampai di depan pintu ruangan itu, seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dari dalam. Pria bertubuh tinggi dengan kacamata berbentuk bulat bening itu menatap heran kelima orang di hadapannya.

“Siapa, ya?”

Aldea sudah berniat menjawab, tapi ia ternyata didahului oleh Mamanya.

“Saya temannya Ria. Ini putri saya. Dan ketiga anak ini teman-temannya Hainan. Kami datang ke sini karena ingin menjenguk Ria dan ingin mengetahui kondisinya.”

Pria itu diam sejenak. Kemudian mengangguk singkat. “Baik, silakan masuk.”

Mama Aldea kemudian mengangguk sambil tersenyum. Lantas mengajak Aldea, Vano, Jero, dan Raka untuk mengikutinya.

Begitu memasuki ruangan berbau khas itu, wajah Aldea seketika berubah murung. Memang benar tujuannya kemari adalah untuk menjenguk Bunda Hainan, tapi tujuan utamanya adalah menemui kekasihnya, Hainan, yang entah mengapa tak terlihat batang hidungnya.

Matanya menelisik ke sana kemari, tapi ia tak menemukan sosok lain selain Bunda Hainan yang sedang terbaring di atas kasur.

“Tante Ria masih tidur, kita tunggu dulu, ya.” ucap Mama Aldea pada putri dan ketiga pemuda yang berdiri di sebelahnya.

Jero menyentuh pelan bahu bibinya. “Tante, aku sama temen-temen keluar bentar, ya. Sekalian ke toilet.” ujarnya.

Mama Aldea hanya mengangguk sebagai jawaban.

Selang beberapa menit kemudian, Aldea ikut meminta ijin. “Ma, aku keluar bentar, ya. Nanti kalau Tante Ria udah sadar tapi aku belum balik, telfon aja.”

Sang Mama menggeleng sambil tertawa kecil. “Iya. Jangan lama-lama. Jangan jauh-jauh juga.”

“Iya, Ma.”

Aldea memutuskan keluar dari ruangan itu bukan karena ia tak nyaman, tapi karena ia ingin mencari keberadaan Hainan.

Namun begitu Aldea keluar, hal yang tak terduga terjadi.

Jero dan antek-anteknya ternyata sedang berdiri di depan pintu, seolah sengaja menunggunya. Dengan tanpa ijin, ketiga lelaki itu tiba-tiba menarik paksa tangannya.

“Eh apa-apaan woy! Lepasin, nggak?!!”

“Udah diem! Gue ajak ke taman bentar. Biar lo dapet angin segar.”

Menyadari posisinya yang berada di tempat umum, Aldea tak punya pilihan lain selain pasrah. Karena jika ia memberontak, ia pasti akan menjadi pusat perhatian.

Sesampainya di taman, seperti yang mereka duga, Aldea pasti akan berkicau sambil mengeluarkan makian.

“BISA NGGAK SIH KALO NARIK TANGAN ORANG BIASA AJA?!! NGGAK USAH RAME-RAME JUGA ANJIR! MALU-MALUIN!”

“NGAPAIN NGAJAK GUE KE SINI?!”

Jero mendecak. “Heh betina! Ngomel mulu napa sih?! Daripada lo bacot gitu, mending sekarang lo duduk. Banyak noh kursi taman nganggur.”

“Tau tuh. Lagian lo keluar karena gabut, kan, di dalem?” timpal Vano.

“Enggak, ya! Gue pengen jalan-jalan aja. Tapi sendirian. Nggak sama lo pada!” Bantah Aldea.

“Halah cewek kebanyakan alasa-

Raka yang berniat menimpali tiba-tiba menghentikan kalimatnya saat melihat Aldea menutup mulutnya dengan kedua tangan. Bagian paling mengherankan adalah saat Aldea mendadak menangis.

Dan saat ketiga pemuda itu mengikuti arah pandangan Aldea, mereka berhasil dibuat bungkam.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Aldea segera menerjang sosok yang dicarinya sejak tadi.

“Kenapa nggak ngasih kabar sama sekali? Aku udah unblock Kakak padahal. Aku udah chat ke semua sosmed tapi nggak satu pun Kakak bales. Ngerti nggak, sih, orang lagi khawatir?” Aldea mengungkapkan seluruh isi hatinya. Sembari menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Hainan.

Hainan hanya tersenyum teduh. Sesekali mencium dahi dan puncak kepala gadis itu sayang.

“Maaf. Gue lagi pengen fokus ngerawat Bunda. Maaf udah bikin lo jadi kepikiran.” ujar Hainan sembari mengelus surai lembut milik Aldea.

Sementara Jero, Vano, dan Raka, mereka memilih duduk. Menunggu adegan pelepasan rindu itu usai. Sebab kehadiran mereka kini tak lebih dari sekumpulan obat nyamuk.

“Al, gue masih punya kesempatan, kan, buat jelasin ke lo? Gue bakal ceritain tentang pertemuan gue sama Nessa.”

Aldea menggeleng.

“Nggak perlu. Aku udah tau.”

“Udah dikasih tau Nessa, ya?”

Aldea mengangguk cepat. “Dikasih tau Jero juga. Dia waktu itu nguping.”

Ah, Hainan sudah menduga. Dia tahu malam itu Nessa tak mungkin datang sendiri.

“Beneran nggak perlu dijelasin, nih?” Untuk kesekian kalinya Aldea menggeleng lagi.

Dengan gerakan begitu pelan, Hainan perlahan memberi jarak. Lantas menangkup wajah yang kini menjadi favoritnya itu dari jarak dekat.

“Kenapa makin lucu kalo lagi nangis?” gemas Hainan. Kemudian jemarinya bergerak untuk menghapus air mata yang hampir memenuhi wajah Aldea.

“Kak,”

“Hmm?”

“Kok makin ganteng kalo diliat dari deket gini? Jangan ganteng-ganteng nanti banyak yang suka!”

Kelewat gemas, Hainan tak mampu lagi menahan tangannya untuk mencubit pipi gadisnya.

“AHH!! SAKIT! NTAR KALO SAKIT GIGI TANGGUNG JAWAB!!”

Melihat pipi Aldea semakin memerah, Hainan tertawa puas. Ah, dia sangat merindukan gadisnya yang unik ini. Suaranya, senyumnya, tingkah aneh dan randomnya. Hainan merindukan semuanya.

“Coba tutup matanya bentar!” ujar Hainan.

“Mau ngapain? Nggak mau, ah, ntar aku ditinggalin.”

“Enggak. Beneran.”

“MAS, MASIH LAMA NGGAK NIH MAEN SINETRONNYA?” teriak Raka dari tempatnya. Berniat mengganggu. Tapi nahas, Aldea dan Hainan tidak menggubrisnya.

“Oke aku tutup mata, nih. Tapi jangan aneh-aneh!”

“Iya.”

