Malam Bertambahnya Luka
“Kakak bohong, kan? Kak Nessa cantik, baik, bisa apa aja. Iya sekarang Kakak bilangnya milih aku, tapi nanti pas ketemu Kak Nessa aku pasti ditinggalin.” Seperti anak kecil yang tak dituruti kemauannya, Aldea terisak kencang. Gadis itu marah, kecewa, dan merasa sakit hati di waktu yang sama.
“Al, coba jelasin pelan-pelan dul-
“Aku udah jelasin, kan, tadi. Apanya yang kurang jelas? Aku udah jelasin dari mana aku tau soal hubungan Kakak sama Kak Nessa. LEPASIN!!” Aldea memberontak, berusaha menghindar dari Hainan yang sejak awal mendekapnya. Tak memberi celah sedikitpun bagi Aldea untuk lepas.
“Maaf. Maafin gue. Gue nggak ada makhsud buat nyembunyiin dari lo. Nessa sama kayak lo. Dia berarti buat gue, tapi-
Lagi-lagi Aldea memberontak. “LEPASIN!”
“Nggak.”
“LEPASIN KAK!! KAK NESSA BERARTI, KAN, BUAT KAKAK? MASIH MAU BILANG BAKAL MILIH AKU?!!” teriak Aldea nyalang.
Namun Hainan tak menyerah. Didekapnya tubuh kecil itu semakin erat. Tak peduli meskipun dia sudah meronta-ronta, memukul dadanya, bahkan mendorongnya kasar.
“Al, diem dulu. Gue mohon-
“LEPASIN!!”
Hainan masih berusaha sebisa mungkin menahan Aldea. Namun lama kelamaan, kesabarannya kian menyurut.
“ALDEA!!!” Hainan balas berteriak tak kalah kencang. Membuat Aldea seketika diam.
“Nessa berarti buat gue, tapi itu dulu. Dia udah jadi masa lalu. Sekarang gue udah punya lo. Perasaan gue ke dia udah berubah. Kalaupun gue masih suka sama dia, gue yakin rasanya nggak bakal sama lagi kayak dulu. Gue nggak akan senyaman dulu sama dia, gue bakal asing sama dia, semua pasti berubah.” kilah Hainan.
“Udah, ya. Jangan bahas Nessa lagi. Tolong percaya sama gue.” sambungnya.
Usai mendengar ucapan Hainan, Aldea justru tak memberikan reaksi. Tak juga memberontak seperti sebelumnya. Ia juga pasrah ketika puncak kepalanya dikecup beberapa kali oleh Hainan.
“Maaf karena tadi gue bentak. Gue nggak mau Lo salah paham.”
Hainan tak menyadari keanehan pada gadis itu hingga sepenggal kalimat muncul dari mulut Aldea.
“Tapi dia ada di sini.” celetuk Aldea.
Wajah Hainan seketika dipenuhi tanda tanya. “Makhsudnya?”
“Kak Nessa ada di sini. Di tempat ini.”
Hainan spontan memberi jarak. Lantas menatap wajah Aldea dengan tatapan terkejut sekaligus penuh tanya.
“Al, bilang yang jelas.”
Tatapan Aldea terpaku pada lantai. Tatapan kosong penuh keputus asaan. Dengan lingkar yang semakin menghitam di bawah mata, membuatnya terlihat seperti mayat hidup.
“Al,” panggil Hainan sekali lagi.
Aldea lantas memandang Hainan sendu. “Iya. Kak Nessa ada di sini. Sepupu aku yang koma itu Kak Nessa. Dia nggak pergi ke luar kota. Dia kecelakaan dan koma selama hampir 3 tahun dan sebulan lalu dia barusan bangun.”
Hainan menghembuskan napas tak menyangka. Rasanya seperti dihantam ribuan batu. Hal gila apa yang baru saja ia dengar?
Dari jarak yang cukup dekat itu, Aldea tau perasaan Hainan sedang bercampur aduk. Pemuda itu bahkan tak sanggup berkata-kata.
“Di mana dia sekarang?” tanya Hainan pada akhirnya. Dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca.
“Kakak pasti milih dia, kan? Bukan a-
“GUE TANYA DI MANA DIA SEKARANG!!” bentak Hainan memotong ucapan Aldea.
Aldea sudah menduga. Benar, kan? Bahkan belum sampai 5 menit Hainan mengatakan soal siapa yang ia pilih. Belum sampai 5 menit pula Hainan meminta maaf karena sempat membentaknya. Tapi sekarang? Setelah ia mengatakan perihal kehadiran Nessa, Aldea sudah merasa dicampakan.
Tangis Aldea kembali pecah. Hatinya sakit luar biasa. Benar kata orang-orang, lelaki tak bisa sepenuhnya dipercaya.
“Oke. A-aku bakal panggil d-dia ke sini.” Aldea menggigit bibir bawahnya, mati-matian menahan tangisannya agar tak terdengar, meskipun nyatanya ia sudah tersedu.
“Aku b-bakal bawa dia buat Kakak.” lanjutnya. Kemudian berlari menjauh. Menikmati luka yang kian membunuhnya bersamaan dengan semilir angin malam yang menusuk hingga ke tulang.
Sementara Hainan, pemuda itu seperti orang linglung. Masih tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Malam ini, adalah malam terakhir ia bertemu dengan Aldea sebelum ia pergi ke Singapura. Namun Hainan justru menghancurkan moment itu.
Isi kepala Hainan begitu berisik. Ia merasa bersalah pada Aldea, namun ia tak bisa mengendalikan emosi usai mendengar kabar tentang Nessa. Pun juga perihal Sang Bunda yang sedang diperjuangkannya tetap bertahan.
Hainan frustasi. Sekarang ia tak punya siapa-siapa lagi untuk diharapkan kecuali dirinya sendiri.