Bahagia Kembali Bertahta
Hari yang Aldea tunggu-tunggu akhirnya tiba. Sembari memandang ke luar jendela, Aldea duduk dengan cemas. Ingin rasanya ia protes pada Sang pilot agar segera menerbangkan pesawat, tapi ia tak punya hak.
“Tenang. Banyakin baca doa, ya.”
Aldea tersentak kecil saat tangan Mamanya mengelus lembut punggung tangan miliknya.
Aldea hanya mengangguk.
Sementara tepat di kursi belakang Aldea, 3 anak manusia duduk bersandingan, bercakap-cakap random dan sesekali bercanda. Sempat-sempatnya mereka tertawa padahal temannya sedang berduka di negara tetangga.
“Biasanya kalo ke luar negeri pasti bikin instastory, kan? Tapi karena tujuan kita kali ini beda, jadi ada baiknya kita tetep bikin instastory.” celetuk Raka yang duduk di antara Jero dan Vano.
Jero menggelengkan kepala. “Nggak boleh gitu. Temen lo lagi sedih di sana. Masa lo masih sempet mikir mau bikin instastory. Astaghfirullah. Takbir bestie.”
“Sejak kapan astaghfirullah namanya takbir? Syahadat, dong.” timpal Vano sama sesatnya.
Entah setan mana yang merasuki mereka, tiba-tiba ketiganya bernyanyi dengan riang dan tak tahu malu.
“Syahadat... Sholat, puasa, zakat, haji, lalalala.”
“Lalala bibirmu, lidahmu, parasmu, sungguh menggo-
“HEH ANJIR SALAH SERVER!”
Raka spontan menjitak Vano yang mendadak mengubah lirik lagu.
Aldea yang mendengar itu hanya menggeleng pelan. Maklum dengan tingkah mereka.
Sesampainya di negeri berlambang singa putih itu, mereka lantas memesan hotel.
Mereka hanya menaruh koper, kemudian segera bergegas menuju Mount Elizabeth Hospital yang merupakan tujuan utama mereka.
Jantung Aldea berdegup gila. Tangan dan kakinya sampai bergetar saking gugupnya. Ia khawatir, rindu, dan merasa bersalah pada Hainan. Pun ia juga penasaran dengan kondisi Ibunda Hainan. Seumur hidup, Aldea belum pernah merasa segugup ini.
Kelima orang itu lantas berjalan cepat usai mengetahui posisi ruangan tempat Bunda Hainan dirawat.
Dan begitu mereka sampai di depan pintu ruangan itu, seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul dari dalam. Pria bertubuh tinggi dengan kacamata berbentuk bulat bening itu menatap heran kelima orang di hadapannya.
“Siapa, ya?”
Aldea sudah berniat menjawab, tapi ia ternyata didahului oleh Mamanya.
“Saya temannya Ria. Ini putri saya. Dan ketiga anak ini teman-temannya Hainan. Kami datang ke sini karena ingin menjenguk Ria dan ingin mengetahui kondisinya.”
Pria itu diam sejenak. Kemudian mengangguk singkat. “Baik, silakan masuk.”
Mama Aldea kemudian mengangguk sambil tersenyum. Lantas mengajak Aldea, Vano, Jero, dan Raka untuk mengikutinya.
Begitu memasuki ruangan berbau khas itu, wajah Aldea seketika berubah murung. Memang benar tujuannya kemari adalah untuk menjenguk Bunda Hainan, tapi tujuan utamanya adalah menemui kekasihnya, yang entah mengapa sejak tadi tak terlihat batang hidungnya.
Matanya menelisik ke sana kemari, tapi ia tak menemukan sosok lain selain Bunda Hainan yang sedang terbaring di atas kasur.
“Tante Ria masih tidur, kita tunggu dulu, ya.” ucap Mama Aldea pada putri dan ketiga pemuda yang berdiri di sebelahnya.
