#Perpustakaan, pukul 8

Mengabaikan pesan terakhir Lila, Aiden segera beranjak dari tempatnya. Mengajak kakinya melangkah menuju perpustakaan lama yang Lila makhsud. Sembari berjalan, Aiden terus bertanya-tanya, untuk apa gadis itu berada di tempat seperti itu seorang diri? Mengingat perpustakaan itu sudah lama tak digunakan sejak 5 tahun lalu.

Begitu jarak dengan perpustakaan kian menipis, Aiden mulai mempercepat langkahnya. Dan ketika berada tepat di depan pintu, lelaki itu tiba-tiba berhenti kala suara tawa tiba-tiba terdengar dari dalam.

Aiden sempat berpikir untuk putar balik karena jujur saja ia merasa takut. Berbagai macam pikiran buruk menghantui isi kepalanya. Namun beberapa saat kemudian, Aiden mengurungkan niatnya saat suara tawa yang sempat ia dengar tadi berubah menjadi suara tangis. Diiringi suara pukulan yang cukup keras.

Perlahan, Aiden mulai memutar gagang pintu. Pemuda itu tak langsung masuk, melainkan mengintip untuk memastikan apa yang terjadi di sana. Dan detik selanjutnya, Aiden tak memiliki tujuan lain selain lari dan menghentikan perempuan yang dicarinya.

“LILA LO NGAPAIN ANJING?!!”

Memilih untuk menulikan pendengarannya, Lila tetap melanjutkan aktivitasnya. Memukul-mukulkan kepalanya pada salah satu rak buku yang masih tersisa di ruang penuh debu itu.

“BERHENTI GK LO!!” Aiden menarik tubuh Lila menjauh. Tetapi perempuan itu justru mendorong tubuh Aiden kasar.

“PERGI LO!! JANGAN GANGGU GUE!!”

Gadis itu kemudian meraih pisau kecil di sakunya, kemudian mengarahkannya ke telapak tangan kirinya. Lantas dengan gerakan cepat, ia goreskan pisau itu hingga muncul cairan merah pekat dari kulitnya. Membuat Aiden terkejut bukan main.

“LILA STOP!” Ketika Aiden berusaha mengambil pisau itu, Lila justru mengeluarkan ancaman.

“PERGI ATAU GUE GORES PISAU INI KE KULIT LO!!”

Aiden seketika panik. “Gue mohon, jangan pakek pisau itu lagi. Buang! Gue mohon, itu bahaya.”

“Kalo lo mau tanya dari mana gue dapet luka yang di leher ini, jawabannya lo pasti udah tau, kan?”

Aiden membisu.

“Karena gue suka. Gue suka punya luka di tubuh gue.”

“UDAH? PUAS LO? ITUKAN JAWABAN YANG LO CARI?”

Mengembuskan napas tak menyangka, Aiden masih berusaha mencerna situasi di hadapannya. Ia terlalu terkejut untuk meyaksikan adegan tak terduga yang dilakukan oleh Lila.

“Kenapa? Kenapa lo lakuin ini?”

“Kan udah gue jawab. Karena gue suka. Karena ini bisa bikin gue lebih baik.”

Perlahan, Aiden mulai membuang sedikit demi sedikit jarak antara dirinya dengan Lila. Memberanikan diri meskipun gadis itu sedang menodongkan pisau ke arahnya.

“Lil, lo nggak sendirian. Kalo mau cerita, sini cerita sama gue. Gue bakal dengerin.”

Lila tak berkutik. Masih memandang nyalang pada Aiden dan enggan menjauhkan pisau di genggamannya.

“Tenang, Lil. Gue udah jadi temen lo. Gue nggak akan kasih tau soal ini ke siapapun kalo itu yang lo mau. Tapi gue minta, plis turunin pisau itu. Gue nggak ada makhsud jahat sama lo. Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa lagi.”

Aiden sempat menduga pisau itu akan menusuk perutnya dan dunianya akan berhenti saat itu juga. Tapi dugaannya salah. Ketika ia mengambil alih pisau di tangan Lila dan membuangnya jauh-jauh, gadis itu ternyata tak melakukan perlawanan sedikitpun. Bahkan ketika Aiden merengkuh tubuhnya, Lila hanya diam, menatap lurus dengan pandangan kosong. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali terisak.

Entah mengapa, perlahan muncul perasaan iba pada diri Aiden. Kedua tangannya menepuk pelan punggung dan rambut Lila. Berusaha menenangkan gadis itu.

“Kalo lo punya masalah, lo boleh panggil gue. Jangan sakitin diri lo sendiri kayak tadi.”