Akhirnya Aldea mau menuruti perintah Hainan. Ditutupnya kedua matanya dengan kedua tangan.

“ANJING ANJING!!”

“WAAAAAHHHHHH GILEEE!”

“FAKK DEMI APA BENERAN LO?!!”

Aldea tau, suara teriakan itu berasal dari Jero, Vano, dan Raka. Setelah mendengar suara yang memekikkan telinga itu, Aldea spontan menjauhkan kedua tangan dan membuka matanya perlahan.

Dan detik selanjutnya, Aldea tak lagi mampu melakukan hal lain selain menangis.

“For my only girl, my happiness, and my only love. Will you be mine forever?” Sembari membawa sebuah cincin, Hainan berlutut di hadapan Aldea. Memasang senyum terindahnya. Mengucapkan satu pertanyaan yang ia harap akan dijawab sesuai dengan ekspektasinya.

Dan ....

“TERIMA AJA GASS!!”

“AYOK MBAK NGGAK USAH MIKIR!!”

“TINGGAL JAWAB YA ALLAH”

“TERIMA!! TERIMA!!!!”

Dan tak lama kemudian, dengan wajah yang kini bertambah basah akibat bercampur ingus, Aldea lantas berteriak lantang, “Kenapa pakek nanya, sih. YES I WILL!!!” Jawab Aldea tanpa keraguan.

“WOOOOOOOOO”

“OKEE SAHHH!!”

“ANJIM MATA JOMBLO GUE!”

Suasana berubah ricuh. Beruntung jarak taman cukup jauh dari ruang rawat pasien. Jadi suara mereka tak terdengar begitu nyaring. Meskipun mereka tetap menjadi pusat perhatian.

Hari itu, akhirnya mereka kembali. Memulai kisah yang sempat terjeda dengan segenap bahagia.

Bahagia selalu untuk kalian. Semoga mampu bertahan hingga maut memisahkan.

Hari yang Aldea tunggu-tunggu akhirnya tiba. Sembari memandang ke luar jendela, Aldea duduk dengan cemas. Ingin rasanya ia protes pada Sang pilot agar segera menerbangkan pesawat, tapi ia tak punya hak.

“Tenang. Banyakin baca doa, ya.” Aldea tersentak kecil saat tangan Mamanya mengelus lembut punggung tangan miliknya.

Aldea hanya mengangguk.

Sementara tepat di kursi belakang Aldea, 3 anak manusia duduk bersandingan, bercakap-cakap random dan sesekali bercanda. Sempat-sempatnya mereka tertawa padahal temannya sedang berduka di negara tetangga.

“Biasanya kalo ke luar negeri pasti bikin instastory, kan? Tapi karena tujuan kita kali ini beda, jadi ada baiknya kita tetep bikin instastory.” celetuk Raka yang duduk di antara Jero dan Vano.

Jero menggelengkan kepala. “Nggak boleh gitu. Temen lo lagi sedih di sana. Masa lo masih sempet mikir mau bikin instastory. Astaghfirullah. Takbir bestie.”

“Sejak kapan astaghfirullah namanya takbir? Syahadat, dong.” timpal Vano sama sesatnya.

Entah setan mana yang merasuki mereka, tiba-tiba ketiganya bernyanyi dengan riang dan tak tahu malu.

“Syahadat... Sholat, puasa, zakat, haji, lalalala.”

“Lalala bibirmu, lidahmu, parasmu, sungguh menggo-

“HEH ANJIR SALAH SERVER!” Raka spontan menjitak Vano yang mendadak mengubah lirik lagu.

Aldea yang mendengar itu hanya menggeleng pelan. Maklum dengan tingkah mereka.

Sesampainya di negeri berlambang singa putih itu, mereka lantas memesan hotel.

Mereka hanya menaruh koper, kemudian segera bergegas menuju Mount Elizabeth Hospital yang merupakan tujuan utama mereka.

Jantung Aldea berdegup gila. Tangan dan kakinya sampai bergetar saking gugupnya. Ia khawatir, rindu, dan merasa bersalah pada Hainan. Pun ia juga penasaran dengan kondisi Ibunda Hainan. Seumur hidup, Aldea belum pernah merasa segugup ini.

Kelima orang itu lantas berjalan cepat usai mengetahui posisi ruangan tempat Bunda Hainan dirawat.

Dan begitu mereka sampai di depan pintu ruangan itu, seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dari dalam. Pria bertubuh tinggi dengan kacamata berbentuk bulat bening itu menatap heran kelima orang di hadapannya.

“Siapa, ya?”

Aldea sudah berniat menjawab, tapi ia ternyata didahului oleh Mamanya.

“Saya temannya Ria. Ini putri saya. Dan ketiga anak ini teman-temannya Hainan. Kami datang ke sini karena ingin menjenguk Ria dan ingin mengetahui kondisinya.”

Pria itu diam sejenak. Kemudian mengangguk singkat. “Baik, silakan masuk.”

Mama Aldea kemudian mengangguk sambil tersenyum. Lantas mengajak Aldea, Vano, Jero, dan Raka untuk mengikutinya.

Begitu memasuki ruangan berbau khas itu, wajah Aldea seketika berubah murung. Memang benar tujuannya kemari adalah untuk menjenguk Bunda Hainan, tapi tujuan utamanya adalah menemui kekasihnya, Hainan, yang entah mengapa tak terlihat batang hidungnya.

Matanya menelisik ke sana kemari, tapi ia tak menemukan sosok lain selain Bunda Hainan yang sedang terbaring di atas kasur.

“Tante Ria masih tidur, kita tunggu dulu, ya.” ucap Mama Aldea pada putri dan ketiga pemuda yang berdiri di sebelahnya.

Jero menyentuh pelan bahu bibinya. “Tante, aku sama temen-temen keluar bentar, ya. Sekalian ke toilet.” ujarnya.

Mama Aldea hanya mengangguk sebagai jawaban.

Selang beberapa menit kemudian, Aldea ikut meminta ijin. “Ma, aku keluar bentar, ya. Nanti kalau Tante Ria udah sadar tapi aku belum balik, telfon aja.”

Sang Mama menggeleng sambil tertawa kecil. “Iya. Jangan lama-lama. Jangan jauh-jauh juga.”

“Iya, Ma.”

Aldea memutuskan keluar dari ruangan itu bukan karena ia tak nyaman, tapi karena ia ingin mencari keberadaan Hainan.

Namun begitu Aldea keluar, hal yang tak terduga terjadi.

Jero dan antek-anteknya ternyata sedang berdiri di depan pintu, seolah sengaja menunggunya. Dengan tanpa ijin, ketiga lelaki itu tiba-tiba menarik paksa tangannya.

“Eh apa-apaan woy! Lepasin, nggak?!!”

“Udah diem! Gue ajak ke taman bentar. Biar lo dapet angin segar.”

Menyadari posisinya yang berada di tempat umum, Aldea tak punya pilihan lain selain pasrah. Karena jika ia memberontak, ia pasti akan menjadi pusat perhatian.

