Kindamessup

Sudah 1 menit Aldea berdiri di depan pintu ruang ICU tempat Ibunda Hainan dirawat. Menunduk sedih usai menyaksikan Hainan lewat kaca pintu. Lelaki itu terlihat begitu putus asa, Aldea tak sampai hati mengusiknya.

Ceklek!

Pintu tiba-tiba terbuka. Aldea yang tadinya menunduk tersentak kecil.

“Kok nggak ngabarin kalo udah dateng?” tanya lelaki berwajah mungil itu. Membuat Aldea gelagapan.

“K-kak anu aku barusan dateng, kok.”

Tak merespon ucapan sang gadis, Hainan justru menjatuhkan tubuh tegapnya ke dalam dekapan Aldea.

Sementara Aldea masih terkejut karena tubuhnya diterjang tanpa permisi.

“Bunda kena serangan jantung.” Aldea tercekat. Ikut merasakan betapa hancurnya Hainan saat ini.

“Gue gagal jagain Bunda. Gue bahkan nggak tau kalo Bunda sakit. Gue takut kehilangan Bunda, Al.” Entah hanya perasaannya saja atau memang demikian, Aldea mendengar suara Hainan bergetar saat mengucapkan kalimat itu.

“Al,”

“Iya Kak?”

“Gue cuma punya Bunda.” Saat itu juga Hainan tak lagi mampu menahan air matanya.

Aldea bisa merasakan punggung tegap itu kini bergetar hebat. Dekapan tangan di pinggang Aldea juga kian mengerat. Untuk saat ini, Hainan tak ingin apapun, ia hanya butuh penguat.

“Bunda pasti baik-baik aja, Kak. Kakak jangan pernah merasa sendiri, ya. Aku nggak pernah pergi ke mana-mana. Ada Jero sama temen-temen kakak yang lain juga. Bunda pasti bakal sembuh.” Aldea berusaha meyakinkan meskipun hal itu terdengar sia-sia. Sebab isakan Hainan terdengar semakin pilu.

“Al, gue butuh lo.”

Rupanya Hainan perlahan mulai bergantung pada Aldea. Entah mengapa Aldea justru merasa senang mendengar kalimat sederhana itu.

“Orang yang paling gue percaya cuma lo sama Bunda. Jangan hancurin kepercayaan gue, ya.”

Aldea termenung sesaat. Dengan kedua pipi yang basah dan hidung memerah, entah sejak kapan.

Bukan fakta baru bahwa Hainan adalah pribadi yang sangat tertutup. Sejak ia kehilangan Ayah dan Adiknya, Hainan berubah menjadi orang lain seperti dirinya sekarang. Sifat aslinya hanya akan muncul ketika bersama orang yang benar-benar ia percaya. Dan di antara sekian banyak manusia, entah mengapa lelaki itu hanya mampu menaruh percaya pada Sang Bunda dan gadis yang merupakan kekasihnya itu. Juga Nessa.

Perempuan yang kini didekapnya, meski belum sampai setahun Hainan mengenalnya, tetapi ia mampu membuat Hainan jatuh sedalam-dalamnya. Seperti yang pernah ia bilang, Aldea itu istimewa. Meski Hainan tak bisa mendeskripsikannya.

“Kak, boleh aku tanya?” Hainan mengangguk.

“Kenapa Kakak sepercaya itu sama aku? Padahal ada Jero yang udah jadi temen Kakak selama bertahun-tahun. Kenapa harus aku? Aku masih orang baru. Aku tau kita udah pacaran, tapi kenapa...

“Bawel.” potong Hainan. Lantas memberi jarak di antara keduanya. “Jangan tanya gue. Yang ngatur perasaan orang itu Tuhan. Sekalipun gue temenan sama Jero dari SMA, kalo dia nggak bisa bikin gue ngerasa nyaman kayak Bunda, berarti gue belum bisa percaya sama dia.” lanjutnya.

“Dan lo, meskipun baru beberapa bulan gue kenal lo, tapi kalo Tuhan bikin gue nyaman sama lo gue bisa apa? Gue mau minta ganti yang lain juga nggak bisa. Semuanya terserah Tuhan.”

“Beneran jangan ke mana-mana, ya. Gue sayang sama lo.” Hainan mengusap lembut surai kecoklatan milik Aldea, dengan tatapan penuh arti.

