Tentang Percaya

Sepulang dari cafe, Hainan dan Aldea tidak memilih untuk kembali ke rumah masing-masing, melainkan pergi ke pantai yang berada di sudut kota. Hal itu tentu saja terjadi atas permintaan Aldea.

“Pantainya sepi. Kayaknya hari ini kita lagi beruntung.” celetuk Aldea sembari memandang ombak pantai sore itu.

Hainan hanya mengangguk.

“Kak Hainan sariawan? Apa sakit gigi? Kok diem aja dari tadi?” Sejak keduanya sampai di pantai, Hainan jadi lebih banyak diam. Padahal ketika di cafe Hainan lumayan banyak bicara bahkan tak jarang juga ia bercerita.

Aldea menengok ke arah Hainan. Memandang lamat-lamat wajah tampan itu dari samping.

“Gue ... Nggak suka laut. Thalassophobia.” ucap Hainan. Ekspresi wajahnya menggambarkan ketidaknyamanan.

Aldea seketika panik. Apalagi saat menyadari bahwa keduanya kini sedang berhenti tepat di tepi pantai.

“KOK NGGAK BILANG SIH, KAK?!” Aldea tak habis pikir. Mengapa Hainan sama sekali tidak mengeluarkan kata sanggahan sejak tadi? “Eh tapi ini pantai. Bukan laut. Sama aja, kah?”

Hainan menghembuskan napas singkat, “Iya. Sama aja.” kemudian tersenyum canggung.

Usai mendengar jawaban Hainan, Aldea lantas mengajak Hainan menjauh dari tepi pantai. Memilih duduk di di bawah pohon yang letaknya kira-kira 15 meter dari tempat mereka berdiri tadi.

“Kalo di sini masih takut nggak, Kak?” tanya Aldea.

Hainan menggeleng. “Nggak, kok. Udah lumayan jauh. Maaf, ya. Gue udah merusak suasana.” Aldea jadi tidak tega saat Hainan memasang ekspresi menyesalnya. Padahal yang paling menyesal di sini adalah Aldea. Gadis itu merasa sangat bersalah sekarang.

“Eh harusnya aku yang minta maaf. Maaf, ya, Kak. Aku nggak tau. Harusnya tadi Kakak tolak aja.”

“Gue nggak tega mau nolak. Lo keliatan excited banget pengen ke pantai.”

“Nggak papa tau. Kalo nggak jadi ke pantai aku juga nggak keberatan, kok.” Sebenarnya Aldea tidak sebegitu antusias seperti yang dikatakan Hainan. Yang membuatnya antusias bukanlah pantai, melainkan kehadiran Hainan. Jadi ke manapun ia pergi dan ke tempat manapun yang ia tuju, bagi Aldea akan sama menyenangkannya selagi ada Hainan.

Aldea sudah jatuh pada pesona lelaki yang kini bersamanya. Namun seringkali pikirannya menolak fakta itu. Begitupun sebaliknya. Hainan sudah mengunci satu nama di dalam hatinya. Tapi pikirannya masih terpaku pada sesosok gadis yang sudah menjadi masa lalunya.

“Kak, kenapa takut laut?”

“Gue selalu bayangin ada binatang buas yang tiba-tiba keluar dari air. Buaya raksasa misalnya.”

Aldea sontak tertawa. Ya, hal itu mungkin saja terjadi. Tapi entah mengapa, hal itu terdengar menggelikan bagi Aldea.

“Ya elah, Kak. Kakak kebanyakan nonton fiksi nih pasti.”

“Gue jarang nonton film. Tapi pas gue masih SD, salah satu guru gue ada yang kakinya putus digigit hiu. Makanya gue makin takut.”

Tawa Aldea seketika lenyap. Baiklah, alasan Hainan yang satu itu terdengar masuk akal.

“Udah nggak usah dibahas. Lo ke pantai mau ngapain?” Hainan mengalihkan pembicaraan. Mengabaikan Aldea yang sepertinya masih membayangkan apa yang baru saja ia ceritakan.

“Oh. Mau ngobrol aja.” jawab Aldea.

“Hmm, btw, nama Kakak bagus.”

Hainan menoleh ke arah Aldea dengan tatapan heran. “Random banget.”

“Hainan tuh, kek nama warung ayam di deket rumah nenek aku, Kak. Mohon maap banget nih nggak ada makhsud apa-apa. Cuma mau bilang aja.” ujar Aldea dengan wajah tanpa dosanya.

“Hainan itu nama salah satu provinsi di China. Gue lahir di sana. Makanya gue dikasih nama Hainan.”

Aldea mengangguk paham. “Ohh gitu. Kirain terinspirasi dari nama warung.” Hainan melirik Aldea malas.

“Kalau nama Bumantara? Ada filosofinya juga, nggak? Soalnya pas aku searching artinya bagus.” Aldea sengaja bertanya. Meskipun Jero pernah mengatakan kalau Hainan membenci nama itu.

“Itu nama bokap gue.” singkat Hainan. Aldea bisa menangkap ekspresi marah sekaligus sedih tergambar pada wajah Hainan. Tapi Aldea tak bisa bohong. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencari tau lebih jauh tentang kehidupan Hainan, keluarganya, dan semua cerita masa lalunya.

“Namanya bagus. Cocok sama Kakak.”

Hainan hanya diam. Tak merespon sedikitpun.

Alih-alih merespon tanggapan Aldea, Hainan justru mengajukan pertanyaan.

“Kalo semisal Papa lo ninggalin lo dan milih buat hidup sama keluarganya yang baru, lo bakal marah, nggak?”

Bibir Aldea mendadak kelu. Tak sanggup rasanya mengucapkan sepatah katapun. Pada akhirnya, Aldea hanya sanggup mengangguk sebagai jawaban.

“Gue berhak marah, kan, Al? Apa gue harus diem aja pas liat Bunda dipukul? Apa gue harus diem aja pas liat Bunda nahan sakit tiap hari? Apa gue harus diem aja pas liat Bunda banting tulang sendirian buat anak-anaknya? GUE BERHAK, KAN, BUAT MARAH?! GUE BERHAK, KAN,AL?!!” ujar Hainan semakin meninggi.

Aldea hanya bisa membisu saat menyaksikan Hainan tiba-tiba terisak sedemikian hebatnya. Aldea tak pernah menduga Hainan akan seemosional ini. Tapi Aldea tidak menyesali apapun. Sebab akhirnya Hainan mau membagi masalahnya secara tidak langsung.

“Gue boleh marah, kan, Al?” Hainan kembali menanyakan hal serupa saat tangisnya mulai mereda.

Aldea yang sempat ragu, akhirnya memberanikan diri untuk merelakan bahunya sebagai tempat sandaran untuk Hainan. Lelaki itu menyalurkan rasa pilu pada gadis yang sedang mendekapnya. Membuat Aldea ikut terisak.

Semua ini terjadi di luar dugaan. Untuk pertama kalinya Hainan kembali membagi cerita hidupnya pada seorang gadis selain Nessa. Ada yang spesial pada Aldea, yang mampu membuat Hainan menaruh rasa percaya.