Sesampainya di taman, seperti yang mereka duga, Aldea pasti akan berkicau sambil mengeluarkan makian.

“BISA NGGAK SIH KALO NARIK TANGAN ORANG BIASA AJA?!! NGGAK USAH RAME-RAME JUGA ANJIR! MALU-MALUIN!”

“NGAPAIN NGAJAK GUE KE SINI?!”

Jero mendecak. “Heh betina! Ngomel mulu napa sih?! Daripada lo bacot gitu, mending sekarang lo duduk. Banyak noh kursi taman nganggur.”

“Tau tuh. Lagian lo keluar karena gabut, kan, di dalem?” timpal Vano.

“Enggak, ya! Gue pengen jalan-jalan aja. Tapi sendirian. Nggak sama lo pada!” Bantah Aldea.

“Halah cewek kebanyakan alasa-

Raka yang berniat menimpali tiba-tiba menghentikan kalimatnya saat melihat Aldea menutup mulutnya dengan kedua tangan. Bagian paling mengherankan adalah saat Aldea mendadak menangis.

Dan saat ketiga pemuda itu mengikuti arah pandangan Aldea, mereka berhasil dibuat bungkam.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Aldea segera menerjang sosok yang dicarinya sejak tadi.

“Kenapa nggak ngasih kabar sama sekali? Aku udah unblock Kakak padahal. Aku udah chat ke semua sosmed tapi nggak satu pun Kakak bales. Ngerti nggak, sih, orang lagi khawatir?” Aldea mengungkapkan seluruh isi hatinya. Sembari menenggelamkan wajahnya pada dada bidang milik Hainan.

Hainan hanya tersenyum teduh. Sesekali mencium dahi dan puncak kepala gadis itu sayang.

“Maaf. Gue lagi pengen fokus ngerawat Bunda. Maaf udah bikin lo jadi kepikiran.” ujar Hainan sembari mengelus surai lembut milik Aldea.

Sementara Jero, Vano, dan Raka, mereka memilih duduk. Menunggu adegan pelepasan rindu itu usai. Sebab kehadiran mereka kini tak lebih dari sekumpulan obat nyamuk.

“Al, gue masih punya kesempatan, kan, buat jelasin ke lo? Gue bakal ceritain tentang pertemuan gue sama Nessa.”

Aldea menggeleng.

“Nggak perlu. Aku udah tau.”

“Udah dikasih tau Nessa, ya?”

Aldea mengangguk cepat. “Dikasih tau Jero juga. Dia waktu itu nguping.”

Ah, Hainan sudah menduga. Dia tahu malam itu Nessa tak mungkin datang sendiri.

“Beneran nggak perlu dijelasin, nih?” Untuk kesekian kalinya Aldea menggeleng lagi.

Dengan gerakan begitu pelan, Hainan perlahan memberi jarak. Lantas menangkup wajah yang kini menjadi favoritnya itu dari jarak dekat.

“Kenapa makin lucu kalo lagi nangis?” gemas Hainan. Kemudian jemarinya bergerak untuk menghapus air mata yang hampir memenuhi wajah Aldea.

“Kak,”

“Hmm?”

“Kok makin ganteng kalo diliat dari deket gini? Jangan ganteng-ganteng nanti banyak yang suka!”

Kelewat gemas, Hainan tak mampu lagi menahan tangannya untuk mencubit pipi gadisnya.

“AHH!! SAKIT! NTAR KALO SAKIT GIGI TANGGUNG JAWAB!!”

Melihat pipi Aldea semakin memerah, Hainan tertawa puas. Ah, dia sangat merindukan gadisnya yang unik ini. Suaranya, senyumnya, tingkah aneh dan randomnya. Hainan merindukan semuanya.

“Coba tutup matanya bentar!” ujar Hainan.

“Mau ngapain? Nggak mau, ah, ntar aku ditinggalin.”

“Enggak. Beneran.”

“MAS, MASIH LAMA NGGAK NIH MAEN SINETRONNYA?” teriak Raka dari tempatnya. Berniat mengganggu. Tapi nahas, Aldea dan Hainan tidak menggubrisnya.

“Oke aku tutup mata, nih. Tapi jangan aneh-aneh!”

“Iya.”

Akhirnya Aldea mau menuruti perintah Hainan. Ditutupnya kedua matanya dengan kedua tangan.

“ANJING ANJING!!”

“WAAAAAHHHHHH GILEEE!”

“FAKK DEMI APA BENERAN LO?!!”

Aldea tau, suara teriakan itu berasal dari Jero, Vano, dan Raka. Setelah mendengar suara yang memekikkan telinga itu, Aldea spontan menjauhkan kedua tangan dan membuka matanya perlahan.

Dan detik selanjutnya, Aldea tak lagi mampu melakukan hal lain selain menangis.

“For my only girl, my happiness, and my only love. Will you be mine forever?” Sembari membawa sebuah cincin, Hainan berlutut di hadapan Aldea. Memasang senyum terindahnya. Mengucapkan satu pertanyaan yang ia harap akan dijawab sesuai dengan ekspektasinya.

Dan ....

“TERIMA AJA GASS!!”

“AYOK MBAK NGGAK USAH MIKIR!!”

“TINGGAL JAWAB YA ALLAH”

“TERIMA!! TERIMA!!!!”

Dan tak lama kemudian, dengan wajah yang kini bertambah basah akibat bercampur ingus, Aldea lantas berteriak lantang, “Kenapa pakek nanya, sih. YES I WILL!!!” Jawab Aldea tanpa keraguan.

“WOOOOOOOOO”

“OKEE SAHHH!!”

“ANJIM MATA JOMBLO GUE!”

Suasana berubah ricuh. Beruntung jarak taman cukup jauh dari ruang rawat pasien. Jadi suara mereka tak terdengar begitu nyaring. Meskipun mereka tetap menjadi pusat perhatian.

Hari itu, akhirnya mereka kembali. Memulai kisah yang sempat terjeda dengan segenap bahagia.

Bahagia selalu untuk kalian. Semoga mampu bertahan hingga maut memisahkan.

Kamu, Adalah Kisah Terindah Dengan Akhir Terburuk

Di bawah naungan Sang malam, Sang Adam merengkuh daksa lemah itu. Keduanya bertukar isak, saling mendekap erat menumpahkan kerinduan yang tak mampu dibendung lagi.

Gadis yang disangkanya mustahil untuk kembali, kini hadir di waktu yang tak pernah Hainan duga. Meski rasanya masih sulit dipercaya.

Nyatanya, segala sesuatu terjadi bukan tanpa alasan, termasuk kepergian Nessa. Bagian yang paling Hainan sesali adalah, mengapa ia baru mendengar alasan kepergian Nessa yang sebenarnya? Mengapa semua orang tega membodohinya selama bertahun-tahun?