Mendengar itu, Aldea kembali teringat Nessa. Hainan memang membutuhkannya saat ini, tapi jika lelaki itu mengetahui kehadiran Nessa, apakah dirinya akan dilupakan?

Demi Tuhan, sampai detik ini, Aldea masih terus menerka kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika Hainan dan Nessa kembali bertemu. Dan lagi, apakah Hainan benar mencintainya? Atau hanya membutuhkannya?

——–|—|———

Sementara di sisi lain, seseorang sedang menahan sesak mati-matian tatkala melihat pemandangan di seberang sana.

Duduk di atas kursi rodanya, Nessa mengepalkan kedua tangan sembari menahan air matanya agar tak jatuh. Gadis itu ada di sana, duduk mengintip di ambang pintu, sejak Aldea tiba di depan ruang ICU hingga adegan pelukan keduanya usai. Nessa melihat semuanya.

Nessa tak bohong soal perasaannya pada Mahen. Tapi nyatanya, ia juga tak sepenuhnya berpaling. Masih ada sedikit ruang tersisa untuk Hainan di dalam hatinya. Meskipun ia sudah tau perihal hubungan Hainan dan Aldea, ternyata rasanya tetap menyakitkan saat menyaksikan keduanya sedekat itu.

Tidak, Nessa tidak berniat mengambil Hainan kembali. Ia hanya butuh waktu untuk melepas sosok itu sepenuhnya. Sebab ia tak mau menyakiti siapapun. Memilih kembali pada Hainan bukankah justru akan memberi luka untuk Aldea dan Mahen? Nessa tak mau egois.

“Nessa, ayo masuk, Nak! Mau jalan-jalan lagi kah?” tanya Om Seno karena sejak tadi Nessa masih setia duduk di ambang pintu. Dengan alibi bosan melihat suasana kamar.

Jero yang paham kemudian menarik kursi roda yang diduduki Nessa. “Masuk, Nes. Nggak baik liat begituan. Nanti Mahen marah.” bisik Jero yang kemudian mendapat lirikan tajam dari Nessa.

Nessa sempat menceritakan banyak hal yang dialaminya selama koma pada Jero. Yah, meskipun awalnya Jero tak percaya karena menurutnya semua itu terdengar konyol. Tapi saat Mahen tiba-tiba menanyakan kabar Nessa, dari situlah Jero mulai percaya. Bagian paling mengejutkan adalah saat Nessa bercerita secara detail tentang hubungan Hainan dan Aldea. Jero sampai-sampai dibuat merinding sekaligus takjub.

“Nes,” panggil Jero sembari mendorong kursi roda Nessa.

“Hmm.”

“Lo nggak liatin gue ganti baju, kan, pas lo koma? Kan arwah lo jalan-jalan tuh.” tanya Jero tanpa dosa.

Nessa menoleh ke arah Jero sejenak, dengan wajah tanpa ekspresi.

“Mohon maap aja nih, mata gue cuma dua dan masih sehat, Jer. Liat muka lo bentar aja mata gue jadi burem. Apalagi liat lo ganti baju, bisa katarak gue. Kasian mata gue.” cerca Nessa.

Seperti de javu, sore itu, berteman senja pantai, Hainan kembali menceritakan kisahnya. Kisah Sang Ayah dan saudara lelakinya yang memilih pergi. Menceritakan kembali pada Aldea sebagaimana ia menceritakannya dahulu pada Nessa.

Hainan menjadi anak paling bahagia sampai usianya menginjak 9 tahun. Sebab di tahun-tahun berikutnya, kehidupannya berubah 180 derajat.

Ayah Hainan adalah seorang pekerja keras. Seringkali pekerjaan Sang Ayah mengharusnkannya pergi ke luar kota. Meskipun kepulangan Ayahnya bisa dihitung dalam sebulan, tapi Hainan selalu meyambut kedatangan pria itu dengan antusias.

Namun ternyata, di balik kesibukannya itu, Ayahnya diam-diam telah menjalin hubungan dengan seorang wanita yang tak lain adalah sahabat baik Sang Bunda. Dan lebih parahnya, mereka sudah memiliki 1 putra dan 1 putri.

