Kamu, Adalah Kisah Terindah Dengan Akhir Terburuk
Di bawah naungan Sang malam, Sang Adam merengkuh daksa lemah itu. Keduanya bertukar isak, saling mendekap erat menumpahkan kerinduan yang tak mampu dibendung lagi.
Gadis yang disangkanya mustahil untuk kembali, kini hadir di waktu yang tak pernah Hainan duga. Meski rasanya masih sulit dipercaya.
Nyatanya, segala sesuatu terjadi bukan tanpa alasan, termasuk kepergian Nessa. Bagian yang paling Hainan sesali adalah, mengapa ia baru mendengar alasan kepergian Nessa yang sebenarnya? Mengapa semua orang tega membodohinya selama bertahun-tahun?
“Orang-orang itu, kenapa mereka bohongin gue?”
Nessa tau, Hainan pasti kecewa. Lelaki itu pasti akan menyalahkan orang-orang terdekatnya karena telah membohonginya selama ini.
“Ai, denger dulu, ya. Aku jelasin pelan-pelan.” Menangkup wajah mungil Hainan, Nessa berusaha memunculkan senyum, berharap Hainan bisa sedikit tenang dan mau mendengarkan.
Sementara di sisi lain, tanpa mereka sadari, Jero tengah berdiri mengintip di balik salah satu tiang yang jaraknya bahkan cukup dekat dengan mereka. Dia menjadi satu-satunya saksi kejadian itu. Mendengarkan seluruh pembicaraan dengan seksama dari awal hingga akhir.
Mulanya, tak ada yang aneh dari percakapan Nessa dan Hainan, hingga Jero mendengar satu nama lain disebut.
“Udah, ya. Semuanya udah selesai. Kita mulai lagi dari awal, ya, Ai.” Nessa mengelus pelan pipi Hainan usai menjawab teka-teki di kepala lelaki itu. Baginya, Hainan masihlah sosok yang sama. Dia tetap tampan dan menggemaskan, apalagi kini hidung dan pipinya memerah akibat menangis.
Hainan hanya diam. Ibarat mimpi, situasi yang dialaminya saat ini rasanya terlalu sulit ia cerna. Hingga perlakuan Nessa selanjutnya, berhasil membuat Hainan seolah ditarik pada kenyataan.
Cup!
Satu kecupan melayang sempurna di pipi kiri Hainan. Dia yang awalnya berlutut, sontak berdiri dengan ekspresi yang tak mampu Nessa mengerti.
“Kenapa, Ai?”
Diam Hainan sejenak. Menimang kalimat sebelum mengucapkannya.
“Nes, gue seneng bisa ketemu lo lagi. Tapi gue nggak bisa. Gue nggak bisa ngulang lagi dari awal. Maaf.” ucap Hainan.
Mendengar itu, Nessa lantas tersenyum. Senyum terpaksa yang diringi munculnya sungai kecil di pipinya.
Ada apa dengan ekspresi Hainan? Apakah lelaki itu baru saja mengutarakan kekesalannya seusai mendapat kecupan singkat yang bahkan tak kurang dari satu detik?
“Aldea, ya?” tanya Nessa. Sembari menahan nyeri yang mendadak menyerang dada.
Hainan menunduk. Tak sanggup menyaksikan ekspresi gadis di hadapannya.
“Selamanya lo bakal jadi sahabat gue, Nes. Lo masih orang yang istimewa buat gue.”
Nessa memalingkan muka. Menatap nanar langit malam yang seolah mengejeknya. Sesaat ia teringat ucapan Aldea perihal siapa yang harus ia pilih. Nessa belum memutuskan pada siapa ia berlabuh, namun ketika ia memilih Hainan, saat itu juga ia menyesali keputusannya. Keputusan yang ternyata membunuh perasaannya sendiri.
Malam itu, Nessa akhirnya menyadari satu hal bahwa Mahen tak lebih dari sebuah pelarian. Ia masih mengharapkan Hainan. Sangat.
“Maafin gue. Maaf.”
Mengusap kasar air mata di pipinya, Nessa lantas tertawa kecil.
“Nggak papa, kok. Aku perginya kelamaan, ya, Ai? Iya nggak papa. Bahagia terus, ya, kalian. Harusnya aku yang minta maaf. Gara-gara aku, kalian jadi ada sedikit kesalahpahaman.”
Hainan tak tau harus berbuat apa. Perasaannya pada Nessa telah banyak berubah. Meskipun ia sempat gila atas kepergian gadis itu, tapi hatinya tak bisa bohong, Aldea sudah menggeser sempurna posisi Nessa. Dan Hainan telah berjanji pada dirinya sendiri akan memperjuangkan kekasihnya itu.
“Iya. Emang baiknya kita sahabatan aja, Ai. Aku udah lumpuh gini, udah cacat, bisanya cuma nyusahin.” Nessa masih tertawa. Entah bagian mana yang lucu.
“Nes ...”
“Udah malem. Makasih, ya, udah mau selesaiin semuanya baik-baik. Aku mau balik dulu. Pengen istirahat.” ujar Nessa menutup pembicaraan. Ia tak tahan berlama-lama di sini. Semakin ia melihat Hainan, maka dadanya akan semakin sakit.
Melihat Nessa memutar balik kursi rodanya, Hainan sontak mendekat.
“Biar gue anter.” Hainan menawarkan diri.
“Nggak usah, Ai. Di sana udah ada Jero lagi nungguin. Nggak perlu. Sekali lagi makasih, ya.”
Hainan tak berkutik. Padahal Nessa berharap lelaki itu akan memaksa untuk mengantarnya. Lagi-lagi, Nessa kalah telak dengan Aldea.
Sempat menyaksikan Hainan yang terpuruk karena kepergiannya, ternyata tak membuat ekspektasi Nessa menjadi nyata. Lelaki itu tak berbalik arah padanya. Aldea sudah melenyapkan sosoknya dalam hidup Hainan. Nessa tak seistimewa sebelumnya. Benar kata Hainan, kata teman lebih cocok untuk menggambarkan status mereka sekarang.
Ingin rasanya Nessa memutar waktu, mengubah takdir agar tak semenyakitkan ini. Dari sekian banyak kisah yang pernah ia lukis, Hainan adalah mimpi terburuk yang tak ingin Nessa ulang lagi.
“Jika aku bisa memutar waktu, aku akan memilih untuk tak mengenalmu.” -Nessa.