“Orang-orang itu, kenapa mereka bohongin gue?”

Nessa tau, Hainan pasti kecewa. Lelaki itu pasti akan menyalahkan orang-orang terdekatnya karena telah membohonginya selama ini.

“Ai, denger dulu, ya. Aku jelasin pelan-pelan.” Menangkup wajah mungil Hainan, Nessa berusaha memunculkan senyum, berharap Hainan bisa sedikit tenang dan mau mendengarkan.

Sementara di sisi lain, tanpa mereka sadari, Jero tengah berdiri mengintip di balik salah satu tiang yang jaraknya bahkan cukup dekat dengan mereka. Dia menjadi satu-satunya saksi kejadian itu. Mendengarkan seluruh pembicaraan dengan seksama dari awal hingga akhir.

Mulanya, tak ada yang aneh dari percakapan Nessa dan Hainan, hingga Jero mendengar satu nama lain disebut.

“Udah, ya. Semuanya udah selesai. Kita mulai lagi dari awal, ya, Ai.” Nessa mengelus pelan pipi Hainan usai menjawab teka-teki di kepala lelaki itu. Baginya, Hainan masihlah sosok yang sama. Dia tetap tampan dan menggemaskan, apalagi kini hidung dan pipinya memerah akibat menangis.

Hainan hanya diam. Ibarat mimpi, situasi yang dialaminya saat ini rasanya terlalu sulit ia cerna. Hingga perlakuan Nessa selanjutnya, berhasil membuat Hainan seolah ditarik pada kenyataan.

Cup!

Satu kecupan melayang sempurna di pipi kiri Hainan. Dia yang awalnya berlutut, sontak berdiri dengan ekspresi yang tak mampu Nessa mengerti.

“Kenapa, Ai?”

Diam Hainan sejenak. Menimang kalimat sebelum mengucapkannya.

“Nes, gue seneng bisa ketemu lo lagi. Tapi gue nggak bisa. Gue nggak bisa ngulang lagi dari awal. Maaf.” ucap Hainan.

Mendengar itu, Nessa lantas tersenyum. Senyum terpaksa yang diringi munculnya sungai kecil di pipinya.

Ada apa dengan ekspresi Hainan? Apakah lelaki itu baru saja mengutarakan kekesalannya seusai mendapat kecupan singkat yang bahkan tak kurang dari satu detik?

“Aldea, ya?” tanya Nessa. Sembari menahan nyeri yang mendadak menyerang dada.

Hainan menunduk. Tak sanggup menyaksikan ekspresi gadis di hadapannya.

“Selamanya lo bakal jadi sahabat gue, Nes. Lo masih orang yang istimewa buat gue.”

Nessa memalingkan muka. Menatap nanar langit malam yang seolah mengejeknya. Sesaat ia teringat ucapan Aldea perihal siapa yang harus ia pilih. Nessa belum memutuskan pada siapa ia berlabuh, namun ketika ia memilih Hainan, saat itu juga ia menyesali keputusannya. Keputusan yang ternyata membunuh perasaannya sendiri.

Malam itu, Nessa akhirnya menyadari satu hal bahwa Mahen tak lebih dari sebuah pelarian. Ia masih mengharapkan Hainan. Sangat.

“Maafin gue. Maaf.”

Mengusap kasar air mata di pipinya, Nessa lantas tertawa kecil.

“Nggak papa, kok. Aku perginya kelamaan, ya, Ai? Iya nggak papa. Bahagia terus, ya, kalian. Harusnya aku yang minta maaf. Gara-gara aku, kalian jadi ada sedikit kesalahpahaman.”

Hainan tak tau harus berbuat apa. Perasaannya pada Nessa telah banyak berubah. Meskipun ia sempat gila atas kepergian gadis itu, tapi hatinya tak bisa bohong, Aldea sudah menggeser sempurna posisi Nessa. Dan Hainan telah berjanji pada dirinya sendiri akan memperjuangkan kekasihnya itu.

“Iya. Emang baiknya kita sahabatan aja, Ai. Aku udah lumpuh gini, udah cacat, bisanya cuma nyusahin.” Nessa masih tertawa. Entah bagian mana yang lucu.

“Nes ...”

“Udah malem. Makasih, ya, udah mau selesaiin semuanya baik-baik. Aku mau balik dulu. Pengen istirahat.” ujar Nessa menutup pembicaraan. Ia tak tahan berlama-lama di sini. Semakin ia melihat Hainan, maka dadanya akan semakin sakit.

Melihat Nessa memutar balik kursi rodanya, Hainan sontak mendekat.

“Biar gue anter.” Hainan menawarkan diri.

“Nggak usah, Ai. Di sana udah ada Jero lagi nungguin. Nggak perlu. Sekali lagi makasih, ya.”

Hainan tak berkutik. Padahal Nessa berharap lelaki itu akan memaksa untuk mengantarnya. Lagi-lagi, Nessa kalah telak dengan Aldea.

Sempat menyaksikan Hainan yang terpuruk karena kepergiannya, ternyata tak membuat ekspektasi Nessa menjadi nyata. Lelaki itu tak berbalik arah padanya. Aldea sudah melenyapkan sosoknya dalam hidup Hainan. Nessa tak seistimewa sebelumnya. Benar kata Hainan, kata teman lebih cocok untuk menggambarkan status mereka sekarang.

Ingin rasanya Nessa memutar waktu, mengubah takdir agar tak semenyakitkan ini. Dari sekian banyak kisah yang pernah ia lukis, Hainan adalah mimpi terburuk yang tak ingin Nessa ulang lagi.

“Jika aku bisa memutar waktu, aku akan memilih untuk tak mengenalmu.” -Nessa.

“Kakak bohong, kan? Kak Nessa cantik, baik, bisa apa aja. Iya sekarang Kakak bilangnya milih aku, tapi nanti pas ketemu Kak Nessa aku pasti ditinggalin.” Seperti anak kecil yang tak dituruti kemauannya, Aldea terisak kencang. Gadis itu marah, kecewa, dan merasa sakit hati di waktu yang sama.

“Al, coba jelasin pelan-pelan dul-

“Aku udah jelasin, kan, tadi. Apanya yang kurang jelas? Aku udah jelasin dari mana aku tau soal hubungan Kakak sama Kak Nessa. LEPASIN!!” Aldea memberontak, berusaha menghindar dari Hainan yang sejak awal mendekapnya. Tak memberi celah sedikitpun bagi Aldea untuk lepas.

“Maaf. Maafin gue. Gue nggak ada makhsud buat nyembunyiin dari lo. Nessa sama kayak lo. Dia berarti buat gue, tapi-

Lagi-lagi Aldea memberontak. “LEPASIN!”

“Nggak.”

“LEPASIN KAK!! KAK NESSA BERARTI, KAN, BUAT KAKAK? MASIH MAU BILANG BAKAL MILIH AKU?!!” teriak Aldea nyalang.

