Hainan dan Segala Kisah
Seperti de javu, sore itu, berteman senja pantai, Hainan kembali menceritakan kisahnya. Kisah Sang Ayah dan saudara lelakinya yang memilih pergi. Menceritakan kembali pada Aldea sebagaimana ia menceritakannya dahulu pada Nessa.
Hainan menjadi anak paling bahagia sampai usianya menginjak 9 tahun. Sebab di tahun-tahun berikutnya, kehidupannya berubah 180 derajat.
Ayah Hainan adalah seorang pekerja keras. Seringkali pekerjaan Sang Ayah mengharusnkannya pergi ke luar kota. Meskipun kepulangan Ayahnya bisa dihitung dalam sebulan, tapi Hainan selalu meyambut kedatangan pria itu dengan antusias.
Namun ternyata, di balik kesibukannya itu, Ayahnya diam-diam telah menjalin hubungan dengan seorang wanita yang tak lain adalah sahabat baik Sang Bunda. Dan lebih parahnya, mereka sudah memiliki 1 putra dan 1 putri.
Tepat di ulang tahunnya yang ke-10, untuk pertama kalinya, Hainan menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar hebat. Figur Ayah sebagai sosok penyabar dan pengertian itu seketika lenyap. Tak seharipun terlewat dengan suara teriakan dan cacian yang dilontarkan kedua orang tuanya satu sama lain. Hingga pada puncaknya, Sang Ayah mulai berani bertindak kasar pada Bundanya. Tak tanggung-tanggung, Ayahnya bisa memukul dan menampar Bunda sekaligus meskipun Bunda hanya melakukan kesalahan kecil. Bagian terburuknya, Sang Bunda sempat dirawat di rumah sakit akibat cidera kepala serius.
Tak sekali dua kali Bunda Hainan melaporkan Ayahnya pada pihak berwajib. Namun selalu gagal sebab Ayahnya yang kaya raya itu punya banyak cara untuk membungkam para aparat berwajib agar tutup mulut.
Ada satu hal yang selamanya akan membekas dalam ingatan Hainan. Yaitu tindakan Ayahnya yang selalu menjadikan dia dan adiknya sebagai pelampiasan saat berkonflik dengan selingkuhannya. Ayahnya yang sudah dibutakan oleh cinta itu tak akan pernah tega melawan wanita simpananannya dan memilih untuk melukai kedua putranya sebagai bentuk pelampiasan.
Memori kelam yang begitu menyakitkan. Bahkan hingga detik ini Hainan belum bisa memaafkan pria yang telah melukai hatinya dan memberikan bekas luka disekujur tubuhnya. Luka-luka yang masih membekas dan dapat ia lihat dengan jelas sampai saat ini. Luka yang timbul akibat pecutan, pukulan, sayatan, dan beberapa luka lain yang dibuat oleh Ayahnya sendiri. Lantas apakah dia pantas dipanggil Ayah?
Aldea kembali terisak hebat saat menyaksikan ada banyak bekas luka memenuhi punggung, tangan, kaki, hingga perut Hainan. Demi Tuhan, ini adalah pemandangan paling memilukan yang pernah disaksikan Aldea sepanjang hidupnya. Sekarang ia tau, mengapa Hainan sering menggunakan jaket dan lengan panjang. Laki-laki itu hanya ingin menyembunyikan ribuan bekas luka yang menghiasi sekujur tubuhnya.
Aldea hanya tak habis pikir. Bagaimana bisa Hainan bertahan sekuat itu? Bagaimana bisa Hainan yang sedang berjuang melawan rasa sakitnya mampu berpura-pura baik-baik saja demi Sang Bunda? Bagaimana bisa Hainan berdiri tegak meskipun ia berkali-kali jatuh dan dijatuhkan?
Tak sampai di situ. Kejadian menyakitkan kembali menimpa saat Hainan duduk di bangku kelas 12. Adik laki-lakinya yang saat itu duduk di kelas 10 tiba-tiba berubah menjadi anak pembangkang akibat salah pergaulan. Adik yang Hainan kenal sebagai anak penurut, berpikiran dewasa, dan cerdas itu dalam sekejap berubah menjadi orang lain. Laki-laki yang diberi nama Juan itu bahkan sempat terkena kasus penyalahgunaan narkoba dan minum minuman keras padahal usianya saat itu baru 16 tahun.
Hingga suatu hari, diam-diam Juan mengambil kartu kredit, perhiasan, dan beberapa barang berharga milik keluarganya sendiri termasuk ponsel dan komputer milik Hainan. Kemudian anak laki-laki itu kabur dan menghilang begitu saja. Hainan dan Bundanya sudah melakukan berbagai upaya untuk menemukan Juan. Tapi nihil. Anak laki-laki itu tak dapat ditemukan dan sama sekali tak ada kabar.
Jika mau, Hainan bisa saja terus mengeluh pada takdir yang dijalaninya. Orang-orang terdekatnya selalu pergi dan mengkhianatinya. Begitupun Nessa. Itulah sebabnya Hainan takut, ia punya banyak trauma di masa lalu yang belum bisa ia hapus di masa sekarang.
Hari itu, Aldea mendengar semuanya. Rasa penasarannya akhirnya terjawab. Tak dapat dipungkiri, Aldea adalah sosok yang selama ini Hainan cari. Sosok yang mampu menggantikan seorang Nessa dan sosok yang Hainan harap tak akan meninggalkannya. Lagi.
“Makasih banyak, ya, Kak, karena udah mau cerita. Makasih juga udah mau percaya. Aku nggak bisa janji ke Kakak kalo aku bakal terus ada. Tapi suatu hari kalo aku ninggalan Kakak, aku jamin Kakak masih bisa nemuin aku lagi.”
Masih mendekap erat tubuh Hainan, Aldea dapat merasakan lelaki itu masih menangis. Wajahnya ia tempelkan di antara pundak dan leher Aldea. Kedua tangannya juga masih setia memeluk erat pinggang ramping Aldea sejak beberapa menit lalu. Rupanya Hainan menemukan kehangatan di sana.
“Kak Hainan punya aku sekarang. Aku bakal dengerin Kakak setiap saat Kakak pengen berbagi cerita. Jangan sedih lagi, ya, Kak. Jangan nangis lagi. Kasian baju aku basah padahal kita nggak main air.”
Inilah yang membedakan Aldea dengan Nessa. Aldea punya humor yang sering muncul tanpa diduga. Bukan makhsud Hainan membandingkan, hanya saja rasanya Aldea lebih spesial. Hanya, spesial.
“Kak, beneran nggak mau udahan?” Hainan menggeleng. Lelaki itu berusaha menahan tawa di tengah tangisnya.
“Yaudah deh nggak papa. Aku juga suka, kok. Cuman basah aja, kan. Terus kayak ada lengketnya dikit. Palingan cuma ingus kalo nggak upil. Nggak papa, kok. Haha.” Tawa Hainan akhirnya meledak juga. Lelaki itu akhirnya melepas pelukannya.
Dengan mata yang sama bengkaknya, Aldea dan Hainan saling bertukar pandang dari jarak yang cukup dekat. “Gue cium boleh, ya?” tanya Hainan.
Aldea sontak mendorong Hainan menjauh, kemudian berdiri. “UDAH AYOK PULANG! Kayaknya jam segini setan-setan lagi rombongan jogging.”