Jero menyentuh pelan bahu bibinya. “Tante, aku sama temen-temen keluar bentar, ya. Sekalian ke toilet.” ujarnya.
Mama Aldea hanya mengangguk sebagai jawaban.
Selang beberapa menit kemudian, Aldea ikut meminta ijin. “Ma, aku keluar bentar, ya. Nanti kalau Tante Ria udah sadar tapi aku belum balik, telfon aja.”
Sang Mama menggeleng sambil tertawa kecil. “Iya. Jangan lama-lama. Jangan jauh-jauh juga.”
“Iya, Ma.”
Aldea memutuskan keluar dari ruangan itu bukan karena ia tak nyaman, tapi karena ia ingin mencari keberadaan Hainan.
Namun begitu Aldea keluar, hal yang tak terduga terjadi.
Jero dan antek-anteknya ternyata sedang berdiri di depan pintu, seolah sengaja menunggunya. Dengan tanpa ijin, ketiga lelaki itu tiba-tiba menarik paksa tangannya.
“Eh apa-apaan woy! Lepasin, nggak?!!”
“Udah diem! Gue ajak ke taman bentar. Biar lo dapet angin segar.”
Menyadari posisinya yang berada di tempat umum, Aldea tak punya pilihan lain selain pasrah. Karena jika ia memberontak, ia pasti akan menjadi pusat perhatian.
Sesampainya di taman, seperti yang mereka duga, Aldea pasti akan berkicau sambil mengeluarkan makian.
“BISA NGGAK SIH KALO NARIK TANGAN ORANG BIASA AJA?!! NGGAK USAH RAME-RAME JUGA ANJIR! MALU-MALUIN!”
“NGAPAIN NGAJAK GUE KE SINI?!”
Jero mendecak. “Heh betina! Ngomel mulu napa sih?! Daripada lo bacot gitu, mending sekarang lo duduk. Banyak noh kursi taman nganggur.”
“Tau tuh. Lagian lo keluar karena gabut, kan, di dalem?” timpal Vano.
“Enggak, ya! Gue pengen jalan-jalan aja. Tapi sendirian. Nggak sama lo pada!” Bantah Aldea.
“Halah cewek kebanyakan alasa- kenapa sih?”
Raka yang berniat menimpali seketika mengurungkan niat saat Aldea tiba-tiba membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Dengan pandangan lurus ke depan dan mata yang sudah berkaca-kaca. Membuat ketiga pemuda di hadapannya melempar tatapan heran.
Saat ketiga pemuda itu mengikuti arah pandangan Aldea, ekspresi terkejut ala-ala meme langsung tercipta di wajah mereka.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Aldea segera menerjang sosok yang dicarinya sejak tadi.
“Kenapa nggak ngasih kabar sama sekali? Aku udah unblock Kakak padahal. Aku udah chat ke semua sosmed tapi nggak satu pun Kakak bales. Ngerti nggak, sih, orang lagi khawatir?”
Itulah kalimat yang sejak tadi ingin disampaikan Aldea.
Hainan tertawa kecil. Sesekali ia akan mencium dahi dan puncak kepala gadis itu sayang.
“Maaf. Gue lagi pengen fokus ngerawat Bunda. Maaf udah bikin lo jadi kepikiran.” ujar Hainan sembari mengelus surai lembut milik Aldea.
Sementara Jero, Vano, dan Raka, mereka akhirnya memilih duduk. Menunggu adegan pelepasan rindu itu usai. Sebab kehadiran mereka kini tak lebih dari sekumpulan obat nyamuk.
“Al, gue masih punya kesempatan, kan, buat jelasin ke lo? Gue bakal ceritain tentang pertemuan gue sama Nessa.”
Aldea menggeleng.
“Nggak perlu. Aku udah tau.”
“Udah dikasih tau Nessa, ya?”
Aldea mengangguk cepat. “Dikasih tau Jero juga. Dia waktu itu nguping.”