Namun Hainan tak menyerah. Didekapnya tubuh kecil itu semakin erat. Tak peduli meskipun dia sudah meronta-ronta, memukul dadanya, bahkan mendorongnya kasar.

“Al, diem dulu. Gue mohon-

“LEPASIN!!”

Hainan masih berusaha sebisa mungkin menahan Aldea. Namun lama kelamaan, kesabarannya kian menyurut.

“ALDEA!!!” Hainan balas berteriak tak kalah kencang. Membuat Aldea seketika diam.

“Nessa berarti buat gue, tapi itu dulu. Dia udah jadi masa lalu. Sekarang gue udah punya lo. Perasaan gue ke dia udah berubah. Kalaupun gue masih suka sama dia, gue yakin rasanya nggak bakal sama lagi kayak dulu. Gue nggak akan senyaman dulu sama dia, gue bakal asing sama dia, semua pasti berubah.” kilah Hainan.

“Udah, ya. Jangan bahas Nessa lagi. Tolong percaya sama gue.” sambungnya.

Usai mendengar ucapan Hainan, Aldea justru tak memberikan reaksi. Tak juga memberontak seperti sebelumnya. Ia juga pasrah ketika puncak kepalanya dikecup beberapa kali oleh Hainan.

“Maaf karena tadi gue bentak. Gue nggak mau Lo salah paham.”

Hainan tak menyadari keanehan pada gadis itu hingga sepenggal kalimat muncul dari mulut Aldea.

“Tapi dia ada di sini.” celetuk Aldea.

Wajah Hainan seketika dipenuhi tanda tanya. “Makhsudnya?”

“Kak Nessa ada di sini. Di tempat ini.”

Hainan spontan memberi jarak. Lantas menatap wajah Aldea dengan tatapan terkejut sekaligus penuh tanya.

“Al, bilang yang jelas.”

Tatapan Aldea terpaku pada lantai. Tatapan kosong penuh keputus asaan. Dengan lingkar yang semakin menghitam di bawah mata, membuatnya terlihat seperti mayat hidup.

“Al,” panggil Hainan sekali lagi.

Aldea lantas memandang Hainan sendu. “Iya. Kak Nessa ada di sini. Sepupu aku yang koma itu Kak Nessa. Dia nggak pergi ke luar kota. Dia kecelakaan dan koma selama hampir 3 tahun dan sebulan lalu dia barusan bangun.”

Hainan menghembuskan napas tak menyangka. Rasanya seperti dihantam ribuan batu. Hal gila apa yang baru saja ia dengar?

Dari jarak yang cukup dekat itu, Aldea tau perasaan Hainan sedang bercampur aduk. Pemuda itu bahkan tak sanggup berkata-kata.

“Di mana dia sekarang?” tanya Hainan pada akhirnya. Dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.

“Kakak pasti milih dia, kan? Bukan a-

“GUE TANYA DI MANA DIA SEKARANG!!” bentak Hainan memotong ucapan Aldea.

Aldea sudah menduga. Benar, kan? Bahkan belum sampai 5 menit Hainan mengatakan soal siapa yang ia pilih. Belum sampai 5 menit pula Hainan meminta maaf karena sempat membentaknya. Tapi sekarang? Setelah ia mengatakan perihal kehadiran Nessa, Aldea sudah merasa dicampakan.

Tangis Aldea kembali pecah. Hatinya sakit luar biasa. Benar kata orang-orang, lelaki tak bisa sepenuhnya dipercaya.

“Oke. A-aku bakal panggil d-dia ke sini.” Aldea menggigit bibir bawahnya, mati-matian menahan tangisannya agar tak terdengar, meskipun nyatanya ia sudah tersedu.

“Aku b-bakal bawa dia buat Kakak.” lanjutnya. Kemudian berlari menjauh. Menikmati luka yang kian membunuhnya bersamaan dengan semilir angin malam yang menusuk hingga ke tulang.

Sementara Hainan, pemuda itu seperti orang linglung. Masih tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Malam ini, adalah malam terakhir ia bertemu dengan Aldea sebelum ia pergi ke Singapura. Namun Hainan justru menghancurkan moment itu.

Isi kepala Hainan begitu berisik. Ia merasa bersalah pada Aldea, namun ia tak bisa mengendalikan emosi usai mendengar kabar tentang Nessa. Pun juga perihal Sang Bunda yang sedang diperjuangkannya tetap bertahan.

Hainan frustasi. Sekarang ia tak punya siapa-siapa lagi untuk diharapkan kecuali dirinya sendiri.

Sudah 1 menit Aldea berdiri di depan pintu ruang ICU tempat Ibunda Hainan dirawat. Menunduk sedih usai menyaksikan Hainan lewat kaca pintu. Lelaki itu terlihat begitu putus asa, Aldea tak sampai hati mengusiknya.

Ceklek!

Pintu tiba-tiba terbuka. Aldea yang tadinya menunduk tersentak kecil.

“Kok nggak ngabarin kalo udah dateng?” tanya lelaki berwajah mungil itu. Membuat Aldea gelagapan.

“K-kak anu aku barusan dateng, kok.”

Tak merespon ucapan sang gadis, Hainan justru menjatuhkan tubuh tegapnya ke dalam dekapan Aldea.

Sementara Aldea masih terkejut karena tubuhnya diterjang tanpa permisi.

“Bunda kena serangan jantung.” Aldea tercekat. Sungguh, di antara milyaran manusia, mengapa harus Bunda? Aldea tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Hainan.

“Gue gagal jagain Bunda. Gue bahkan nggak tau kalo Bunda sakit. Gue takut kehilangan Bunda, Al.” Entah hanya perasaannya saja atau memang demikian, Aldea mendengar suara Hainan bergetar saat mengucapkan kalimat itu.

“Al,”

“Iya Kak?”

“Gue cuma punya Bunda.” Tangis Hainan pecah. Harapan terakhirnya, keluarga satu-satunya, kini sedang berjuang mempertaruhkan nyawa. Hainan tau, bagaimanapun Bunda pasti akan pergi. Tapi untuk saat ini, Hainan harap Tuhan berkenan mengijinkan Bunda hidup lebih lama.

Aldea bisa merasakan punggung tegap itu kini bergetar hebat. Dekapan tangan di pinggang Aldea juga kian mengerat. Untuk saat ini, Hainan tak ingin apapun, ia hanya butuh penguat.

“Bunda pasti baik-baik aja, Kak. Kakak jangan pernah merasa sendiri, ya. Aku nggak pernah pergi ke mana-mana. Ada Jero sama temen-temen kakak yang lain juga. Bunda pasti bakal sembuh.” Aldea berusaha meyakinkan meskipun hal itu terdengar sia-sia. Sebab isakan Hainan terdengar semakin pilu.

“Al, gue butuh lo.”

Rupanya Hainan perlahan mulai bergantung pada Aldea. Entah mengapa Aldea justru merasa senang mendengar kalimat sederhana itu.