Tepat di ulang tahunnya yang ke-10, untuk pertama kalinya, Hainan menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar hebat. Figur Ayah sebagai sosok penyabar dan pengertian itu seketika lenyap. Tak seharipun terlewat dengan suara teriakan dan cacian yang dilontarkan kedua orang tuanya satu sama lain. Hingga pada puncaknya, Sang Ayah mulai berani bertindak kasar pada Bundanya. Tak tanggung-tanggung, Ayahnya bisa memukul dan menampar Bunda sekaligus meskipun Bunda hanya melakukan kesalahan kecil. Bagian terburuknya, Sang Bunda sempat dirawat di rumah sakit akibat cidera kepala serius.

Tak sekali dua kali Bunda Hainan melaporkan Ayahnya pada pihak berwajib. Namun selalu gagal sebab Ayahnya yang kaya raya itu punya banyak cara untuk membungkam para aparat berwajib agar tutup mulut.

Ada satu hal yang selamanya akan membekas dalam ingatan Hainan. Yaitu tindakan Ayahnya yang selalu menjadikan dia dan adiknya sebagai pelampiasan saat berkonflik dengan selingkuhannya. Ayahnya yang sudah dibutakan oleh cinta itu tak akan pernah tega melawan wanita simpananannya dan memilih untuk melukai kedua putranya sebagai bentuk pelampiasan.

Memori kelam yang begitu menyakitkan. Bahkan hingga detik ini Hainan belum bisa memaafkan pria yang telah melukai hatinya dan memberikan bekas luka disekujur tubuhnya. Luka-luka yang masih membekas dan dapat ia lihat dengan jelas sampai saat ini. Luka yang timbul akibat pecutan, pukulan, sayatan, dan beberapa luka lain yang dibuat oleh Ayahnya sendiri. Lantas apakah dia pantas dipanggil Ayah?

Aldea kembali terisak hebat saat menyaksikan ada banyak bekas luka memenuhi punggung, tangan, kaki, hingga perut Hainan. Demi Tuhan, ini adalah pemandangan paling memilukan yang pernah disaksikan Aldea sepanjang hidupnya. Sekarang ia tau, mengapa Hainan sering menggunakan jaket dan lengan panjang. Laki-laki itu hanya ingin menyembunyikan ribuan bekas luka yang menghiasi sekujur tubuhnya.

Aldea hanya tak habis pikir. Bagaimana bisa Hainan bertahan sekuat itu? Bagaimana bisa Hainan yang sedang berjuang melawan rasa sakitnya mampu berpura-pura baik-baik saja demi Sang Bunda? Bagaimana bisa Hainan berdiri tegak meskipun ia berkali-kali jatuh dan dijatuhkan?

Tak sampai di situ. Kejadian menyakitkan kembali menimpa saat Hainan duduk di bangku kelas 12. Adik laki-lakinya yang saat itu duduk di kelas 10 tiba-tiba berubah menjadi anak pembangkang akibat salah pergaulan. Adik yang Hainan kenal sebagai anak penurut, berpikiran dewasa, dan cerdas itu dalam sekejap berubah menjadi orang lain. Laki-laki yang diberi nama Juan itu bahkan sempat terkena kasus penyalahgunaan narkoba dan minum minuman keras padahal usianya saat itu baru 16 tahun.

Hingga suatu hari, diam-diam Juan mengambil kartu kredit, perhiasan, dan beberapa barang berharga milik keluarganya sendiri termasuk ponsel dan komputer milik Hainan. Kemudian anak laki-laki itu kabur dan menghilang begitu saja. Hainan dan Bundanya sudah melakukan berbagai upaya untuk menemukan Juan. Tapi nihil. Anak laki-laki itu tak dapat ditemukan dan sama sekali tak ada kabar.

Jika mau, Hainan bisa saja terus mengeluh pada takdir yang dijalaninya. Orang-orang terdekatnya selalu pergi dan mengkhianatinya. Begitupun Nessa. Itulah sebabnya Hainan takut, ia punya banyak trauma di masa lalu yang belum bisa ia hapus di masa sekarang.

Hari itu, Aldea mendengar semuanya. Rasa penasarannya akhirnya terjawab. Tak dapat dipungkiri, Aldea adalah sosok yang selama ini Hainan cari. Sosok yang mampu menggantikan seorang Nessa dan sosok yang Hainan harap tak akan meninggalkannya. Lagi.

“Makasih banyak, ya, Kak, karena udah mau cerita. Makasih juga udah mau percaya. Aku nggak bisa janji ke Kakak kalo aku bakal terus ada. Tapi suatu hari kalo aku ninggalan Kakak, aku jamin Kakak masih bisa nemuin aku lagi.”