Jero hampir saja mengumpat di tempatnya jika Hainan tidak memberi tatapan tajam padanya.
Ah, Hainan sudah menduga. Dia tahu malam itu Nessa tak mungkin datang sendiri.
“Beneran nggak perlu dijelasin, nih?”
Untuk kesekian kalinya Aldea menggeleng lagi.
Dengan gerakan begitu pelan, Hainan perlahan memberi jarak. Lantas menangkup wajah jelita itu dari jarak dekat.
“Kenapa makin lucu kalo lagi nangis?”
gemas Hainan. Jemarinya bergerak untuk menghapus air mata yang hampir memenuhi wajah Aldea.
“Kak,”
“Hmm?”
“Kok makin ganteng kalo diliat dari deket gini? Jangan ganteng-ganteng nanti banyak yang suka!”
Kelewat gemas, Hainan tak mampu lagi menahan tangannya untuk mencubit pipi gadisnya.
“AHH!! SAKIT! NTAR KALO SAKIT GIGI TANGGUNG JAWAB!!”
Melihat pipi Aldea semakin memerah, Hainan tertawa puas. Sungguh dia sangat merindukan gadisnya yang unik ini. Suaranya, senyumnya, tingkah aneh dan randomnya. Hainan merindukan semuanya.
“Coba tutup matanya bentar!” ujar Hainan.
“Mau ngapain? Nggak mau, ah, ntar aku ditinggalin.”
“Enggak. Beneran.”
“MAS, MASIH LAMA NGGAK NIH MAEN SINETRONNYA?” teriak Raka sengaja. Tapi nahas, Aldea dan Hainan tidak menggubrisnya.
“Oke aku tutup mata, nih. Tapi jangan aneh-aneh!”
“Iya.”
Akhirnya Aldea mau menuruti perintah Hainan.
“ANJING ANJING!!”
“WAAAAAHHHHHH GILEEE!”
“FAKK DEMI APA BENERAN LO?!!”
Baru saja ia menutup mata, suara umpatan tiba-tiba muncul merusak pendengaran. Aldea spontan membuka matanya kembali, berniat memarahi teman-teman Hainan yang akhlaknya hanya sebesar biji kwaci. Namun niat awalnya seketika lenyap begitu saja saat ia mendapati sesuatu yang tak pernah ia sangka, dilakukan oleh Hainan. Tepat di hadapannya.
Detik selanjutnya, Aldea tak lagi mampu melakukan hal lain selain menangis.
“For my only girl, my happiness, and my only love. Will you be mine forever?”
Hainan berlutut, sembari menyerahkan sebuah cincin berhias berlian di atasnya. Lelaki itu menunjukkan senyum termanis yang ia punya, berharap pertanyaannya akan dijawab oleh Sang terkasih dengan jawaban yang paling ia nanti-nanti.
Dan ....
“TERIMA AJA GASS!!”
“AYOK MBAK NGGAK USAH MIKIR!!”
“TINGGAL JAWAB YA ALLAH”
“TERIMA!! TERIMA!!!!”
Dan tak lama kemudian, dengan wajah yang kini bertambah basah akibat bercampur ingus, Aldea lantas berteriak lantang,
“Kenapa pakek nanya, sih? IYA AKU MAU. MAU BANGET. SAMPEK AKHERAT SAMA KAKAK TERUS JUGA MAU!!!”
Jawab Aldea penuh keyakinan.
“Alhamdulillah temen gue nggak sad boy!!”
“OKEE SAHHH!!”
“ANJIM MATA JOMBLO GUE!”
Suasana berubah ricuh. Beruntung jarak taman cukup jauh dari ruang rawat pasien. Jadi suara mereka tak terdengar begitu nyaring. Meskipun mereka tetap menjadi pusat perhatian.
Hari itu, akhirnya mereka kembali. Memulai kisah yang sempat terjeda dengan segenap bahagia.
Bahagia selalu untuk kalian. Semoga mampu bertahan hingga maut memisahkan.