“Orang yang paling gue percaya cuma lo sama Bunda. Jangan hancurin kepercayaan gue, ya.”

Aldea termenung sesaat. Dengan kedua pipi yang basah dan hidung memerah, entah sejak kapan.

Bukan fakta baru bahwa Hainan adalah pribadi yang sangat tertutup. Sejak ia kehilangan Ayah dan Adiknya, Hainan berubah menjadi orang lain seperti dirinya sekarang. Sifat aslinya hanya akan muncul ketika bersama orang yang benar-benar ia percaya. Dan di antara sekian banyak manusia, entah mengapa lelaki itu hanya mampu menaruh percaya pada Sang Bunda dan gadis yang merupakan kekasihnya itu. Juga Nessa.

Perempuan yang kini didekapnya, meski belum sampai setahun Hainan mengenalnya, tetapi ia mampu membuat Hainan jatuh sedalam-dalamnya. Seperti yang pernah ia bilang, Aldea itu istimewa. Meski Hainan tak bisa mendeskripsikannya.

“Kak, boleh aku tanya sesuatu?” Hainan mengangguk.

“Kenapa Kakak sepercaya itu sama aku? Padahal ada Jero yang udah jadi temen Kakak selama bertahun-tahun. Kenapa harus aku? Aku masih orang baru. Aku tau kita udah pacaran, tapi kenapa...

“Bawel.” potong Hainan. Lantas memberi jarak di antara keduanya. “Jangan tanya gue. Yang ngatur perasaan orang itu Tuhan. Sekalipun gue temenan sama Jero dari SMA, kalo dia nggak bisa bikin gue ngerasa nyaman kayak Bunda, berarti gue belum bisa percaya sama dia.” lanjutnya.

“Dan lo, meskipun baru beberapa bulan gue kenal lo, tapi kalo Tuhan bikin gue nyaman sama lo gue bisa apa? Gue mau minta ganti yang lain juga nggak bisa. Semuanya terserah Tuhan.”

“Beneran jangan ke mana-mana, ya. Gue sayang sama lo.” Hainan mengusap lembut surai kecoklatan milik Aldea, dengan tatapan penuh arti.

Mendengar itu, Aldea kembali teringat Nessa. Hainan memang membutuhkannya saat ini, tapi jika lelaki itu mengetahui kehadiran Nessa, apakah dirinya akan dilupakan?

Demi Tuhan, sampai detik ini, Aldea masih terus menerka kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika Hainan dan Nessa kembali bertemu. Dan lagi, apakah Hainan benar mencintainya? Atau hanya membutuhkannya?

——–|—|———

Sementara di sisi lain, seseorang sedang menahan sesak mati-matian tatkala melihat pemandangan di seberang sana.

Duduk di atas kursi rodanya, Nessa mengepalkan kedua tangan sembari menahan air matanya agar tak jatuh. Gadis itu ada di sana, duduk mengintip di ambang pintu, sejak Aldea tiba di depan ruang ICU hingga adegan pelukan keduanya usai. Nessa melihat semuanya.

Nessa tak bohong soal perasaannya pada Mahen. Tapi nyatanya, ia juga tak sepenuhnya berpaling. Masih ada sedikit ruang tersisa untuk Hainan di dalam hatinya. Meskipun ia sudah tau perihal hubungan Hainan dan Aldea, ternyata rasanya tetap menyakitkan saat menyaksikan keduanya sedekat itu.

Tidak, Nessa tidak berniat mengambil Hainan kembali. Ia hanya butuh waktu untuk melepas sosok itu sepenuhnya. Sebab ia tak mau menyakiti siapapun. Memilih kembali pada Hainan bukankah justru akan memberi luka untuk Aldea dan Mahen? Nessa tak mau egois.

“Nessa, ayo masuk, Nak! Mau jalan-jalan lagi kah?” tanya Om Seno karena sejak tadi Nessa masih setia duduk di ambang pintu. Dengan alibi bosan melihat suasana kamar.

Jero yang paham kemudian menarik kursi roda yang diduduki Nessa. “Masuk, Nes. Nggak baik liat begituan. Nanti Mahen marah.” bisik Jero yang kemudian mendapat lirikan tajam dari Nessa.

Nessa sempat menceritakan banyak hal yang dialaminya selama koma pada Jero. Yah, meskipun awalnya Jero tak percaya karena menurutnya semua itu terdengar konyol. Tapi saat Mahen tiba-tiba menanyakan kabar Nessa, dari situlah Jero mulai percaya. Bagian paling mengejutkan adalah saat Nessa bercerita secara detail tentang hubungan Hainan dan Aldea. Jero sampai-sampai dibuat merinding sekaligus takjub.

“Nes,” panggil Jero sembari mendorong kursi roda Nessa.

“Hmm.”

“Lo nggak liatin gue ganti baju, kan, pas lo koma? Kan arwah lo jalan-jalan tuh.” tanya Jero tanpa dosa.

Nessa menoleh ke arah Jero sejenak, dengan wajah tanpa ekspresi.

“Mohon maap aja nih, mata gue cuma dua dan masih sehat, Jer. Liat muka lo bentar aja mata gue jadi burem. Apalagi liat lo ganti baju, bisa katarak gue. Kasian mata gue.” cerca Nessa.

Sudah 1 menit Aldea berdiri di depan pintu ruang ICU tempat Ibunda Hainan dirawat. Menunduk sedih usai menyaksikan Hainan lewat kaca pintu. Lelaki itu terlihat begitu putus asa, Aldea tak sampai hati mengusiknya.

Ceklek!

Pintu tiba-tiba terbuka. Aldea yang tadinya menunduk tersentak kecil.

“Kok nggak ngabarin kalo udah dateng?” tanya lelaki berwajah mungil itu. Membuat Aldea gelagapan.

“K-kak anu aku barusan dateng, kok.”

Tak merespon ucapan sang gadis, Hainan justru menjatuhkan tubuh tegapnya ke dalam dekapan Aldea.

Sementara Aldea masih terkejut karena tubuhnya diterjang tanpa permisi.

“Bunda kena serangan jantung.” Aldea tercekat. Sungguh di antara milyaran manusia, mengapa harus Bunda? Aldea tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Hainan.

“Gue gagal jagain Bunda. Gue bahkan nggak tau kalo Bunda sakit. Gue takut kehilangan Bunda, Al.” Entah hanya perasaannya saja atau memang demikian, Aldea mendengar suara Hainan bergetar saat mengucapkan kalimat itu.

“Al,”

“Iya Kak?”

“Gue cuma punya Bunda.” Tangis Hainan pecah. Harapan terakhirnya, keluarga satu-satunya, kini sedang berjuang mempertaruhkan nyawa. Hainan tau, bagaimanapun Bunda pasti akan pergi. Tapi untuk saat ini, Hainan harap Tuhan berkenan mengijinkan Bunda hidup lebih lama lagi.