Masih mendekap erat tubuh Hainan, Aldea dapat merasakan lelaki itu masih menangis. Wajahnya ia tempelkan di antara pundak dan leher Aldea. Kedua tangannya juga masih setia memeluk erat pinggang ramping Aldea sejak beberapa menit lalu. Rupanya Hainan menemukan kehangatan di sana.

“Kak Hainan punya aku sekarang. Aku bakal dengerin Kakak setiap saat Kakak pengen berbagi cerita. Jangan sedih lagi, ya, Kak. Jangan nangis lagi. Kasian baju aku basah padahal kita nggak main air.”

Inilah yang membedakan Aldea dengan Nessa. Aldea punya humor yang sering muncul tanpa diduga. Bukan makhsud Hainan membandingkan, hanya saja rasanya Aldea lebih spesial. Hanya, spesial.

“Kak, beneran nggak mau udahan?” Hainan menggeleng. Lelaki itu berusaha menahan tawa di tengah tangisnya.

“Yaudah deh nggak papa. Aku juga suka, kok. Cuman basah aja, kan. Terus kayak ada lengketnya dikit. Palingan cuma ingus kalo nggak upil. Nggak papa, kok. Haha.” Tawa Hainan akhirnya meledak juga. Lelaki itu akhirnya melepas pelukannya.

Dengan mata yang sama bengkaknya, Aldea dan Hainan saling bertukar pandang dari jarak yang cukup dekat. “Gue cium boleh, ya?” tanya Hainan.

Aldea sontak mendorong Hainan menjauh, kemudian berdiri. “UDAH AYOK PULANG! Kayaknya jam segini setan-setan lagi rombongan jogging.”

Sepulang dari cafe, Hainan dan Aldea tidak memilih untuk kembali ke rumah masing-masing, melainkan pergi ke pantai yang berada di sudut kota. Hal itu tentu saja terjadi atas permintaan Aldea.

“Pantainya sepi. Kayaknya hari ini kita lagi beruntung.” celetuk Aldea sembari memandang ombak pantai sore itu.

Hainan hanya mengangguk.

“Kak Hainan sariawan? Apa sakit gigi? Kok diem aja dari tadi?” Sejak keduanya sampai di pantai, Hainan jadi lebih banyak diam. Padahal ketika di cafe Hainan lumayan banyak bicara bahkan tak jarang juga ia bercerita.

Aldea menengok ke arah Hainan. Memandang lamat-lamat wajah tampan itu dari samping.

“Gue ... Nggak suka laut. Thalassophobia.” ucap Hainan. Ekspresi wajahnya menggambarkan ketidaknyamanan.

Aldea seketika panik. Apalagi saat menyadari bahwa keduanya kini sedang berhenti tepat di tepi pantai.

“KOK NGGAK BILANG SIH, KAK?!” Aldea tak habis pikir. Mengapa Hainan sama sekali tidak mengeluarkan kata sanggahan sejak tadi? “Eh tapi ini pantai. Bukan laut. Sama aja, kah?”

Hainan menghembuskan napas singkat, “Iya. Sama aja.” kemudian tersenyum canggung.

Usai mendengar jawaban Hainan, Aldea lantas mengajak Hainan menjauh dari tepi pantai. Memilih duduk di di bawah pohon yang letaknya kira-kira 15 meter dari tempat mereka berdiri tadi.

“Kalo di sini masih takut nggak, Kak?” tanya Aldea.

Hainan menggeleng. “Nggak, kok. Udah lumayan jauh. Maaf, ya. Gue udah merusak suasana.” Aldea jadi tidak tega saat Hainan memasang ekspresi menyesalnya. Padahal yang paling menyesal di sini adalah Aldea. Gadis itu merasa sangat bersalah sekarang.

“Eh harusnya aku yang minta maaf. Maaf, ya, Kak. Aku nggak tau. Harusnya tadi Kakak tolak aja.”

“Gue nggak tega mau nolak. Lo keliatan excited banget pengen ke pantai.”

“Nggak papa tau. Kalo nggak jadi ke pantai aku juga nggak keberatan, kok.” Sebenarnya Aldea tidak sebegitu antusias seperti yang dikatakan Hainan. Yang membuatnya antusias bukanlah pantai, melainkan kehadiran Hainan. Jadi ke manapun ia pergi dan ke tempat manapun yang ia tuju, bagi Aldea akan sama menyenangkannya selagi ada Hainan.