Aldea bisa merasakan punggung tegap itu kini bergetar hebat. Dekapan tangan di pinggang Aldea juga kian mengerat. Untuk saat ini, Hainan tak ingin apapun, ia hanya butuh penguat.

“Bunda pasti baik-baik aja, Kak. Kakak jangan pernah merasa sendiri, ya. Aku nggak pernah pergi ke mana-mana. Ada Jero sama temen-temen kakak yang lain juga. Bunda pasti bakal sembuh.” Aldea berusaha meyakinkan meskipun hal itu terdengar sia-sia. Sebab isakan Hainan terdengar semakin pilu.

“Al, gue butuh lo.”

Rupanya Hainan perlahan mulai bergantung pada Aldea. Entah mengapa Aldea justru merasa senang mendengar kalimat sederhana itu.

“Orang yang paling gue percaya cuma lo sama Bunda. Jangan hancurin kepercayaan gue, ya.”

Aldea termenung sesaat. Dengan kedua pipi yang basah dan hidung memerah, entah sejak kapan.

Bukan fakta baru bahwa Hainan adalah pribadi yang sangat tertutup. Sejak ia kehilangan Ayah dan Adiknya, Hainan berubah menjadi orang lain seperti dirinya sekarang. Sifat aslinya hanya akan muncul ketika bersama orang yang benar-benar ia percaya. Dan di antara sekian banyak manusia, entah mengapa lelaki itu hanya mampu menaruh percaya pada Sang Bunda dan gadis yang merupakan kekasihnya itu. Juga Nessa.

Perempuan yang kini didekapnya, meski belum sampai setahun Hainan mengenalnya, tetapi ia mampu membuat Hainan jatuh sedalam-dalamnya. Seperti yang pernah ia bilang, Aldea itu istimewa. Meski Hainan tak bisa mendeskripsikannya.

“Kak, boleh aku tanya sesuatu?” Hainan mengangguk.

“Kenapa Kakak sepercaya itu sama aku? Padahal ada Jero yang udah jadi temen Kakak selama bertahun-tahun. Kenapa harus aku? Aku masih orang baru. Aku tau kita udah pacaran, tapi kenapa...

“Bawel.” potong Hainan. Lantas memberi jarak di antara keduanya. “Jangan tanya gue. Yang ngatur perasaan orang itu Tuhan. Sekalipun gue temenan sama Jero dari SMA, kalo dia nggak bisa bikin gue ngerasa nyaman kayak Bunda, berarti gue belum bisa percaya sama dia.” lanjutnya.

“Dan lo, meskipun baru beberapa bulan gue kenal lo, tapi kalo Tuhan bikin gue nyaman sama lo gue bisa apa? Gue mau minta ganti yang lain juga nggak bisa. Semuanya terserah Tuhan.”

“Beneran jangan ke mana-mana, ya. Gue sayang sama lo.” Hainan mengusap lembut surai kecoklatan milik Aldea, dengan tatapan penuh arti.

Mendengar itu, Aldea kembali teringat Nessa. Hainan memang membutuhkannya saat ini, tapi jika lelaki itu mengetahui kehadiran Nessa, apakah dirinya akan dilupakan?

Demi Tuhan, sampai detik ini, Aldea masih terus menerka kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika Hainan dan Nessa kembali bertemu. Dan lagi, apakah Hainan benar mencintainya? Atau hanya membutuhkannya?

——–|—|———

Sementara di sisi lain, seseorang sedang menahan sesak mati-matian tatkala melihat pemandangan di seberang sana.

Duduk di atas kursi rodanya, Nessa mengepalkan kedua tangan sembari menahan air matanya agar tak jatuh. Gadis itu ada di sana, duduk mengintip di ambang pintu, sejak Aldea tiba di depan ruang ICU hingga adegan pelukan keduanya usai. Nessa melihat semuanya.

Nessa tak bohong soal perasaannya pada Mahen. Tapi nyatanya, ia juga tak sepenuhnya berpaling. Masih ada sedikit ruang tersisa untuk Hainan di dalam hatinya. Meskipun ia sudah tau perihal hubungan Hainan dan Aldea, ternyata rasanya tetap menyakitkan saat menyaksikan keduanya sedekat itu.

Tidak, Nessa tidak berniat mengambil Hainan kembali. Ia hanya butuh waktu untuk melepas sosok itu sepenuhnya. Sebab ia tak mau menyakiti siapapun. Memilih kembali pada Hainan bukankah justru akan memberi luka untuk Aldea dan Mahen? Nessa tak mau egois.

“Nessa, ayo masuk, Nak! Mau jalan-jalan lagi kah?” tanya Om Seno karena sejak tadi Nessa masih setia duduk di ambang pintu. Dengan alibi bosan melihat suasana kamar.

Jero yang paham kemudian menarik kursi roda yang diduduki Nessa. “Masuk, Nes. Nggak baik liat begituan. Nanti Mahen marah.” bisik Jero yang kemudian mendapat lirikan tajam dari Nessa.

Nessa sempat menceritakan banyak hal yang dialaminya selama koma pada Jero. Yah, meskipun awalnya Jero tak percaya karena menurutnya semua itu terdengar konyol. Tapi saat Mahen tiba-tiba menanyakan kabar Nessa, dari situlah Jero mulai percaya. Bagian paling mengejutkan adalah saat Nessa bercerita secara detail tentang hubungan Hainan dan Aldea. Jero sampai-sampai dibuat merinding sekaligus takjub.

“Nes,” panggil Jero sembari mendorong kursi roda Nessa.

“Hmm.”

“Lo nggak liatin gue ganti baju, kan, pas lo koma? Kan arwah lo jalan-jalan tuh.” tanya Jero tanpa dosa.

Nessa menoleh ke arah Jero sejenak, dengan wajah tanpa ekspresi.

“Mohon maap aja nih, mata gue cuma dua dan masih sehat, Jer. Liat muka lo bentar aja mata gue jadi burem. Apalagi liat lo ganti baju, bisa katarak gue. Kasian mata gue.” cerca Nessa.

Sudah 1 menit Aldea berdiri di depan pintu ruang ICU tempat Ibunda Hainan dirawat. Menunduk sedih usai menyaksikan Hainan lewat kaca pintu. Lelaki itu terlihat begitu putus asa, Aldea tak sampai hati mengusiknya.

Ceklek!

Pintu tiba-tiba terbuka. Aldea yang tadinya menunduk tersentak kecil.

“Kok nggak ngabarin kalo udah dateng?” tanya lelaki berwajah mungil itu. Membuat Aldea gelagapan.

“K-kak anu aku barusan dateng, kok.”

Tak merespon ucapan sang gadis, Hainan justru menjatuhkan tubuh tegapnya ke dalam dekapan Aldea.

Sementara Aldea masih terkejut karena tubuhnya diterjang tanpa permisi.