Aldea sudah jatuh pada pesona lelaki yang kini bersamanya. Namun seringkali pikirannya menolak fakta itu. Begitupun sebaliknya. Hainan sudah mengunci satu nama di dalam hatinya. Tapi pikirannya masih terpaku pada sesosok gadis yang sudah menjadi masa lalunya.

“Kak, kenapa takut laut?”

“Gue selalu bayangin ada binatang buas yang tiba-tiba keluar dari air. Buaya raksasa misalnya.”

Aldea sontak tertawa. Ya, hal itu mungkin saja terjadi. Tapi entah mengapa, hal itu terdengar menggelikan bagi Aldea.

“Ya elah, Kak. Kakak kebanyakan nonton fiksi nih pasti.”

“Gue jarang nonton film. Tapi pas gue masih SD, salah satu guru gue ada yang kakinya putus digigit hiu. Makanya gue makin takut.”

Tawa Aldea seketika lenyap. Baiklah, alasan Hainan yang satu itu terdengar masuk akal.

“Udah nggak usah dibahas. Lo ke pantai mau ngapain?” Hainan mengalihkan pembicaraan. Mengabaikan Aldea yang sepertinya masih membayangkan apa yang baru saja ia ceritakan.

“Oh. Mau ngobrol aja.” jawab Aldea.

“Hmm, btw, nama Kakak bagus.”

Hainan menoleh ke arah Aldea dengan tatapan heran. “Random banget.”

“Hainan tuh, kek nama warung ayam di deket rumah nenek aku, Kak. Mohon maap banget nih nggak ada makhsud apa-apa. Cuma mau bilang aja.” ujar Aldea dengan wajah tanpa dosanya.

“Hainan itu nama salah satu provinsi di China. Gue lahir di sana. Makanya gue dikasih nama Hainan.”

Aldea mengangguk paham. “Ohh gitu. Kirain terinspirasi dari nama warung.” Hainan melirik Aldea malas.

“Kalau nama Bumantara? Ada filosofinya juga, nggak? Soalnya pas aku searching artinya bagus.” Aldea sengaja bertanya. Meskipun Jero pernah mengatakan kalau Hainan membenci nama itu.

“Itu nama bokap gue.” singkat Hainan. Aldea bisa menangkap ekspresi marah sekaligus sedih tergambar pada wajah Hainan. Tapi Aldea tak bisa bohong. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencari tau lebih jauh tentang kehidupan Hainan, keluarganya, dan semua cerita masa lalunya.

“Namanya bagus. Cocok sama Kakak.”

Hainan hanya diam. Tak merespon sedikitpun.

Alih-alih merespon tanggapan Aldea, Hainan justru mengajukan pertanyaan.

“Kalo semisal Papa lo ninggalin lo dan milih buat hidup sama keluarganya yang baru, lo bakal marah, nggak?”

Bibir Aldea mendadak kelu. Tak sanggup rasanya mengucapkan sepatah katapun. Pada akhirnya, Aldea hanya sanggup mengangguk sebagai jawaban.

“Gue berhak marah, kan, Al? Apa gue harus diem aja pas liat Bunda dipukul? Apa gue harus diem aja pas liat Bunda nahan sakit tiap hari? Apa gue harus diem aja pas liat Bunda banting tulang sendirian buat anak-anaknya? GUE BERHAK, KAN, BUAT MARAH?! GUE BERHAK, KAN,AL?!!” ujar Hainan semakin meninggi.

Aldea hanya bisa membisu saat menyaksikan Hainan tiba-tiba terisak sedemikian hebatnya. Aldea tak pernah menduga Hainan akan seemosional ini. Tapi Aldea tidak menyesali apapun. Sebab akhirnya Hainan mau membagi masalahnya secara tidak langsung.

“Gue boleh marah, kan, Al?” Hainan kembali menanyakan hal serupa saat tangisnya mulai mereda.

Aldea yang sempat ragu, akhirnya memberanikan diri untuk merelakan bahunya sebagai tempat sandaran untuk Hainan. Lelaki itu menyalurkan rasa pilu pada gadis yang sedang mendekapnya. Membuat Aldea ikut terisak.

Semua ini terjadi di luar dugaan. Untuk pertama kalinya Hainan kembali membagi cerita hidupnya pada seorang gadis selain Nessa. Ada yang spesial pada Aldea, yang mampu membuat Hainan menaruh rasa percaya.

Nsjsyg suwg

Nsjsygsuwg