“Bunda kena serangan jantung.” Aldea tercekat. Sungguh di antara milyaran manusia, mengapa harus Bunda? Aldea tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya berada di posisi Hainan.

“Gue gagal jagain Bunda. Gue bahkan nggak tau kalo Bunda sakit. Gue takut kehilangan Bunda, Al.” Entah hanya perasaannya saja atau memang demikian, Aldea mendengar suara Hainan bergetar saat mengucapkan kalimat itu.

“Al,”

“Iya Kak?”

“Gue cuma punya Bunda.” Tangis Hainan pecah. Harapan terakhirnya, keluarga satu-satunya, kini sedang berjuang mempertaruhkan nyawa. Hainan tau, bagaimanapun Bunda pasti akan pergi. Tapi untuk saat ini, Hainan harap Tuhan berkenan mengijinkan Bunda hidup lebih lama lagi.

Aldea bisa merasakan punggung tegap itu kini bergetar hebat. Dekapan tangan di pinggang Aldea juga kian mengerat. Untuk saat ini, Hainan tak ingin apapun, ia hanya butuh penguat.

“Bunda pasti baik-baik aja, Kak. Kakak jangan pernah merasa sendiri, ya. Aku nggak pernah pergi ke mana-mana. Ada Jero sama temen-temen kakak yang lain juga. Bunda pasti bakal sembuh.” Aldea berusaha meyakinkan meskipun hal itu terdengar sia-sia. Sebab isakan Hainan terdengar semakin pilu.

“Al, gue butuh lo.”

Rupanya Hainan perlahan mulai bergantung pada Aldea. Entah mengapa Aldea justru merasa senang mendengar kalimat sederhana itu.

“Orang yang paling gue percaya cuma lo sama Bunda. Jangan hancurin kepercayaan gue, ya.”

Aldea termenung sesaat. Dengan kedua pipi yang basah dan hidung memerah, entah sejak kapan.

Bukan fakta baru bahwa Hainan adalah pribadi yang sangat tertutup. Sejak ia kehilangan Ayah dan Adiknya, Hainan berubah menjadi orang lain seperti dirinya sekarang. Sifat aslinya hanya akan muncul ketika bersama orang yang benar-benar ia percaya. Dan di antara sekian banyak manusia, entah mengapa lelaki itu hanya mampu menaruh percaya pada Sang Bunda dan gadis yang merupakan kekasihnya itu. Juga Nessa.

Perempuan yang kini didekapnya, meski belum sampai setahun Hainan mengenalnya, tetapi ia mampu membuat Hainan jatuh sedalam-dalamnya. Seperti yang pernah ia bilang, Aldea itu istimewa. Meski Hainan tak bisa mendeskripsikannya.

“Kak, boleh aku tanya?” Hainan mengangguk.

“Kenapa Kakak sepercaya itu sama aku? Padahal ada Jero yang udah jadi temen Kakak selama bertahun-tahun. Kenapa harus aku? Aku masih orang baru. Aku tau kita udah pacaran, tapi kenapa...

“Bawel.” potong Hainan. Lantas memberi jarak di antara keduanya. “Jangan tanya gue. Yang ngatur perasaan orang itu Tuhan. Sekalipun gue temenan sama Jero dari SMA, kalo dia nggak bisa bikin gue ngerasa nyaman kayak Bunda, berarti gue belum bisa percaya sama dia.” lanjutnya.

“Dan lo, meskipun baru beberapa bulan gue kenal lo, tapi kalo Tuhan bikin gue nyaman sama lo gue bisa apa? Gue mau minta ganti yang lain juga nggak bisa. Semuanya terserah Tuhan.”

“Beneran jangan ke mana-mana, ya. Gue sayang sama lo.” Hainan mengusap lembut surai kecoklatan milik Aldea, dengan tatapan penuh arti.

Mendengar itu, Aldea kembali teringat Nessa. Hainan memang membutuhkannya saat ini, tapi jika lelaki itu mengetahui kehadiran Nessa, apakah dirinya akan dilupakan?

Demi Tuhan, sampai detik ini, Aldea masih terus menerka kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika Hainan dan Nessa kembali bertemu. Dan lagi, apakah Hainan benar mencintainya? Atau hanya membutuhkannya?

——–|—|———

Sementara di sisi lain, seseorang sedang menahan sesak mati-matian tatkala melihat pemandangan di seberang sana.

Duduk di atas kursi rodanya, Nessa mengepalkan kedua tangan sembari menahan air matanya agar tak jatuh. Gadis itu ada di sana, duduk mengintip di ambang pintu, sejak Aldea tiba di depan ruang ICU hingga adegan pelukan keduanya usai. Nessa melihat semuanya.

Nessa tak bohong soal perasaannya pada Mahen. Tapi nyatanya, ia juga tak sepenuhnya berpaling. Masih ada sedikit ruang tersisa untuk Hainan di dalam hatinya. Meskipun ia sudah tau perihal hubungan Hainan dan Aldea, ternyata rasanya tetap menyakitkan saat menyaksikan keduanya sedekat itu.

Tidak, Nessa tidak berniat mengambil Hainan kembali. Ia hanya butuh waktu untuk melepas sosok itu sepenuhnya. Sebab ia tak mau menyakiti siapapun. Memilih kembali pada Hainan bukankah justru akan memberi luka untuk Aldea dan Mahen? Nessa tak mau egois.

“Nessa, ayo masuk, Nak! Mau jalan-jalan lagi kah?” tanya Om Seno karena sejak tadi Nessa masih setia duduk di ambang pintu. Dengan alibi bosan melihat suasana kamar.

Jero yang paham kemudian menarik kursi roda yang diduduki Nessa. “Masuk, Nes. Nggak baik liat begituan. Nanti Mahen marah.” bisik Jero yang kemudian mendapat lirikan tajam dari Nessa.

Nessa sempat menceritakan banyak hal yang dialaminya selama koma pada Jero. Yah, meskipun awalnya Jero tak percaya karena menurutnya semua itu terdengar konyol. Tapi saat Mahen tiba-tiba menanyakan kabar Nessa, dari situlah Jero mulai percaya. Bagian paling mengejutkan adalah saat Nessa bercerita secara detail tentang hubungan Hainan dan Aldea. Jero sampai-sampai dibuat merinding sekaligus takjub.

“Nes,” panggil Jero sembari mendorong kursi roda Nessa.

“Hmm.”

“Lo nggak liatin gue ganti baju, kan, pas lo koma? Kan arwah lo jalan-jalan tuh.” tanya Jero tanpa dosa.

Nessa menoleh ke arah Jero sejenak, dengan wajah tanpa ekspresi.

“Mohon maap aja nih, mata gue cuma dua dan masih sehat, Jer. Liat muka lo bentar aja mata gue jadi burem. Apalagi liat lo ganti baju, bisa katarak gue. Kasian mata gue.” cerca Nessa.